Sabtu, 26 Februari 2011

I. Latar Belakang Berdirinya HMI

Share it Please
a. Situasi Pergolakan Nasional

HMI berdiri pada saat dimana Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan yang direbutnya pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tangan penjajah. Keinginan untuk menjajah kembali, menjadikan Belanda datang lagi setelah Jepang bertekuk lutut di hadapan tentara sekutu. Dengan menumpang pasukan Sekutu yang mendarat pada tanggal 29 September 1945, Belanda kembali ke Indonesia dan melakukan serangan-serangan atas beberapa wilayah Indonesia. Perang kembali berkobar dan teriakan-teriakan “Allahu Akbar” kembali menggema, memberikan semangat pada pejuang-pejuang Indonesia.
Beberapa perlawan dilakukan oleh bangsa kita, diantaranya adalah: Pertempuran 5 hari di Semarang (15-20 Oktober 1945), Pertempuran 15 Oktober 1945 di Padang, Pertempuran 7 Oktober 1945 di Kotabaru, Yogyakarta, dan puncaknya adalah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Semuanya adalah dalam rangka mempertahankan bumi pertiwi dari tangan para penjajah.
Selain perlawanan fisik, perlawanan dengan cara diplomasipun dilakukan. Dengan mengikuti perundingan Lingar Jati, Renville dan KMB (Konferensi Meja Bundar), para pemimpin kita berusaha menggunakan cara-cara moderat dan anti kekerasan untuk menjaga kesatuan wilayah nusantara.
Perundingan Linggar Jati dilakukan pada tanggal 25 maret 1947, menghasilkan kesepakatan tentang eksistensi wilayah Indonesia yang hanya meliputi: Jawa, Madura dan Summatera, serta pengakuan terhadap terbentuknya Negara Indonesia Serikat (RIS). Terlepas dari pro dan kontranya hasil perundingan itu, di kalangan tokoh-tokoh pergerakan waktu itu, perundingan ini merupakan sebuah kemajuan bagi perjuangan pergerakan bangsa kita.
Pasca perundingan, di tubuh kabinet terjadi perpecahan. Partai sosialis (yang memimpin kabinet) terpecah menjadi dua, yaitu sosialis demokrat yang dipelopori oleh Sutan Syahrir dan sosialis revolusioner (PKI) dengan tokohnya Amir Syarifuddin. Perpecahan ini berimbas diturunkannya Syahrir dari kursi perdana menteri dan digantikan oleh Amir Syarifuddin. Penggantian ini menimbulkan kemarahan di kalangan Masyumi dan termasuk HMI. Dengan demonstrasi-demonstrasi yang dilakukanya HMI bersama kekutan Islam lain, mereka menuntut dibubarkannya kabinet Amir Syarifuddin.
Dasar penjajah, secara sepihak Belanda melakukan pelanggaran terhadap hasil-hasil perundingan itu. Tanggal 29 Juni 1947, Belanda melakukan agresi militer I dengan mengultimatum pengakuan wilayah Belanda atas Indoesia. Maka dengan segala kegigihan semangatnya, TNI yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman melakukan perang gerilya di hutan-hutan dan pegunungan. Perlawanan ini berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Renville di atas geladak kapal Renville milik AS. Poin penting dari perundingan tersebut adalah diadakanya gencatan senjata sambil menunggu perundingan lebih lanjut.
Secara umum, hasil perundingan ini tidak memuaskan para pemimpin bangsa Indonesia waktu itu. Oleh kubu yang menentangnya, perundingan ini dijadikan sebagai alat untuk memukul balik Amir Syarifuddin dengan mengatakannya sebagai sebuah kemunduran dan kegagalan kabinetnya. Atas kegagalan ini, kabinet Amir Syarifuddin kemudian diganti dengan kabinet baru pimpinan Mohammad Hatta yang mendapat dukungan dari kalangan Islam, termasuk dari HMI.
Tentu saja penggantian pergantian dari kabinet Amir Syarifuddin ke kabinet Mohammad Hatta ini sangat mengecewakan PKI dan para pengikutnya. Mereka berpikir keras bagaimana mengembalikan kekuasaan yang sebelumnya sudah di tangan, melalui Amir Syarifuddin. Kepulangan salah satu kader PKI, Muso, dari tugas belajarnya di Uni Sovyet (sekarang Rusia) menjadikan PKI seakan mendapatkan ruh barunya. Muso mampu memberikan pijakan ideologis yang kuat bagi PKI. Muso mengimpikan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis murni, yang merupakan sebagai bagian dari Komunisme Internasional (Komintern). Duet Amir dan Muso inilah yang kemudian menjadikan PKI semakin radikal dan berani. Hatta dianggap sebagai representasi kaum borjuis yang kontra revolusi dan merupakan antek-antek kapitalis.
Klimaksnya adalah persitiwa berdarah, Madiun 1948, yang mengakibatkan hilangya lebih dari 150.000 nyawa anak bangsa tak berdosa. Waktu itu, PKI berhasil memobilisir massa petani Madiun untuk melakukan perlawanan terhadap negara. Konflik petani yang pada mulanya hanya perebutan atas tanah (yang kebanyakan dikuasai oleh golongan beragama dan nasionalis) berubah menjadi konflik antar kelompok pengikut komunis dan non-komunis, bahkan antar golongan agama dan non-agama (Juliantara 199). HMI sebagai bagian dari kelompok yang anti komunis terlibat dalam konflik ini. Dalam rangka penumpasan PKI di Madiun, HMI mengirimkan kader-kadernya dikirim ke Madiun. Mereka tergabung dalam CMI (Corps Mahasiswa Indonesia) yang dipimpin oleh Achmad Tirto Sudiro.
Pasca konflik di Madiun, lagi-lagi Belanda menghianati perjanjian. Secara sepihak Belanda membatalkan perjanjian Renville dan melakukan penyerangan mendadak pada tnggal 19 Desember 1949 di Yogyakarta (terkenal dengan Agresi Milter II). Beberapa tokoh penting seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan lainya ditangkap dan diasingkan. Beruntunglah pemerintah cekatan bertindak dengan segera membentuk pemerintahan Darurat di Summatera yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Maka secara de jure pemerintahan Indonesia masih eksis, meskipun Ibu Kotanya dikuasai oleh tentara gabungan (NICA) pimpinan Belanda.
Tanggal 23 Agustus s.d. 2 November 1949, atas instruksi PBB, diadakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda. Dalam perundingan itu diputuskan pengakuan kedaulatn Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tangga 10 Desmber 1949. Melalui momen inilah kemerdekaan Indonensia, yang sudah dideklarasikan 17 Agustus 1945, kembali direbut dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kembali berdaulat.

b. Kondisi Pergerakan Islam

Abad ke-19 merupakan abad modern dalam sejarah perkembangan peradaban Islam. Abad ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran modern Islam yang mengilhami gerakan revivalisme Islam sebagai counter dari kuatnya hegemoni Barat terhadap peradaban dunia. Pemikir-pemikir Islam yang banyak dikenal pada masa itu misalnya adalah Jamalauddin Al-Afgani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1915), Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-196) dan sebagainya. Melalui karya-karya dan gerakannya meraka mengilhami munculnya gerakan revivalisme Islam di berbagai negara. Beberapa gerakan revivalis yang Muncul adalah Pan Islamisme, Jemi’at Al-Islami, Ikhwanul Muslimin dan sebagainya. Beberapa diantara pemikiran tersebut kemudian sampai ke Indonesia melalui tokoh-tokoh Islam Indonesia yang belajar ke timur. Hasim Asy’ari (NU), Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan A. Hassan (Persis) merupakan beberap tokoh pelopor yang besar dan terdidik di Timur Tengah dan kemudian kembali ke Indonesia mendirikan organisasi ke-Islaman seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (PERSIS).
Di sisi lain, penerapan politik etis (Etische Politiek) oleh Belanda semakin memberikan kesempatan kepada para tokoh pribumi untuk mendapatkan pendidikan di Barat. Berbekal pendidikan inilah lantas tak sedikit kaum pribumi mulai dapat menyerap narasi-narasi besar (nansionalisme, demokrasi dan sosialisme) yang telah lebih dahulu berkembang di negeri lain. Mereka mulai mempelajari metode perjuangan terorganisasi, bahkan kemudian mempelopori gerakan penyadaran rakyat secara terorganisasi sebagai salah satu alat perjuangan (Purwanto 1999).
Tersebutlah beberapa organisasi pergerakan Islam seperti yang lahir pada fase itu: Serikat Dagang Islam (1908), Sarikat Islam (1912), Muhammadiyah (1912), Persatuan Ummat Islam (1917), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), Al-jami’atul Wasliyyah (1930) Perti, dan Al Irsyad (1931), yang mempelopori era baru perjuangan kemerdekan Indonesia secara lebih terorganisir. Meskipun pada mulanya organisasi-organisasi tersebut hanya bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan saja, akan tetapi sesuai dengan tuntutan perkembangan bangsa yang berkeinginan untuk segera mencapai kemerdekaannya, beberapa organisasi itu kemudian berubah menjadi partai politik.
Salah organisasi kemasyarakatan Islam yang berubah menjadi partai politik adalah Sarekat Islam (SI). Pada tahun 193, SI berubah menjadoi Partai Sarikat Islam Indonesia atau disingkat PSII. Platform Islam sosialis atau Islam populis yang digagas oleh tokoh SI, HOS Cokroaminoto, mengalami kontraksi ideologis Ketika faksi-faksi SI yang lebih sekuler dan radikal berusaha menarik SI ke dalam wacana Sosialisme-Marxisme. Hendrik Sneevliet, pimpinan pusat Partai Sosialis di Belanda, bahkan sempat mengintrusikan beberapa orangnya masuk ke tubuh SI untuk tujuan ini. Semaun dan Darsono adalah dua orang yang berhasil dipengaruhinya. Sebagai pimpinan SI cabang Semarang, mereka berhasil membawa SI Cabang Semarang keluar dari hierakhi struktur SI dan masuk ke haluan komunis. Hal inilah yang kemudian menjadika SI terbelah menjadi dua, yaitu: SI merah, yang berhaluan komunis, dan SI putih, yang tetap berhaluan Islam.
SI merah kemudian dikenal dengan Sarekat Rakyar (SR) dan menjadi embrio lahirnya PKI (23 Mei 1923), sedangkan SI putih, meski secara formal adalah SI yang asli, namun dalam perkembangannya mengalami gejala konservatisasi ideologi dan bergerak ke arah lebih kanan. Akibatnya SI mengalami kemerosotan luar biasa (Purwanto 1999). Karena mengalami degradasi, SI putih kemudian berubah menjadi PSII (Paerai Serikat Islam Indonesia) dan pada era pasca kemerdekaan lalu melebur bersama organisasi Islam yang lain ke dalam Masyumi.
Puncak dari massifikasi perjuangan keorganisasian Islam adalah lahirnya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada tahun 1945. Masyumi sebagai sebuah partai politik, lahir dari hasil dari Muktamar I Ummat Islam Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 7 November 1945. Pada mulanya Masyumi bukanlah merupakan sebuah partai politik, akan tetapi merupakan wadah tunggal yang dibentuk oleh pemerintah Jepang bagi ummat Muslim untuk mengkooptasi kekuatan-kekuatan Islam. Waktu itu namanya adalah MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang dipimpin oleh K.H. Hasyim As’ari (pendiri NU).
Masyumi bisa menjadi payung bagi seluruh ummat Islam karena terbentuk dari gabungan beberapa organisasi Islam yang berbeda-beda. Dalam Mu’tamar Ummat Islam I tersebut, dihasilkan beberapa keputusan :
·         Mendirikan satu partai Islam yang bernama MASYUMI
·         MASYUMI adalah satu-satunya partai politik Islam, dan tidak boleh mendirikan partai politik Islam lain kecuali Masyumi.
·         MASYUMI-lah yang akan memperjuangkan nasib ummat Islam di bidang politik

Di Masyumi bukan hanya tergabung organisasi-organisasi Islam modernis saja, melainkan juga organisasi Islam puritan seperti Persis, organisasi yang mewakili kalangan Islam tradisional (NU dan Perti), juga organisasi Islam populis seperti PSII.
Bersamaan dengan itu, dikalangan generasi muda, sebenarnya juga lahir organisasi yang bukan bercorak politik maupun sosial, akan tetapi bercorak intelektual. Organisiasi tersebut adalah Jong Islaminten Bond, yang didirkan pada tahun 1925 oleh seorang anak muda bernama R. Samsurijal (seorang anggota SI, mantan Wali Kota Jakarta). Tujuan organisasi ini adalah menyeru kepada para anggota agar sungguh-sungguh mempelajari Islam, memperkokoh cinta-kasih demi keimanan Islam, dan agara dengan sabar menjaga hubungan bersahabat dengan mereka yang menganut keimanan dan keyakinan ideologi lain (Mintareja 1974 dalam Sitompul 1976).
Dilihat dari karakternya, organisasi ini identik dengan HMI. Dan berdasarkan keterangan beberapa sumber, berdirinya HMI memang salah satunya atas inspirasi dari Jong Islaminten Bond ini (Tanja 1978).

c. Kondisi Kampus dan Yogyakarta

Sebutan Yogyakarta sebagai kota pelajar dikarenakan kota ini sangat kondusif untuk menjadi pusat pengembangan pendidikan. Pada saat berdirinya HMI, beberapa perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta adalah :
·         Sekolah Tinggi Islam (STI), tempat di mana HMI didirikan pada tanggal 8 Juli 1945. Mulanya sekolah ini berkedudukan di Jakarta, akan tetapi seiring pindahnya Ibu Kota RI ke Yogyakarta pada tahun 1946 akibat agresi Belanda, menjadikan STI juga turut pindah Ke Yogyakarta. Pada tanggal 20 Mei 1948, sekolah ini berubah nama menjadi UII (Universitas Islam Indonesia).
·         Universitas Gadjah Mada yang berdiri pada tanggal 17 Februari 1946 dan waktu itu belum menjadi universitas negeri. UGM baru dinegerikan pada tanggal 19 Desember 1949.
·         Akademi Ilmu Kepolisian (Akpol).
·         Sekolah Tinggi Teknik

Kuatnya penyebaran ide-ide sosialisme dikalangan masyarakat menjadikan organisasi mahasiswa yang ada didominasi oleh pemikiran-pemikiran sosialis. Nuansa-nuansa keagamaan menjadi kering karena PMY (Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta), sebagai satu-satunya wadah mahasiswa waktu itu, meletakan landasanya pada non-agama. Tentu saja, bagi Lafran Pane dan kawan-kawannya, hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Harus ada organisasi mahasiswa yang perduli terhadap persoalan-persoalan keagamaan anggotanya. Meskipun untuk pembinaan generasi mudanya, masyarakat Islam Indonesia sudah mempunyai GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia), akan tetapi belum ada organisasi untuk membina ke-Islaman untuk kalangan mahasiswa. Maka, atas kondisi ini, Lafran Pane dan kawan-kawanya berinisitaif mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berlabelkan Islam. Organisasi tersebut kemudian diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat HMI.
Meskipun pada waktu itu status ia sendiri adalah sebagai salah satu pengurus PMY, dengan mendirikan HMI, ia dibenci oleh kawan-kawanya di PMY dan bahkan kemudian dipecat dari anggota PMY. Ia dianggap sebagai pembangkang dan sosok yang akan mengancam keberadan PMY.
Menurut Lafran Pane, motivasi utama didirikannya HMI adalah sebagai berikut :
“… Sebagai alat mengajak mahasiswa-mahasiswa mempelajari, mendalami ajaran Islam agar mereka kelak sebagai calon sarjana, tokoh masyarakat maupun negarawan, terdapat keseimbangan tugas dunia-akhirat, akal-kalbu, serta iman-ilmu pengetahuan, yang sekarang ini keadaan kemahasiswaan di Indonesia diancam krisis keseimbangan yang sangat membahayakan, karena sistem pendidikan barat. Islam harus dikembangkan dan disebarluaskan di kalangan masyarakat mahasiswa di luar STI (Sekolah Tinggi Islam), apalagi PMY secara tegas menyatakan berdasarkan non-agama…” (Saleh, 1996).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Calendar