Abstrak.
Paradigma yang
mendasari pemikiran Nasr adalah bahwa
universalitas dan absolutiditas Islam perlu dijabarkan secara proporsional.
Langkah kongkrit paradigma ini adalah dijadikannya tradisi pemikiran Islam
seperti kalam, filsafat dan tasawuf sebagai alat bantu dalam menderivasikan
ajaran Islam. Dengan cara inilah ketinggian Islam bisa dibuktikan, dan
nampaknya Nasr menggunakan filsafat dan tasawuf sebagai ujung tombak jihad intelektualnya.
Bagi Nasr, tradisi pemikiran Islam masih bertahan hingga kini. Sebagai pewaris
filasafat iluminasi Suhrawardi, Nasr menawarkan suatu konsep tentang scientia sacra yang dianggapnya sebagai
pengetahuan yang sejati karena bersumber pada wahyu dan inteleksi manusia.
Scientia sacra bisa berwujud dalam bentuk “al-‘ilm al-hudluri”. Berkenaan
dengan krisis kemanusiaan yang dialami manusia modern, Nasr menawarkan solusi
agar kembali kepada tradisi Islam yang didalamnya terkandung ajaran sufisme
sebagai yang paling bisa memberikan jawaban memuaskan atas kehausan spiritual
manusia modern.
Pendahuluan
Nama Sayyed
Hossain Nasr tidak asing lagi dalam percaturan intelektual muslim
internasional. Reputasi intelektualnya bahkan telah dikenal di Indonesia, terbukti
dari beberapa karyanya yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, seperti
Islam dan nestapa manusia modern (1983),
Sain dan peradaban dalam Islam (1986), Menjelajah dunia modern (1994),
Spiritualitas dan seni Islam (1993), Pengetahuan dan kesucian (1997) dan
masih banyak bukunya yang lain, baik yang sudah diterjemahkan maupun yang masih
dalam bahasa aslinya.
SH Nasr
lahir di Iran pada tahun 1933 dan mendapatkan pendidikan mullah di sana.
Kemudian ia menyelesaikan studi di Massachusetts Institute of Technology (MIT)
di Amerika dengan mengambil ilmu fisika sebagai kajian utamanya. Tetapi
belakangan dia tertarik dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan sampai berhasil
memperoleh gelar PhD dalam bidang tersebut di Universitas Harvard pada tahun
1958. Latar belakang pendidikan Baratnya sangat berpengaruh dalam memandang
peradaban Islam dan sangat kritis terhadap Barat.[1]
Sebagai
seorang sejarawan sains, SH Nasr mengajukan suatu tesa bahwa tradisi pemikiran
Timur (Islam) baik dalam bidang filsafat maupun gnosis masih tetap berlangsung
dan hidup sampai sekarang. Tesa SH Nasr ini sebenarnya merupakan reaksi dari
kesimpulan orientalis (termasuk pemikir muslim) yang mengatakan bahwa kegiatan
intelektual umat Islam telah mati yang disebabkan tertutupnya pintu ijtihad,
serangan al-Ghazali terhadap filsafat dan kematian Ibn Rusyd
(520/1126-595/1198) sebagai simbol kematian rasionalisme Islam. Bagi Nasr,
pandangan semacam itu bukan saja memiliki cacat, tetapi juga memilki dampak
yang serius terhadap munculnya gelombang keawaman dan apatisme intelektual di
kalangan umat Islam, bahkan yang lebih tragis dari itu adalah adanya para
cendekiawan muslim yang dengan pisau analisa serta metodologinya yang baru,
mencoba meletakkan iman dan transendensi Islam sebatas kebenaran yang bersifat
hipotetik.[2]
Pembelaan
Nasr terhadap tradisi intelektual Islam, nampaknya akan berhadapan dengan
kritisisme di kalangan pemikir muslim yang lain, semisal Fazlur Rahman dan
Muhammed Arkoun. Kedua pemikir tersebut mencoba mengkritik intelektualisme
Islam. Kalau Fazlur Rahman mencoba menawarkan metode “double movement” dalam
memahami al-Qur’an serta metodologi-metodologi lain dalam pengambilan keputusan
hukum,[3]
maka Arkoun mencoba mengkritik bangunan epistemologi ilmu-ilmu ke-Islaman era
klasik-skolastik secara menyeluruh. Untuk itu, Arkoun memandang perlu untuk
memanfaatkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora baik dari cabang antropologi,
sosiologi, fisiologi, linguistik (semiotik) maupun filsafat dalam memetakan
kembali intelektualisme Islam. Pada sisi yang lain SH Nasr justru
mempertanyakan ilmu-ilmu tersebut yang menurutnya berada di pinggiran (kulit)
dan bukannya pada pusat eksistensi pengetahuan.[4]
Salah satu yang mendasari kritik-kritik Rahman dan Arkoun adalah adanya suatu
assumsi yang menggarisbawahi adanya historisitas dalam keberagamaan umat Islam,
termasuk dalam pemahaman mereka terhadap normativitas ajaran Islam yang
tersistematiskan dalam bentuk ilmu-ilmu ke-Islaman seperti tafsir, kalam, fiqh
dan lain-lain.
