A.
Hubungan Antara Filsafat dan Ideologi
Pengertian filsafat
secara etimologis berasal dari kata Yunani philosophia (dari philein berarti
mencintai, atau philia berarti cinta, dan sophia berarti
kearifan, kebenaran) yang melahirkan kata Inggris “philosophy”, yang biasanya
diartikan dengan “cinta kearifan”. Pada awalnya sophia tidak hanya berarti
kearifan, tetapi berarti pula kerajinan sampai kebenaran utama, pengetahuan
yang luas, kebajikan intelektual, pertimbangan yang sehat, dan bahkan
kecerdikan dalam memutuskan hal-hal yang praktis. Jadi filsafat asal mulanya
merupakan kata yang sangat umum untuk menyebut usaha mencari keutamaan mental
(Encyclopaedia Britannica, dalam The Liang Gie, 1979, 6).
Pengertian filsafat secara
konsepsional adalah definisi filsafat sebagai mana dikemukakan oleh para
filsuf. The Liang Gie (1979:6-15) mengatakan terdapat sekurangnya terdapat 30 macam definisi tentang filsafat.
Beberapa contoh pengertian filsafat dapat disebutkan di bawah ini:
Konsepsi Plato
berkaitan dengan metode dialektikanya. Secara etimologis istilah “dialektika”
berarti seni berdiskusi. Filsafat harus berlangsung dengan mengkritik
pendapat-pendapat yang berlaku, Jadi kearifan atau pengertian intelektual diperoleh melalui suatu proses pemeriksaan
secara kritis, diskusi dan penjelasan gagasan-gagasan.
Konsepsi Aristoteles
dapat dilacak dalam bukunya Metaphysics. Filsafat diartikan sebagai ilmu
yang menyelidiki tentang hal ada sebagai hal ada yang berbeda dengan bagian-bagiannya yang
satu atau lainnya.
Konsepsi Cicero
menyebut filsafat sebagai “ibu dari semua seni”. Ia juga mendefinisikan
filsafat sebagai arts vitae (seni kehidupan). Konsepsi filsafat ini
menguasai pemikiran orang-orang terpelajar selama zaman
Renaissance.
Filsafat sebagai pandangan hidup dinyatakan oleh J.A.
Leighton. Filsafat mencari suatu totalitas dan keserasian dari pengertian yang
beralasan mengenai sifat dasar dan makna dari semua segi pokok dari kenyataan.
Suatu filsafat yang lengkap mencakup suatu pandangan dunia atau konsepsi yang
beralasan mengenai seluruh kosmos, dan suatu
pandangan hidup yang berisi ajaran tentang nilai-nilai, makna-makna, dan tujuan-tujuan dari hidup
manusia.
Filsafat sebagai
perbincangan yang kritis dikemukakan oleh John Passmore. Filsafat merupakan
suatu bentuk perbincangan kritis dan demikian pula halnya dengan ilmu, yakni
sebagai bentuk yang paling maju dari perbincangan kritis. Keistimewaan filsafat
terletak pada kedudukannya sebagai suatu perbincangan kritis mengenai perbincangan
kritis.
Damarjati Supadjar mengatakan bahwa filsafat merupakan
refleksi menyeluruh tentang segala sesuatu yang disusun secara sistematis,
diuji secara kritis demi hakikat kebenarannya yang terdalam serta demi makna
kehidupan manusia di tengah-tengah alam
semesta ini. Filsafat dengan demikian mempunyai arti sebagai suatu hasil dari
perenungan yang mendalam tentang segala
sesuatu.
Walaupun terdapat
banyak definisi filsafat, tetapi jika ditelusuri kesemuanya diperoleh dari
hasil berpikir filsafat yang mempunyai kesamaan dengan ciri-ciri radikal,
sistematis, dan bersifat universal. Radikal berarti berpikir sampai pada
akarnya (radix). Artinya berpikir secara mendalam samapi pada
akar-akarnya, atau berpikir untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Berpikir
tentang segala sesuatu sampai pada hakikatnya.
Sistematis, artinya berpikir secara logis selangkah demi selangkah dan
menunjukkan suatu kerangka pemikiran
yang konsisten dan utuh (kebulatan).
Universal, artinya berpikir secara umum menyeluruh tidak terikat ruang dan
waktu. Oleh karena berpikir filsafat mempunyai ciri-ciri ini, maka Sidi Gazalba
mendefinisikan filsafat sebagai sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang
dipersoalkan sebagai hasil dari berpikir secara radikal, sistematik, dan universal.
Filsafat sebagai
hasil berpikir dapat dipakai acuan, orientasi, atau dasar dalam kehidupan
pribadi ataupun kelompok karena ia
meyakini kebenaran yang terkandung di dalam pemikiran filsafat tersebut.
Filsafat yang demikian ini secara umum diartikan sebagai ideologi.
Dalam ensiklopedi
Politik dan Pembangunan (1988) dijelaskan bahwa istilah ideologi berasal dari
kata Yunani idein yang artinya melihat dan logia yang berarti
kata, ajaran. Istilah ideologi pertama kali diperkenalkan oleh A. Destult de Tracy
untuk menyebutkan suatu cabang filsafat, yaitu science des idees,
sebagai ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain, misalnya pedagogi, etika dan
politik. Pengertian ideologi pada awalnya berarti ilmu tentang terjadinya
cita-cita, gagasan atau buah pikiran. Arti yang demikian ini kemudian diubah
oleh Marxisme sehingga pengertian ideologi berkonotasi negatif.
Menurut Marxisme,
ideologi diartikan sebagai pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan
kepentingan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau
sosial. Ideologi bagi Karl Marx (pencetus Marxisme) diartikan sebagai Uberbau
atau “bangunan atas” yang didirikan di atas basis ekonomi yang menentukan
coraknya. Oleh karena didirikan di atas basis ekonomi ini, maka kebenaran
ideologi bersifat relative dan semu serta mengandung kebenaran hanya menurut golongan tertentu (yang
berkuasa).
Ideologi secara
praktis diartikan sebagai sistem dasar seseorang tentang nilai-nilai dan
tujuan-tujuan serta sarana-sarana pokok untuk mencapainya. Jika diterapkan
untuk negara, maka ideologi diartikan sebagai kesatuan gagasan-gagasan dasar
yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan
kehidupannya, baik sebagai individu, sosial maupun dalam kehidupan bernegara.
Ideologi merupakan
suatu “belief system” dan karena itu berbeda dengan ilmu, filsafat maupun
theologi yang secara formal merupakan suatu “knowlegde system” yang bersifat
reflektif, sistematis dan kritis (Pranarka, 1985). Oleh karena terdapat
beberapa pengertian mengenai ideologi, maka pemahaman makna ideologi hendaknya
selalu dikaitkan dalam pembicaraan tertentu sehingga pemahaman yang salah dapat
dihindari.
B. Perbandingan Antara Ideologi Liberalisme, Komunisme dan
Pancasila.
1. Liberalisme
John Locke (1632-1704) merupakan orang pertama yang meletakkan dasar-dasar
ideologi liberal. Liberalisme muncul sebagai reaksi terhadap filsafat Filmer
yang mengatakan bahwa setiap kekuasaan bersifat monarkhi mutlak dan tidak ada
orang yang lahir bebas (Magnis Suseno, 1994). Dengan kata lain, ciri-ciri
liberalisme adalah sebagai berikut: a) memiliki kecenderungan untuk mendukung
perubahan, b0 mempeunyai kepercayaan
terhadap nalar manusiawi, c) bersedia menggunakan pemerintah untuk
meningkatkan kondisi manusiawi, d) mendukung kebebasan individu, e) bersikap
ambivalen terhadapa sifat manusia (Lyman Tower Sargent, 1986:96).
Walaupun di atas telah disebutkan ciri-ciri yang menggambar-kan keunggulan
liberalisme, kecuali sifat ambivalennya terhadap sifat manusia, namun
liberalisme mempunyai kelemahan-kelemahan. Kelemahannya, yaitu liberalisme buta
terhadap kenyataan, bahwa tidak semua orang kuat kedudukannnya dan tidak semua
orang sama cita-citanya; oleh karena itu, kebebasan yang hampir tanpa batas itu
dengan sendirinya dipergunakan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok
yang kuat untuk semakin memperluas kegi\atan dan pengaruhnya, sedangkan
kemungkinan ini bagi pihak yang lebih lemah semakin kecil. Akibatnya tanggung
jawab sosial seluruh masyarakat ditolak oleh liberalisme sehigga melahirkan “binatang
ekonomis” artinya manusia hanya mementingkan keuntungan ekonomisnya sendiri.
Bertitik tolak dari pandangan di atas, jika dibandingkan dengan ideologi
Pancasila yang secara khusus norma-normanya terdapat di dalam Undang-ndang
Dasar 1945, maka dapat dikatakan bahwa hal-hal yang terdapat di dalam
liberalisme terdapat di dalam pasal-pasal UUD 1945, tetapi Pancasila menolak
liberalisme sebagai ideologi yang bersifat absolutisasi dan determinisme.
Absolutisasi diartikan sebagai adanya proses ,memutlakkan hal-hal yang pada
hakikatnya tidak mutlak. Determinisme adalah ajaran bahwa sesuatu itu secara
mutlak telah ditentukan dan dibatasi oleh faktor-faktor tertentu (Pranarka,
1985: 404).
Sebagaimana diketahui bahwa liberalisme merupakan paham
yang pertama kali menyuarakan hak-hakl azasi manusia , yaitu hak-hak yang
melekat pada manusia karena kemanusiaannya sendiri,yang diberikan kepadanya
oleh Sang Pencipta dan oleh karena itu tidak dapat dirampas oleh siapapun juga
termasuk negara. Undang-undang Dasar 1945 memuat sebagian dari hak-hak azasi
manusia, antara lain kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan
mengeluarkan pikiran, kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat, serta hak-hak azasi yang lain. Perubahan Kedua UUD 1945 tahun 2000 telah ditambahkan pula secara hampir terperinci hak-hak azasi
manusia yang belum dimasukkan di dalam UUD 1945. Walaupun demikian
Undang-Undang Dasar 1945 tidak bersifat absolutisasi dan determinisme sebagaimana
ideologi liberal-isme, yang memberi penekanan pada kebebasan individu, sehingga
kesejahteraan sosial bukan menjadi tanggung jawab negara. Kaum sosialis
Marxisme mengkritik negara seperti ini sebagai negara yang melndungi
kepentingan “kaum borjuis”.
Undang-undang Dasar 1945 tidak hanya menekankan hak-hak
azasi manusia, tetapi juga kewajiban-kewajiban, misalnya kewajiban untuk
menjunjung hukum dan pemerintahan, ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Negara berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan sosial bagi warga
negaranya, misalnya pasal 27, 31, 34 UUD 1945.
Undang-undang Dasar 1945 menolak sistem ekonomi liberal
yang berdasarkan persaingan bebas dan penyakralan hak milik pribadi. Hak milik
pribadi tidak dihilangkan, tetapi ditempatkan secara proporsional. Hak milik
pribadi dipergunakan sepanjang tidak bertentangan dengan kesejahteraan sosial.
Pasal 33 UUD 1945 menyuratkan dan menyiratkan hal ini.
2. Komunisme
Tiga ciri
negara komunis adalah: 1) berdasarkan ideologi Msrxisme–Leninisme, artinya
bersifat materialis, ateis dan kolektivistik; 2) merupakan sistem kekuasaan
satu partai atas seluruh masyarakat; 3) ekonomi komunis bersifat etatisme
(Magnis-Suseno, 1988:30). Ideologi komunisme bersifat absolutisasi dan
determinis-men, karena memberi perhatian yang sangat besar kepada kolektivitas
atau masyarakat; kebebasan indiviud, hak milik pribadi tidak diberi tempat
dalam negara komunis. Manusia dianggap sebagai “sekrup” dalam sebuah
kolektivitas (Magnis Suseno, 1988:31).
Setelah membandingkan
ketiga ciri di atas dengan paham negara RI yaitu Pancasila, maka dapat
disimpulkan bahwa Pancasila sebagai ideologi memberi kedudukan yang seimbang
kepada manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Pancasila bertitik
tolak dari pandangan bahwa manusia secara kodrati bersifat monopluralis, yaitu
manusia yang satu tetapi dapat dilihat dari berbagai dimensi dalam
aktualisasinya. Manusia secara kodrati terdiri dari susunan kodrat, sifat
kodrat dan kedudukan kodrat yang harus diwujudkan secara seimbang. Secara
susunan kodrat manusia tidak hanya dipandang sebagai raga atau materi saja
tetapi juga mempunyai jiwa dan harus diaktualisasikan secara seimbang
antar-keduanya. Secara sifat kodrat, manusia adalah manusia berusaha
menyeimbangkan hidupnya dalam mengaktualisasikan sifat individual dengan sifat
sosial. Demikian pula, dalam hidup manusia haruslah disadari bahwa secara
kodrati ia mempunyai kedudukan sebagai makhluk otonom yang bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri, sekaligus sebagai makhluk Tuhan yang bertanggung
jawab pula terhadap Tuhannya atas segala potensi dan karunia yang telah
diberikan kepadanya.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai penjabaran secara
yuridis formal dari ideologi Pancasila menunjukkan adanya ide keseimbangan itu.
Undang-undang Dasar 1945 tidak bersifat absolut dalam memandang manusia dan
kehidupan bernegara. Maka, baik ciri
komunisme yang bersifat totaliter tidak terdapat di dalamnya. Demikian
pula kelemahan liberalisme yang cenderung menutup mata akan adanya dampak dari individualisme
dan persaingan dicoba untuk diantisipasi
dengan adanya pasal-pasal yang menjamin akan kebebasan sekaligus perlindungan
terhadap hak-hak yang menyangkut hajat hidup warga negara secara umum.
Pasal-pasal yang menunjukkan adanya sarana kontrol yang dapat mencegah
kekuasaan satu partai misalnya pasal 1,
27, 28, 29. Sebaliknya, pasal 33 yang menyiratkan adanya penguasaan ekonomi
oleh negara, tetapi bukan berarti ekonomi bersifat etatisme. Hanya
cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang
dikuasai negara sehingga milik pribadi dan hak atas usaha pribadi diakui
sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial berdasarkan azas
kekeluargaan.
C. Pancasila sebagai
Ideologi Terbuka
Dalam hubungan dengan negara, ideologi diartikan sama dengan Weltanshauung.
Selain itu dikenal pula istilah philosophische grondslag sebagaimana dipakai
oleh Ir. Soekarno pada usulannya tentang dasar-dasar Indonesia merdeka pada
pada pidatonya di depan anggota sidang BPUPKI yang pertama tanggal 1 Juni 1945
(Bahar, 1995). Weltanschauung atau pandangan dunia diartikan sebagai
konsensus mayoritas warga negara sebagai warga bangsa tentang nilai-nilai dasar
yang ingin diwujudkan dengan mengadakan negara merdeka. Nilai-nilai dasar itu
berbeda-beda tetapi ada pula persamaannya antara bangsa satu dengan bangsa yang
lain. Negara Perancis mendasarkan pada
nilai-nilai: liberte, egalite, fraternite (Revolusi Perancis 1791),
Amerika Serikat mendasarkan pada kemerdekaan dan pemerintahan yang bertanggung
jawab (1796), Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila (1945).
Pancasila merupakan hasil berfikir secara
kefilsafatan, suatu hasil pemikiran yang mendalam dari para pendiri negara
Indonesia, yang disyahkan sebagai dasar filsafat negara pada tanggal 18 Agustus
1945. Dengan demikian Pancasila merupakan konsensus filsafat yang akan
melandasi dan memberikan arah bagi sikap dan cara hidup bangsa Indonesia.
Beberapa pemikir
mengatakan bahwa Pancasila merupakan :
1.
Driyakarya dalam tulisannya Pancasila dan Religi (1957)
berpendapat bahwa Pancasila berisi dalil-dalil filsafat.
2. Soediman
Kartohadiprodjo, dalam bukunya Beberapa Pekiraan Sekitar Pancasila (1980)
mengemukakan bahwa: Pancasila itu adalah filsafat bangsa Indonesia. Kelima sila itu
merupakan inti-inti, soko guru dari pemikiran yang bulat.
3. Notonagoro, dalam
berbagai tulisannya berpendapat bahwa kedudukan Pancasila dalam negara RI
sebagai dasar negara dalam pengertian filsafat. Sifat kefilsafatan dari dasar
negara tersebut terwjudkan dalam rumusan abstrak umum universal dari kelima
sila Pancasila.
4. Dardji Darmodihardjo,
mengemukakan bahwa Pancasila dapat dikatakan sebagai filsafat yang idealistis,
theis, dan praktis.
Idealistik artinya dalam Pancasila berisi
nilai-nilai atau fikiran terdalam tentang kehidupan yang dipandang baik.
Theis, artinya dalam Pancasila berisi filsafat
yang mengakui adanya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Praktis, artinnya dalam Pancasila bukan hanya
berisi kebenaran teoritis, tetapi dititikberatkan pada pelaksanaannya.
5. Soerjanto
Poespowardojo, mengemukakan bahwa Pancasila sebagai orientasi kemanusiaan, bila
dirumuskan negatif adalah:
a. Pancasila bukan
materialisme.
Manusia menurut
materialisme tidak berbeda dengan objek-objek lainnya. Subjektivitas manusia
itu tidak masuk akal. Kepribadian manusia itu nonsens (tidak berguna), karena
pada dasarnya yang menentukan segal-galnya adalah benda atau materi. Masalah
ini akan menjadi sangat serius, jika manusia terjebak dalam scientisme, yaitu
suatu bentuk mengagungan terhadap iptek. Para filsuf filsafat modern telah
menunjukkan akibat fatal dari paham ini. Erik Fromm mengatakan bahwa dalam
masyarakat modern, manusia telah teralienasi (terasing) dari diri sendiri dan
lingkungannya. Manusia tidakbebas, karena harus tunduk pada irama kehidupan
teknologi. Teknologi diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk
teknologi.
b. Pancasila bukan
pragmatisme.
Pragmatisme merupakan
paham yang menitikberatkan atau meletakkan kriteria tindakan manusia pada
pemanfaatan atau kegunaan. Pandangan pragmatisme kalau ditarik lebih jauh akan
bermuara pada tindakan-tindakan yang inhuman. Baik dan buruk tidak ditentukan
secara objektif lagi. Pancasila jelas tidak tidak menganut ideologi
pragmatisme. Hal ini bukan berarti Pancasila menolak tindakan-tindakan yang
pragmatis dalam kehidupan bernegara, tetapiyang ditolak adalah ideologinya.
Ideologi pragmatisme merupakan paham
yang bersifat absolutisasi, dan determinisme. Absolutisasi artinya, ada upaya
ke arah memutlakan guna atau manfaat dalam kehidupan manusia. Mereka meletakan
nilai guna atau manfaat sebagai nilai yang tertinggi. Determinisme, artinya
satu-satu faktor yang menentukan segala kehidupan adalah guna atau manfaat.
Pancasila mengakui manusia sebagai pribadi yang bernilai pada dirinya sendiri
(instrinsik) dan tidak boleh direduksikan ke bawah kriteria manfaat atau
kegunaan saja.
c. Pancasila bukan
spiritualisme.
F.W Hegel merupakan
filsuf pertama yang memperkenalkan paham spiritualisme. Hegel mengatakan bahwa
realita seluruhnya adalah perwujudan roh (spirit). Paham ini ternyata dalam
kenyataan telah dipakai untuk melegitimasi tindakan otoriter dan tidak
demokratis dari penguasa. Penguasa dapat
saja memberi pembenaran terhadap tindakan yang sewenang-wenang sebagai tindakan
roh yang sedang mewujudkan diri dalam realita atau kenyataan.Pancasila tentu saja
menolak paham spiritualisme, tetapi tetapi mengakui adanya hal-hal yang
bersifat rohani. Hal ini bermuara pada landasan ontologis Pancasila, yaitu
manusia yang bersifat monodualisme (Notonagoro), khususnya dari susunan
kodratnya, sebagai makluk yang terdiri dari jiwa dan raga. Spiritualisme pada
akhirnya bermuara pada tindakan-tindakan otoirter, mengekang kebebasan manusia.
Hal ini berarti sudah tidak manusiawi lagi.
Sedangkan jika dirumuskan positif, Pancasila mempunyai ciri-ciri:
integral, etis, dan religius.
Integral dalam arti pancasila mengajarkan ajaran
kemanusiaan yang integral. Manusia adalah individualitas dan sekaligus
sosialitas. Manusia itu masing-masing otonom dan korelatif. Pranarka mengatakan
bahwa manusia berada dalam dua tegangan dialektik antara sifat kodrat yang
individual dan sosial, makluk pribadi dan berhubungan dengan sesamanya.
Pandangan ini berarti menolak pandangan Liberalisme. Liberalisme mengajarkan
manusia adalah individu yang bebas, tidak boleh dikekang kebebasannya oleh
kekuatan-kekuatan luar, khususnya oleh negara. Akibat negatif dari pandangan
ini bagi kemanusiaan sudah terbukti sejak jaman kapitalisme kuno (tradisional
sebagai disampaikan oleh John Locke), dimana harkat martabat manusia
direndahkan oleh kebebasan sebagian kecil individu yang kuat. Kapitalisme kuno
mengakibatkan tindakan eksploitatif dari
klas pemilik modal (borjuis) yang sifatnya menindas kepada klas proletar
(buruh). Pancasila juga menolak sosialisme otoriter. Sosialisme otoriter
merupakan paham yang memberi kritik, atau reaksi terhadap
liberalisme-kapitalisme, sehingga pandangannya menolak sisi individualitas
manusia dan mengakui humanisme kolektivitas; manusia adalah makluk sosial.
pandangan ini berat sebelah, karena tidak mengahrgai kebebasan individu
manusia. Dalam perjalanan sejarah sosialisme otoriter telah terbukti
mengakibatkan etatisme (pengaturan ekonomi semua ditangan negara) dengan segala
implikasi negatifnya seperti timbulnya kelas fungsional negara, birokrasi dalam
arti negatif, karena negara demikian mendonimasi segala kehidupan manusia
sebagai individu.
Etis berasal dari kata etika, yaitu filsafat
yang berkaitan dengan tindakan manusia yang dapat dikenai ukuran baik atau
buruk. Baik dan buruknya tindakan manusia berhubungan dengan moral. Dari aspek
etika, tindakan manusia dibedakan menjadi dua, yaitu actus hominis
(tindakan-tindakan manusia yang juga dilakukan oleh makluk hidup yang lainnya
baik fisik, alamiah, biologis) dan actus humanus (tindakan, kegiatan,
perbuatan, aksi reaksi manusia sebagai makhluk intelektual, kultural, dan
memiliki kehendak bebas). Actus humanus merupakan tindakan yang khas
manusiawi, yaitu tindakan-tindakan yang berlandaskan pada moral dan
sosio-kultural. Pancasila ditetapkan sebagai dasar falsafah negara, dengan
demikian berarti kehidupan kenegaraan (khususnya aspek perundangan) pada
dasarnya harus taat kepada norma-norma yang selras dengan nilai-nilai
Pancasila. Pancasila menjadi kriteria (batu pengukur) praktis kehidupan
ketatanegaraan dan ketatapemerintahan negara RI. Dengan kata lain, Pancasila
merupakan kualifikasi etis bagi penyelenggaraan kenegaraan RI. Pancasila
menjadi kaidah nilai baik-buruk. Dengan pandangan etis yang jelas ini, maka
Pancasila menolak machiavellianisme, suatu paham yang membenarkan cara-cara
immoral untuk mencapai tujuan politik dengan semboyan terkenalnya: tujuan
menghalalkan segala cara. Pancasila sebagai paham yang etis dengan demikian
menolak semua paham yang berwajah immoral. Kesemuanya ini tercermin dalam semua
produk peraturan perundangan negara. Produk hukum negara RI harus memiliki
karakteristik (ciri khas), yaitu taat asas kepada nilai-nilai Pancasila.
Religius merupakan hal yang berkaitan dengan yang
adikodrati yang bersifat supranatural dan transedental. Adikodrati berarti di
atas yang kodrat, di atas yang natural yang mengatasi segala sesuatu. Pengakuan
adanya kekuatan, kekuasaan yang mengatasi segala sesuatu yang dipahami oleh
bangsa Indonesia sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Sila pertama pancasila menegaskan
religiusitas sebagai sesuatu yang menyatu (inheren) pada hakikat manusia,
karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk yang otonom (bertanggung-jawab
pada dirinya sendiri), sekaligus makhluk Tuhan (tindakan, perbuatannya diyakini
dalam kehidupan keabadian dipertanggung-jawabkan juga kepada Tuhan yang Maha
Esa). Dengan demikian paham kemanusiaan pancasila adalah paham humanisme
religius. Mengingkari Tuhan sebagai pencipta dan sumber dari segala yang ada
berarti mengingkari eksistensi dirinya sendiri. Pancasila dengan sendiri
menolak ateisme, dan juga bukan negara agama dan sekaligus bukan negara
sekular. Negara agama (theokrasi) adalah negara yang dalam seluruh
penyelenggaraan negara berdasarkan pada hukum agama tertentu. Hukum agama
menjadi hukum negara. Negara sekuler adalah negara yang memisahkan dengan tegas
antara negara dan agama. Agama mempunyai tugas dan wewenang untuk mengatur
dunia “sana” (keabadian), dan negara bertugas untuk mengatur urusan dunai
“sini” (kefanaan). Agama tidak dapat turut campur dalam pengambilan kebijakan
publik yang dilakukan oleh negara. Agama dianggap sebagai lembaga swadaya
masyarakat yang berada di luar negara (pemerintah), yang demikian dibebaskan
untuk hidup, tetapi tidak pernah didukung atau disokong oleh negara. Pancasila
mengakui dan menjadikan nilai-nilai Ketuhanan sebagai sumber nilai, sumber
motivasi dan inspirasi semua kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat
Indonesia.
Nilai-nilai dasar ini dipakai sebagai dasar negara yang diartikan sebagai
kesatuan gagasan-gagasan dasar yang disusun secara sistematis dan dianggap
menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya, baik yang individual maupun
sosial., termasuk hidup bernegara (Ensiklopedi Politik dan Pembangunan,1988).
Politik merupakan penerapan ideologi
dalam kehidupan kenegaraan. Cara berpolitik diwarnai oleh aliran ideologinya.
Ideologi bersifat asasi, sedangkan politik merupakan realisasi yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah. Ideologi tidak dapat disamakan
dengan politik, karena nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan dan pedoman
hidup kenegaraan bersifat tetap, yang berubah-ubah adalah cara berpolitiknya;
realisasi dari nilai-nilai dasar itu.
Pancasila sebagai ideologi negara berisikan ajaran mengenai Ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoneisa. Nilai-nilai itu berpangkal dari
alam pikiran budaya Indonesia dan terkait dengan perjuangan bangsa (Pranarka,
1985). Pancasila sebagai ideologi berarti suatu pemikiran yang memuat pandangan
dasar dan cita-cita mengenai sejarah manusia,
masyarakat dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia;oleh
karena itu Pancasila dalam pengertian ideologi ini sama artinya dengan
pandangan hidup bangsa atau biasa disebut falsafah hidup bangsa.
Falsafah negara itu merupakan norma yang paling dasar untuk mencek apakah
kebijakan-kebijakan legislatif, dan eksekutif negara sesuai dengan persetujuan
dasar masyarakat atau tidak. Pancasila sebagai ideologi memuat nilai-nilai
dasar yang belum bersifat operasional. Untuk operasionalisasi ini setiap
generasi harus memaknai kembali falsafah negara ini dan mencari apa implikasi
sesuai dengan konteks zaman. Falsafah negara tidak pernah membelenggu kebebasan
dan tanggung jawab masyarakat, melainkan justru memberi peluang untuk
memperkembangkan masyarakatnya (Magnis Suseno, 1994). Adalah tanggung jawab
setiap generasi untuk merealisasikan nilai-nilai dasar ini dalam kehidupan
nyata baik sebagai individu, sebagai warganegara serta diaktualisasikan dalam
segala bentuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila jika dilihat dari nilai-nilai dasarnya, dapat dikatakan sebagai
ideologi terbuka. Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai
yang mendasar, bersifat tetap dan tidak berubah. Oleh karenanya ideologi
tersebut tidak langsung bersifat
operasional, masih harus dieksplisitkan, dijabarkan melalui penafsiran yang
sesuai dengan konteks jaman. Pancasila
sebagai ideologi terbuka memiliki dimensi-dimensi idealistas, normatif, dan
realitas.
Pancasila dikatakan sebagai ideologi terbuka memiliki dimensi idealitas
karena memiliki nilai-nilai yang dianggap baik, benar oleh masyarakat Indonesia.pada
khususnya dan manusia pada umumnya sebagaimana dikatakan oleh para ahli di
atas.
Rumusan-rumusan Pancasila sebagai ideologi terbuka bersifat umum, universal
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 45. Pancasila memiliki dimensi
normative, artinya nilai-nilai dasar tadi dijabarkan dalam norma-norma atau
aturan-aturan sebagaimana tersusun dalam tata aturan perundangan yang berlaku
di Indonesia dari yang tertinggi sampai yang terendah. Dimensi realitas artinya
ideologi Pancasila mencerminkan realitas hidup yang ada di masyarakat, sehingga
Pancasila tidak pernah bertentangan dengan tradisi, adat-istiadat,
kebubudayaan, dan tata hidup keagamaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar