Sabtu, 26 Februari 2011

II. HMI tahun 50-an : “Perkembangan dan Pendewassan”

Share it Please
a.Disorganiozed

Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) kedaulatan kembali ke tangan Pemerintah RI. Namun demikian bukan berarti semua persoalan selesai. Konflik-konflik internal antara berbagai kepentingan ideologi semakin memanas dan menghabiskan banyak energi dan korban jiwa. Tiga ideologi besar yang menjadi kompartemen utama bangsa Indonesia, yaitu : Islam, Nasionalisme dan Komunisme saling berebut kekuasaan untuk mendominasi pimpinan kabinet. Akibatnya situasi politik tidak pernah stabil dan sering terjadi gonta-ganti kabinet. Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 adalah salah satu klimaks dari adanya pertarungan ideologi-ideologi tersebut.
Bagi HMI sendiri, masa tahun awal 50-an, oleh Dahlan Ranuwiharjo, disebut sebagai masa disorganized (kekacauan organisasi). Diresmikanya Perguruan Gadjah Mada menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadikan beberapa perguruan tinggi yang berada di wilayah Yogyakarta dan beberapa kota lainnya diintegrasikan ke dalam UGM. Beberap diantaranya ialah Perguruan Kedokteran yang semula berada di Klaten, Solo dan Malang diintegrasikan menjadi Fakultas Kedokteran UGM, termasuk juga Akademi Pertanian di Klaten, kemudian menjadi Fakultas Pertanian UGM.
Oleh penyatuan beberapa perguruan tinggi ini, sebagai konsekuensinya, HMI kehilangan beberapa cabang yang berada beberapa daerah tersebut. Kondisi kampuspun menjadi kurang kondusif untuk aktifitas pergerakan karena ada kecenderungan mahasiswa kembali menggeluti dunia akademis (back to campus). Dunia akademis yang sebelumnya mengalami kevakuman karena ditinggalkan mahasiswanya turun ke medan perang melawan agresi militer Belanda, kini kembali marak oleh mahasiswa yang kembali lagi ke kampus dan menjalankan kuliah seperti biasanya. Sementara di sisi lain, sehubungan dengan kembalinya ibu kota negara ke Jakarta, personel PB HMI juga banyak yang pindah ke Jakarta. Beberapa pengurus PB HMI juga ada yang meneruskan kariernya di bidang militer, seperti A. Tirto Sudiro dan Hartono.
Keadaan ini sangat mempengaruhi kinerja kepengurusan yang waktu itu dipimpin oleh oleh SH. Mintaredja. Akhirnya Lafran Pene dan beberapa pengurus lain seperti Dahlan Ranuwiharjo berusaha mengantisipasi keadaan ini dengan mengambil alih kepengurusan HMI. Beruntunglah, dengan cara ini, HMI masih bisa terselamatkan. Meskipun PB dalam keadan lemah, ekspansi cabang-cabang masih bisa berlangsung, Beberapa ekspansi cabang yang dilakukan diantaranya adalah pembentukan HMI Cabang Jakarta, Cabang Bogor, Cabang Bandung dan Cabang Surabaya. Di tingkat nasional, kepengurusan PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia – semacam KNPI-nya zaman itu) masih selalu dipegang kepemimpinanya oleh HMI.
Pindahnya Ibu Kota kembali ke Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1950 menjadikan HMI juga harus segera memindah sekretariatnya ke ibu kota yang baru. Pada bulan Juni 1950, secara resmi sekretariat HMI pindah ke dari Yogyakarta ke Jakarta, waktu itu HMI diketuai oleh Lukman Hakim. Pada kepemimpinan Lukman hakim ini rupanya HMI masih juga belum bisa terlepas dari kondisi keterpurukanya. Kinerja organisasi lamban, manajemen organisasi tidak bagus, dan anggotanya banyak yang tidak terurusi.
Dalam kongres HMI II di Yogyakarta (Desember 1950) diputuskan Dahlan Ranuwiharjo sebagai ketua Umum HMI yang ke-3. Dibawah kepemimpinannya HMI mulai melakukan pembenahan kembali dengan membuka cabang-cabang baru. HMI jug aktif melakukan penggalian kembali nilai-nilai ke-HMI-an dengan tetap aktif mengontrol negara dengan memberikan aktif memberikan kritik dan saran kepada Presiden Sukarno. Masa-masa periode kepengurusannya, Dahlan Ranuwiharjo adalah sebagian kecil tokoh HMI yang dikenal sangat dekat dengan Sukarno.

b. Munculnya Organisasi Underbouw-nya partai

Semakin kuatnya persaingan antar kekuatan-kekuatan arus politik untuk menguasai parlemen, mendorong mereka untuk melakukan perluasan pengaruh di tingkat bawah. Beberapa cara yang ditempuh diantaranya ialah dengan membentuk organisasi-organisasi baru untuk dijadikan sebagai underbouw-nya. Termasuk di tingkat dunia kemahasiswaan, pertai-partai besar seperti PNI dan PKI, pada tahun 1953-1954, membentuk organisasi-organisasi kemahasiswaan underbouw. Tersebutlah GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) yang merupakan underbouw PNI dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang menjadi underbouw PKI. Dengan lahirnya organisasi mahasiswa underbouw partai tersebut, maka program-program organisasi mahasiswa tidak lagi lahir dari hasil pemikiran kritis mahasiswa yang Independen, akan tetapi lebih merupakan penerjamahan dari program-program partai induknya.
Sebagai organisasi mahasiswa yang independen, HMI mendapatkan tantangan yang sangat besar. HMI adalah organisasi independen yang tidak dimaksudkan untuk menjadi senjata politik Masyumi atau suatu gabungan dari organisasi sosial atau pendidikan muslim apapun (Tanja, 1978). Akan tetapi sikap independen HMI ini tidak tersosialisasikan dengan baik ke organisasi lain. Dengan ciri Islam-nya, HMI sering dituduh sebagai alat kepentingan partai Islam seperti Masyumi. Bahkan tahun 1964 HMI nyaris dibubarkan karena tuduhan ini. HMI akhirnya masuk dalam pusaran konflik antar organisasi mahasiswa.
Persaingan dalam memperebutkan kader baru dan dominasi di kampus tak jarang menimbulkan bentrokan fisik antar para pendukungnya. CGMI seringkali meneror anggota HMI dan melarang mereka aktif. CGMI bahkan melakukan gerakan-gerakan provokasi di kampus untuk membubarkan HMI. Demikian juga GMNI, sedikit banyak, organisasi ini turut serta dalam usaha-usaha mengganyag HMI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Calendar