Kesan “lebih sejuk” nampaknya tepat dilekatkan pada
pemikiran SH Nasr jika dibandingkan dengan pemikiran Hassan Hanafi yang
cenderung radikal, revolusioner dan provokatif. Meskipun Nasr menganjurkan
perlunya “mengenal” tradisi pemikiran Barat tetapi tujuannya adalah hanya untuk
mencari benang merah antara Barat dan Timur, sedangkan oksidentalisme yang
ditawarkan oleh Hassan Hanafi lebih mengesankan sebagai upaya “balas dendam”
Timur terhadap Barat.
Tulisan ini pada dasarnya ingin memaparkan beberapa
corak pemikiran Nasr terutama yang berkaitan dengan perpaduan pemikirannya
antara filsafat dan spiritual.
Corak Pemikiran Nasr
Seperti telah disinggung di atas, SH Nasr berusaha
untuk membuktikan bahwa tradisi intelektual Islam masih bertahan hingga
sekarang ini dengan aspek transendennya. Inilah yang merupakan nilai lebih dari
tradisi intelektual Islam yang nampaknya hendak “dibangkitkan” kembali oleh
Nasr. Itulah sebabnya, hampir dalam setiap tulisan-tulisannya, Nasr selalu
mengajak kepada umat Islam untuk kembali kepada tradisi asal mulanya.
Langkah-langkah intelektual Nasr pada gilirannya menempatkan dirinya ke dalam
kelompok “tradisionalis-filosofis”. Berbeda dengan corak pemikiran
scripturalis-normatif dan corak dekonstruktif (di mana Arkoun di dalamnya),
paradigma yang mendasari kelompok tradisionalis ini adalah bahwa
universitalitas dan absolutiditas Islam perlu dijabarkan lebih lanjut dengan
kualifikasi dan spesifikasi yang proporsional, agar bisa dipahami sesuai dengan
konteksnya. Langkah kongkrit dari paradigma ini adalah munculnya tradisi
pemikiran Islam seperti kalam, filsafat dan tasawuf sebagai alat bantu dalam
menderivasikan ajaran Islam agar dapat berfungsi maksimal. Dengan cara inilah
ketinggian dan keunggulan ajaran Islam dapat dibuktikan. Dan agaknya, Nasr
cenderung menggunakan filsafat dan tasawuf sebagai “ujung tombak” dari jihad
intelektualnya. Corak pemikiran filsafat-spiritual inilah yang menandai
pemikiran SH Nasr.
Kemudian, satu hal yang perlu dicatat di sini
adalah, kekaguman Nasr pada filsafat iluminasi-perennial yang terdapat dalam
tradisi pemikiran Islam yang embrionya telah diletakkan oleh Ibn Sina. Dalam
hal ini, Nasr dapat dianggap memposisikan dirinya sebagai ahli waris
iluminasinis dari Suhrawardi (549/1153-587/1192) dan Mulla Sadra
(979/1571-1051/1640). Teman-teman sejawat Nasr antara lain, Tabataba’i (w.
1402/1981), Murtadla Muttahari (w 1399/1974), Muhamad Baqir Sadr (w. 1400/1980)
dan pewaris iluminasionis yang lain.
Iluminisme dan Asal Usulnya
Menurut
Nasr, pada akhir hayatnya, Ibn Sina mengkritik filsafat paripatetik yang
digelutinya sendiri, dan ia menulis beberapa risalahnya yang diperuntukkan bagi
elit intelektual, dimana ia menyebutnya sebagai oriental philosophy (filsafat timur). Meskipun beberapa korpus
risalahnya telah hilang, tetapi cukup bagi kita untuk merekonstruksi garis
besar filosofinya, atau yang kemudian dikenal dengan teosofi (al-hikmah) dimana Ibn Sina membandingkannya
dengan filsafat paripatetik. Dalam oriental
philosopy ini, peranan intuisi intelektual dan iluminasi (isyraq) menjadi
sangat penting. Filsafat berbalik dari upaya untuk menjelaskan struktur
realitas dengan tujuan memberikan suatu rencana kosmos yang membantu manusia
melepaskan diri dari dunia ini yang diangap sebagai ruang kosmik. Sekarang ini
di Timur, peranan filsafat lebih memberikan kemungkinan akan adanya suatu
pandangan tentang alam spiritual. Dengan demikian, filsafat menjadi lebih dekat
dikawinkan dengan gnosis, seperti yang kita lihat dalam teosofi iluminasionis
Suhrawardi, beberapa abad sepeninggal Ibn Sina. Dari sini jelaslah, bahwa aspek
pemikiran Ibn Sina ini tidak terkenal di Barat, dan kenyataan ini menjadi
penyebab utama munculnya perbedaan-perbedaan besar antara Avecennisme di
kalangan Islam dan Latin (Barat). Di Timur (Islam), Ibn Sina telah membuka jalan
pertama menuju iluminasi. Bahkan, filsafat paripatetik Ibn Sina menjadi
terpadukan oleh filosof dan teosof-teosof belakangan menjadi satu kesatuan
dimana perkembangan alat-alat rasional dan logikal menjadi satu persiapan bagi
iluminasi.[5] Dengan kata lain, Ibn Sina adalah elaborator
yang amat sempurna dan penerjemah abadi filsafat paripatetik dan ia sendiri
menunjukkan sampai pintu gerbang teosofi iluminasi yang menandai tidak dapat
dipisahkannya perpaduan antara filsafat dan spiritual.[6]
Harmonisasi
spiritual dan filsafat yang sempurna dalam Islam tercapai dalam ajaran
iluminasi (al-isyraq) yang didirikan oleh Syeikh
al-Isyraq, Syihab al-Din Suhrawardi (549/1153-587/1192).[7]
Kata isyraq dalam bahasa Arab itu
sendiri berarti iluminasi (pancaran cahaya) yang sekaligus juga cahaya pertama
pada saat pagi hari seperti cahayanya dari Timur (syarq). Timur tidak hanya
berarti timur secara geografis, tetapi awal cahaya, realitas. Filsafat isyraqiyah berarti filsafat ketimuran
dan iluminatif. Suhrawardi adalah seorang mistikus dan filosof besar yang akrab
dengan filsafat perennial Islam yang ia sebut dengan al-hikmah al-‘atiqah bagi
Suhrawardi, filsafat yang benar adalah diperoleh dari perkawinan antara latihan
intelektual teoritik melalui filsafat dan pemurnian hati melalui sufisme. Makna
pencapain pengetahuan tertinggi ia anggap iluminasi, yang sekaligus
mentransformasikan keberadaan dan melimpahnya pengetahuan seseorang. Dalam
karyanya, hikmat al-isyraq,
Suhrawardi memulainya dengan kritik terhadap logika Aristoteles dan
mengakhirinya dengan persoalan-persoalan
ekstasi (kebahagiaan) spiritual. Suhrawardi berusaha memadukan dua
tradisi filsafat dan hikmat (teosofi) yang dianggap autentik, ke dalam Islamic gnosis, yaitu tradisi filsafat
Yunani yang merujuk pada pribadi Pythagoras dan tradisi hikmat dari guru-guru
Persia kuno.[8] Suhrawardi menyadari akan kehadiran suatu
tradisi universal dan mungkin dialah orang pertama dalam Islam yang telah
mengembangkan ide tentang filsafat perennial.[9]
Penerus-penerus pemikiran iluminasi Suhrawardi, antara lain Quthb al-Din
al-Syirazi (w. 710/1311), Ibn Turkah Isfahani (w. 835/1432), serta para tokoh
yang lain yang telah mempersiapkan jalan bagi sintesis yang lebih besar antara
empat ajaran yakni iluminasi, paripatetik, gnosis dan kalam yang baru tercapai
dengan munculnya Sadr al-Din al-Syirazi (Mulla Sadra) yang wafat pada tahun
1051/1640. Langkah-langkah sintesis yang ditempuh oleh mereka seringkali
dianggap sebagai the middle roaders
sebagaimana dalam istilah MM Sharif.
Bagi Mulla Sadra, tiga jalan besar
menuju kebenaran bagi manusia yaitu wahyu, aql dan kasyf (keterbukaan secara mistik) dapat disintesakan ke dalam al-hikmah
al-muta’aliyah atau teosofi transenden. Sintesis Mulla Sadra ini mewakili suatu perspektif
intelektual yang baru dalam filsafat Islam, sebuah perspektif yang memiliki
banyak pengikut khususnya di Persia dan India, dan juga di Iraq dan beberapa
wilayah Arab yang lain selama berabad-abad.[10]
Nampaknya, pemikiran Mulla Sadra,
yang tentunya memiliki mata rantai dengan Suhrawardi, terus mengilhami tradisi
pemikiran Islam hingga dewasa ini. Hal ini nampak dalam pemikiran-pemikiran
ulama Islam Modern seperti al-Afghani, Tabataba’i, Bagir Sadr, Murtadla
Muthahari, Syekh Waliyullah dan tentunya Sayyed Hossein Nasr sendiri.
Inti dari filsafat Islam yang tidak
bisa ditutup-tutupi untuk masa sekarang ini adalah adanya pertautan yang indah
antara rasionalitas dengan iluminasi batin, antara intelektual dengan
pengalaman spiritual, antara pemikiran dengan kesucian. Penyatuan akhir ini mencirikan sifat-sifat
pokok dan taqdir filsafat Islam, yang disamping kepentingan besarnya dalam
wilayah-wilayah logika, matematika dan sains-sains natural, juga selalu
berhubungan dengan sains tertinggi dan pengetahuan yang diilhami realisasi
batin. Inilah mengapa filsafat Islam tetap bertahan sampai hari ini dan menjadi
elemen yang penting dalam dunia multi dimensional dan luas pada spiritual
Islam.[11]
Scientia Sacra
Pengaruh
filsafat iluminasi-perennial dalam diri Nasr akan nampak dari uraian-uraiannya
tentang pengetahuan suci atau scientia
sacra.
Menurut
Nasr, scientia sacra tidak lain
adalah pengetahuan suci yang berada dalam jantung setiap wahyu dan ia adalah
pusat lingkungan inti yang meliputi dan menentukan “tradisi”.[12]
Ada dua sumber scientia sacra, yaitu
sumber wahyu dan inteleksi atau intuisi intelektual yang menyelimuti iluminasi
(cahaya) hati dan pikiran manusia, sehingga dimungkinkan hadirnya pengetahuan
yang bersifat langsung dan dapat dirasakan dan dialami, atau dalam tradisi Islam disebut dengan al-ilmu al-hudluri (pengetahuan yang
hadir).[13]
Menurut Nasr, scientia sacra pada dasarnya adalah metafisika itu sendiri, jika
istilah ini dimengerti secara tepat sebagai puncak sains tentang Yang Real.
Yakni metafisika dalam pengertian bahasa Timur seperti prajna, jnana (dalam tradisi Hindu) dan ma’rifat atau hikmah
(dalam tradisi Islam) sebagai sains paripurna tentang Yang Real tanpa direduksi
ke dalam bentuk cabang pengetahuan lain yang dikenal sebagai filsafat atau
padanannya. Dalam pengertian ini hikmah
(metafisik) identik dengan scientia
sacra.[14]
Scientia
sacra memandang semua yang ada pada dasarnya adalah refleksi dari Yang
Real. Hipostase Ilahi atau Kemutlakan Tertinggi direfleksikan dalam lima
kondisi eksistensi. Pertama, dalam ruang sebagai perluasan yang secara teoritik
tidak terbatas. Kedua, dalam waktu sebagai durasi yang secara logis tidak
berakhir. Ketiga, dalam materi, sebagai eter yang merupakan prinsip baik materi
maupun energi yang menandakan ketidakterbatasan substansialitas material.
Keempat, dalam bentuk sebagai kemungkinan tak terbatas keanekaragaman, dan
kelima, dalam rangka, sebagai ketakterbatasan kuantitas. Scientis sacra melihat aspek-aspek eksistensi kosmik tersebut
sebagai refleksi terhadap bidang atau berbagai bidang manifestasi Hipostase
Ilahi, Kemutlakan, Ketakterbatasan dan Kebajikan yang mencirikan Yang Real
seperti itu.[15]
Di Barat, kajian metafisik ditarik hanya ke wilayah
ontologis yang menafikan intuisi intelektual sebagai jalan yang mendalam dalam
membayangkan realitas ini. Padahal jauh sebelum itu, seorang filosof muslim,
Suhrawardi, telah mengawinkan filsafat dengan pengalaman spiritual. Baginya,
pengalaman spiritual yang membuat pengalaman tentang “Wujud” tidak hanya
mungkin, tetapi sumber bagi semua spekulasi filosofis berkenaan dengan konsep
dan realitas Wujud.
Scientia sacra memunculkan pengetahuan unitif,
yang melihat dunia tidak sebagai ciptaan yang terpisah, tetapi sebagai
manifestasi melalui simbol dari setiap pancaran aksistensi pada sumber, yang
tidak meniadakan keagungan trensedensi.
Scientia
sacra ingin menegaskan bahwa sifat hirarki realitas adalah penjelasan
universal semua tradisi dan merupakan bagian serta bidang praktek dan doktrin
keagamaannya. Hirarki realitas disimbolkan sebagai tingkat-tingkat cahaya dan
kegelapan, sebagaimana dalam ajaran esoterisme tertentu dalam Islam, atau
sebagai tatanan dewa dan rekayasa dalam ajaran agama dengan struktur mitologi.
Kemudian, kalau kita tarik pada filsafat wujud Ibn Sina, maka konsepsi wajib al-wujud dan mumkin al-wujud pada
dasarnya berbicara tentang hirarki eksistensi/hirarki realitas.
Scientia
sacra tidak dapat dicapai tanpa inteleksi dan pemanfaatan yang tepat
terhadap intelegensi yang terdapat dalam diri manusia. Meskipun intelek
memancar di dalam diri manusia, tetapi ia terlalu jauh bergerak dari sifat
primordialnya, sehingga tidak mampu
menggunakan secara penuh karunia Ilahi ini bagi dirinya sendiri. Ia membutuhkan
wahyu, yang dengannya dapat mengaktualisasikan intelek dalam dirinya sendiri. Scentia sacra akan diperoleh ketika tiap
manusia adalah seorang Nabi dan ketika intelek berfungsi dalam diri manusia
secara natural, maka ia akan melihat segala sesuatu in divinis dan memiliki pengetahuan langsung tentang karakter suci
sepanjang masa.[16] Pusat pengetahuan adalah hati. Hati ibarat
matahari, sedangkan pikiran ibarat bulan. Bulan memancarkan sinarnya dari
pantulan sinar matahari.
Kembali ke Tradisi
Keprihatinan Nasr terhadap gelombang
sekulerisme yang melanda Barat dan telah terasa dampaknya di dunia Islam,
menyebabkan Nasr menyerukan untuk kembali kepada tradisi Islam yang telah
diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Nasr, dominasi Barat dalam
filsafat, budaya, seni, politik dan sosial di dunia Islam telah mengancam bukan
hanya lembaga tradisional masyarakat muslim, tetapi juga Islam itu sendiri.[17]
Dalam pandangan Nasr, Barat harus
bertanggung jawab atas terjadinya krisis dan dekadensi humanistik. Hal ini
karena manusia Barat modern telah dihinggapi penyakit amnesis atau penyakit lupa.
Manusia Barat telah lupa, siapa ia sesungguhnya. Kemajuan pengetahuan yang
diciptakan manusia modern, meskipun secara kuantitatif mengagumkan, tetapi
secara kualitatif bersifat dangkal, karena pengetahuan tersebut hanya berkubang
di luar lingkaran eksistensi pengetahuan sebenarnya. Atas nama “objektifitas”
ilmuwan Barat telah terjebak pada
pengetahuan palsu tentang manusia, karena apa yang dikumpulkan sebagai fakta
tentang manusia (seperti dalam antropologi dan psikologi) belum bisa dianggap
cukup untuk menggambarkan manusia sesungguhnya. Objektifitas ilmiah telah
menegasikan aspek-aspek trasendensi, karena apa yang non observable dianggap tidak ada. Ada sifat manusia yang permanen
dan universal yang belum terungkap hanya dengan pengetahuan ilmiah tersebut.
Riset ilmiah tidak bisa dikatakan sebagai sumber pengetahuan universal dan
esensial tentang manusia. Riset ilmiah itu hanya dapat menjadi sumber
pengetahuan yang esensial apabila yang dimaksudkan dengan perkataan ilmiah itu
adalah al-ilm di dalam pengertian
tradisionalnya, yaitu sebagai pengetahuan yang bersumber dari Tata Prinsipil
dan menuju kepada Tata Prinsipil itu pula. Namun demikian, riset ilmiah juga
bisa menolong kita untuk menyadari suatu hal yang esensial atau malapetaka yang
sedang dialami manusia modern masa kini.
Terjadinya krisis ekologi di Barat,
telah menyadarkan Barat akan kesalahan-kesalahan konsep peradabannya yang
diterapkan selama ini. Timbullah seruan-seruan moral untuk menjadi
humanis-humanis rasional dan bersikap santun kepada lingkungan. Tetapi seruan
mereka tidak akan ada artinya, jika tidak ditopang oleh kekuatan spiritual yang
sanggup mengekang kecenderungan-kecenderungan buruk di dalam jiwa manusia. Kekuatan spiritual itu tidak
lain adalah agama. Tetapi karena kecongkakan manusia Barat yang telah sekuler,
mereka masih juga tidak mau berpaling kepada agama. Mereka telah lama “membunuh
Tuhan” sehingga mereka telah kehilangan dimensi trasendennya, kesuciannya.
Ironisnya, di dunia Timur umumnya
dan di dunia Isalm khususnya, hampir semua negara sedang mengulangi jalan
historis yang sama dengan apa yang telah ditempuh Barat. Seharusnya Timur
menjadikan Barat sebagai studi kasus, bukan sebagai teladan yang harus dicontoh
secara mentah. Memang, tekanan ekonomi, politik dan militer negara-negara Barat
terhadap negara-negara Timur, membuat ketergantungan yang akut negara-negara
Timur kepada Barat, tetapi hal ini janganlah menyebabkan Timur kehilangan
identitas dan simbol kesucian tradisinya. Secara umum umat Islam dihadapkan
pada dua pandangan dunia yang paradoksal, antara berpegang teguh pada tradisi yang diwarisinya atau terjebak dalam
pandangan dunia Barat yang sekuler. Kasus modernisasi (sekulerisasi) pendidikan
tradisional Islam adalah satu contoh. Tarik menarik dua pandangan dunia di
bidang politik, sosial dan ekonomi juga tidak kalah serunya, yang tragisnya
seringkali diakhiri dengan kekalahan Timur. Kekalahan Timur (Islam) ini tidak
lepas dari peranan suatu kelompok umat Islam sendiri yang mangalami penyakit inferiority complex berhadapan dengan
superioritas Barat. Mereka dengan sepenuh hati menerima teori dan konsep-konsep
yang berasal dari Barat.[18]
Melihat fenomena di atas, Nasr
mengajak manusia Barat dan juga umat Islam, (yang telah terbaratkan) untuk
merenungkan dan kembali kepada tradisi Islam, yang di dalamnya terkandung
ajaran sufisme sebagai yang paling bisa memberikan jawaban terhadap kebutuhan
intelektual dan spiritual manusia modern.[19]
Sepanjang kaitannya dengan sufisme,
harus difahami dengan benar bahwa sufisme janganlah diklasifikaikan dengan
tradisi-tradisi integral lainnya seperti Hinduisme dan Budhisme, karena sufisme
adalah bagian dari Islam dan bukan sebuah tradisi yang berdiri sendiri. Sufisme
adalah bunga atau getah dari pohon Islam, atau dapat dikatakan bahwa sufisme
adalah permata di atas mahkota tradisi Islam. Sehingga, apabila berbicara
mengenai sufisme, maka sebenarnya kita berbicara mengenai aspek tradisi Islam
yang paling dalam dan universal.[20]
Ajaran dan
latihan-latihan spiritual yang diajarkan sufisme, bisa menyadarkan manusia akan
hakikatnya sendiri, sekaligus membawanya dari pinggiran lingkaran eksistensi
menuju pusat eksistensi melalui jari-jari lingkaran tersebut. Dari sini bisa
dipahami adanya terminologi syari’at,
thoriqot dan ma’rifat.
Dihadapkan
dengan Barat, setidaknya sufisme berpengaruh pada tiga level. Level pertama, ada kemungkinan sufisme
tersebut dilaksanakan secara aktif oleh Barat meskipun jumlah mereka tentunya
sedikit. Level kedua, dengan sufisme,
Barat akan mengenal Islam dalam betuknya yang lebih menarik, dan mereka akan
menemukan “apa yang mereka cari selama ini” dalam Islam. Dengan demikian, Barat
tidak lagi memusuhi Islam karena latar belakang historis konfliknya secara
berlarut-larut. Sufisme telah terbukti efektif sebagai alat untuk menegenal
Islam sebagaimana terjadi di India, Indonesia dan Afrika Barat. Level ketiga, sufisme setidaknya dapat
mengingatkan manusia Barat dari tidurnya. Karena sufisme adalah tradisi yang
masih hidup dan kaya dengan doktrin-doktrin metafisis, kosmologis dan
psikoterapi religius yang hampir tidak pernah dipelajari di Barat.
Sebagai
sebuah doktrin mengenai seni religius dan sains-sains tradisional, maka sufisme
dapat menghidupkan kembali beberapa aspek tradisi Barat pada saat ini telah
dilupakan. Oleh karena itu, guna memenuhi harapan tersebut, sufisme harus tetap
bisa mempertahankan integritas dan kemurniannya sendiri, sehingga bisa
menangkal kekuatan-kekuatan yang
berusaha untuk menyimpangkan, merubah dan memanipulasinya. Disamping itu,
sufisme juga harus bisa berbicara dengan bahasa yang dapat dipahami oleh
manusia sekarang.[21]
Penutup
Membaca
pemikiran-pemikiran Nasr, maka segera diperoleh kesan kalau Nasr ingin
memposisiskan dirinya sebagai pembela kebenaran panji-panji Islam. Bagi Nasr,
sufisme bukanlah penyebab kemunduran umat Islam, bahkan lewat sufismelah
tradisi pemikiran filsafat Islam dipelihara dan ditansmisikan dari generasi ke
generasi hingga sekarang ini. Sementara, Fazlur Rahman menilai, bahwa salah satu
penyebab kemunduran umat Islam pertengahan adalah munculnya gerakan sufisme
yang dianggapnya bersifat netral terhadap moralitas sosial, meskipun Rahman
sendiri mengakui aspek positif sufisme dalam memperkaya dalam pembinaan
kepribadian.[22]
Uraian-uraian
Nasr mengenai scientia sacra pada
hakikatnya merupakan upaya intelektual dia untuk mejelaskan sufisme secara filosofis, karena
hakikat scientia sacra tidak lain
adalah ma’rifat dalam terminologi
sufisme. Untuk usaha ini, Nasr tidak segan-segan melakukan pengembaraan
intelektual kepada tradisi-tradisi Hinduisme, Budhisme, Taoisme bahkan ke dalam
tradisi Kristen dan Yudaisme guna mencari titik temu antara esoterisme Islam
dan dimensi batin tradisi-tradisi tersebut. Langkah passing over (melintas batas) yang dilakukan Nasr terhadap tradisi
tersebut diakhiri dengan coming back
kepada Islam. Dengan demikian Nasr sebenarnya telah menempuh dialog antar iman.
Sekali lagi, hal ini menunjukan kepiawaian intelektual Nasr untuk
memperkenalkan Islam dalam bentuk yang lebih menarik di hadapan Barat. Yakni
pada saat manusia Barat modern tengah meraba-raba mencari dimensi transendennya
yang telah lama dicampakan semenjak reneassance.
Kalau Nasr
menawarkan Islam tradisi (sufisme) sebagai jawaban atas kecaman menghadapi
perkembangan modern, maka Ali Syariati menawarkan norma dan ajaran Islam secara
penuh sebagai jawaban ideal untuk menghadapi tantangan modernitas.[23]
Solusi yang ditawarkan keduanya memang memmberi implikasi yang berbeda. Tawaran
Nasr memancing kebangkitan kembali tradisi dan budaya Islam di berbagai belahan
dunia, sementara Syariati justru membangkitakan semangat fundamentalisme Islam
sebagaimana terlihat di Iran. Namun demikian, terlepas dari semua itu Nasr
telah menempuh jalan yang mengingatkan kita kembali akan kekayaan tradisi
intelektul dan spiritual generasi pendahulu kita.
* Abdul Munip, M.Ag adalah desen Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumnus Pascasarjana IAIN Walisongo
Semarang, sekarang sedang menyelesaikan tesis Magister Pendidikan di Unversitas
Negeri Yogyakarta.
[1] SH
Nasr, Sain dan Peradaban di dalam Islam,
terj. J Mahyudin, cet. I (Bandung ; Pustaka, 1986) v.
[2] SH
Nasr, Intelektual Islam, terj.
Suharsono (Yogyakarta ; CIIS, 1995) 5.
[3]
Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas,
terj. Ahsin Muhammad cet. Ke-2 (Bandung ; Pustaka, 1995) 23.
[4] SH
Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern,
terj. Anas Mahyudin, (Bandung ; Pustaka, 1983) 3-10. Mengenai analisis Arkoun,
lihat JH Meuleman (ed.) Tradisi,
Kemoderan dan Metamodernisme (Yogyakarta ; LKiS, 1996).
[5] SH
Nasr, Islamic Life and Thought
(London ;George Allen & Unwin, 1982) hal. 67.
[6] SH
Nasr, Intelektual Islam, hal.47.
[7] Ibid, hal. 70.
[8] SH Nasr, Islamic Life, hal. 76
[9] Ibid.
[10]
SH Nasr, Intelektual Islam, hal. 82.
[11] Ibid, hal. 87-91.
[12]
SH Nasr, Pengetahuan dan Kesucian,
terj. Suharsono (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997) hal. 152. Dalam pengertian
yang lebih universal, tradisi dapat dianggap mencakup prinsip-prinsip yang
mengikat manusia dengan langit, yaitu agama, yang hakikatnya adalah
prinsip-prinsip yang diwahyukan itu sendiri, yang berfungsi mengikat manusia
dengan Yang Asal. Pengertian tradisi juga bisa diarahkan pada hikmah perennial
yang terdapat dalam jantung setiap agama. Hikmah perennial ini merupakan elemen
utama penyusunan setiap agasi, sehingga tradisi tidak bisa lepas darinya,
lihat, SH Nasr, Tentang Tradisi,
dalam AN Permata (Ed) Perennialisme, Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1996) hal.
146-147.
[13]
SH Nasr, Pengetahuan, hal. 152.
[14] Ibid, hal. 154.
[15] Ibid, hal.158.
[16] Ibid, hal. 171-172.
[17]
SH Nasr, Menjelajah Dunia Modern,
terj. Hesti Tarekat (Bandung ; Mizan, 1994) hal. 7.
[18]
SH Nasr, Islam dan Nestapa, terutama
hal. 1-38.
[19] Ibid, hal. 78
[20] Ibid, hal. 80.
[21] Ibid, hal. 101-104.
[22]
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas,
hal. 15.
[23]
Lihat, Ali Syariati, Humanisme Antara
Islam dan Madzhab Barat, terj. Afif Muhammad (Bandung ; Pustaka Hidayah,
1992).
DAFTAR PUSTAKA
Meuleman, JH, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme;
Memperbincangkan Pemikiran Mohamed Arkoun (Yogyakarta: LkiS, 1996).
Nasr, Sayyed
Hossein. Sains dan Peradaban di dalam
Islam, terjemahan J. Mahyudin, cet ke-1 (Bandung: Pustaka, 1986).
--------------,
Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan
Gnosis, terjemahan Suharsono (Yogyakarta: CIIS,1995).
--------------,
Islam dan Nestapa Manusia Modern,
terjemahan Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983).
--------------,
Islamic Life and Thougt (London:
George Aleen & Unwin, 1982).
--------------,
Pengetahuan dan Kesucian, terjemahan
Suharsono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
---------------------,
Menjelajah Dunia Modern, terjemahan Hesti
Tarekat (Bandung: Mizan, 1997).
Permata, Ahmad
Norma (ed), Perennialisme Melacak Jejak
Filsafat Abadi, (Yogyakarta: TiaraWacana, 1996).
Rahman,
Fazlur, Islam dan Modernitas, terjemahan
Ahsin Muhammad, cet.ke-2 (Bandung: Pustaka, 1995).
Syari’ati,
Ali, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, terjemahan Afif
Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1992).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar