Sabtu, 26 Februari 2011

IV. HMI Tahun 70-an : “Intelektualitas dan Ambivalensi”

Share it Please
Banyak orang mengatakan bahwa tahun 70-an bisa dikatakan merupakan masa-masa bulan madu antar militer dan mahasiswa. Akhir tahun 60-an, militer bekerja sama dengan gerakan mahasiswa telah berhasil menumbangkam Orde Lama dan menggantinya dengan Orde Baru. Dalam hal ini yang dimaksud militer tentunya adalah Angkatan Darat, sedangkan dari gerakan mahasiswa HMI merupakan unsur dominan yang mempelopori gerakan lahirnya Orde Baru. Suharto yang berasal dari militer naik menjadi Presiden menggantikan Sukarno. Sebagai balas budi terhadap gerakan mahasiswa, Suharto memberikan jabatan-jabatan menterinya ke beberapa alumni HMI. Maka tak heran jika pada masa rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Suharto, banyak sekali alumni yang menduduki jabatan-jabatan penting kenegaraan. Sebutlah nama-nama seperti Akbar Tandjung, A. Tirtosudiro, Abdul Gofur, dan sebagainya.
Sebenarnya gerakan mahasiswa tidak sadar kalau ternyata dalam gerakan penumbangan Orde Lama, militer mengambil keuntungan situasi untuk mengambil alih kekuasaan. Pasca tumbangnya Orde Lama, negara dipimpin oleh seorang militer dengan gaya kepemimpinan yang milteris pula. Kalaupun ada beberapa posisi penting diberikan kepada mantan aktivis gerakan mahasiswa, mereka hanya dijadikan subordinat saja dari sebuah kebijakan besar yang didikte oleh militer. Ibarat mobil mogok, tahun 60-an mahasiswa diminta bantuanya untuk mendorong mobil yang mogok tersebut agar hidup kembali. Akan tetapi setelah mobil bisa berjalan, mahasiswa ditinggalkan dan militerlah yang mengendarai mobil tersebut.
Orde Baru dibangun atas dasar ideologi “developmentalisme” (pembangunanisme), di mana kemajuan suatu bangsa diukur dengan hanya secara material dan matematis. Pertumbuhan ekonomi menjadi parameter keberhasilan pembangunan suatu bangsa tanpa melihat kemerataan ekonominya. Ujung-ujungnya, pengistimewaan terhadap satu kelompok ekonomi tertentu menafikan dan bahkan mengorbankan ekonomi kerakyatan. Untuk mendukungnya kekuasaanya, Suharto memelihara para taipan menjadi konglomerat dan hutang luar negeri dijadikan pijakan utama pembangunan ekonomi. Di bidang politik, Golkar – yang waktu itu tidak mau disebut sebagai partai politik - sebagai partai pendukung utama Suharto, difungsikan sebagai alat pengontrol kehidupan warga negera sekaligus sebagai alat legitimasi kekuasaan yang pada tiap pemilu bertindak sebagai mesin pendulang suara. Sementara partai politik yang jumlahnya cukup banyak, dimandulkan fungsinya dengan cara difusikan menjadi hanya dua partai, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara Pancasila yang sebenarnya lahir dari pergulatan panjang atas pluralitas bangsa, ditafsirkan secara sempit oleh Suharto hanya dengan dengan menggunakan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Di sisi lain, milter dengan dwifungsi TNI-nya dijadikan sebagai anjing-anjing penjaga proyek-proyek konglomerasi penguasa. Mereka siap menerkam siapa saja yang berani berpendapat berbeda dengan pemerintah. Tak heran jika gedung-gedung, pabrik-pabrik dan tempat-tempat hiburan dibangun dengan cara menggadikan warisan generasi mendatang, yaitu dengan mengeksploitasi sumber daya alam secara massif. Sementara rakyat hanya menjadi penonton proses-proses tersebut, jika tidak menjadi korban dari sebuah proses yang dinamakan pembangunan. Parahnya lagi, mereka lantas dipakasa untuk menyebut Suharto sebagai “Bapak Pembangunan”.
Pada era Orde Baru, HMI merupakan organisasi yang cukup disegani dengan kemampuan kader-kadernya yang sudah terbukti bisa menumbangkan Orde Lama. Purnanya beberapa fungsionaris HMI angkatan ’66 sebagai pengurus di dunia pergerakan, menuntut adanya regenerasi. Generasi baru ini adalah energi-enregi baru yang telah mewarisi kebesaran sejarah HMI. Kondisi bangsa yang stabil dan nyaris tanpa pergolakan, menjadikan generasi baru ini lebih menekankan kerja-kerja organisasinya pada pengembangan aspek intelektual. Sebagaimana saat berdirinya, karakter khas dari HMI adalah intelektualitas dan independensi. Trade mark bahwa HMI (angkatan ’66) adalah generasi yang berhahsil menumbangkan Orde Lama, maka tidak heran jika dikampus-kampus HMI sangat populer mengalami peningkatan jumlah anggota secara signifikan.
Era intelektual ini dipelopori oleh kepemimpinan Nurkholis Madjid yang pernah menjabat sebagai ketua HMI selama dua periode (1966/1969-1969/1971). Ia adalah mahasiswa IAIN Syarif Hdayatullah Jakarta yang lahir dari keluarga nahdliyyin di Jombang. Perpaduan antara kecakapanya dalam penguasaan teks-teks agama dengan dialektika di lingkungan Islam modernis menjadikan ia sosok intelektual peripurna, yang oleh Greg Barton (1999) disebut sebagai neo-modernis. Ide sekularisasi dan statemen kotroversialnya “Islam yes, partai Islam no” sempat menjadi polemik panjang di media massa karena mendapatkan bantahan yang cukup keras dari kalangan pemikir Islam lainnya, yang juga kebanyakan dari HMI.
Dibawah kepemimpinannya, materi-materi perkaderan mulai disusun secara lebih sistematis dengan diciptakanya NDP (Nilai Dasar Perjuangan) sebgai pedoman perkaderan di HMI. Pada masanya, juga mulai dirintis majalah HMI sebagai sarana untuk pengembangan dan pertukaran pemikiran. Di tingkat internasional, eksistensi HMI semakin mapan dengan aktifnya kembali di World Asembly Youth (WAY). HMI juga membidani lahirnya International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO) atau Federasi Mahasiswa Islam Internasional. Untuk keperluan eksistensi di tingkat internasional ini, Nurkholis mengunjungi AS, Kanada, Inggris, jerman, dan Timur Tengah dengan atas nama sebagai Ketua Umum PB HMI.
Tokoh lain yang pernah menduduki jabatan ketua umum pada masa tahun-tahun 70-an adalah Akbar Tanjung. Ia adalah mahasiswa kedokteran UI yang menandatangani kesepakatan Cipayung. Kelompok Cipayung, yang merupakan forum irisan antar elemen gerakan mahasiswa seperti HMI, PMKRI, GMNI, PMII, dan GMKI cukup mempunyai peran dalam memberikan ide-ide tentang pluralism. Beberapa tokoh yang kritis mensinyalir kelompok Cipayung merupakan bentuk kooptasi dari penguasa terhadap gerakan mahasiswa.
Perisriwa Malari (5 januari 1974) di Bandung menandai mulai bangkitnya kembali gerakan kritis mahasiswa. Aksi protes mahasiswa terhadap maraknya modal Jepang yang masuk ke Indonesia disikapi penguasa dengan represif oleh militer. Merespons kasus ini, HMI belum menunjukan kontribusinya yang siginifikan untuk membela kepantingan mahasiswa. Demikian juga dalam kasus-kasus lain, HMI lebih banyak mengurusi perebutan kursi-kursi di DEMA (Dewan Mahasiswa) sebagai berbagai lembaga intra kampus, dibandingkan aksi langsung di masyarakat. Secara individu memang banyak anggota HMI yang terlibat dalam bebagai aksi mahasiswa. Akan tetapi, HMI secara organisasi tidak banyak terlibat dalam pembentukan arah sejarah mahasiswa sat itu (Tuhuleley 1990). Untuk menyikapi isu-siu nasional seringkali HMI bersikap ambivalen. Kadang ia berlaku kritis terhdap penguasa, seperti penolakanya pada konsep NKK/BKK sebagai pengganti DEMA, akan tetapi pada sisi lain HMI tetap saja bercokol di lembaga intra kampus (yang dianggapnya telah terkooptasi) dan selalu berjuang merebutkan kursi ketua.
Tahun-tahun 70-an akhir, merupakan era kebangkitan gerakan modern Islam kedua di Indonesia. Keberhasilan Ayatullah Khumaeni (1979)) memimpin revolusi Iran menjadi inspirasi tersendiri bagi tokoh-tokoh Islam untuk melakukan melakukn perlawanan. Gerakan-gerakan Islamisasi ditiap institusi mulai marak lagi, dan kelompok-kelompok gerakan di timur tengah seperti Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, dan sebagainya mulai meluaskan pengaruhnya di ndonesia. Gerakan-gerakan ini membidik kaum terdidik (kampus) sebagai obyek dakwahnya. Makanya tak heran jika awal tahun 80-an merupakan era masjid kampus, dimana pengajian-pengajian sangat marak dan kampus. Berbondong-bondong mahasiswa ikut dalam halaqoh-halaqoh dan ustadz-ustadz “karbitan” muncul dari kalangan akademis yang tercerahkan.
Di internal HMI-pun tidak terlepas dari kecenderungan semacam ini. Kritikan-kritikan bahwa HMI kurang Islami memicu beberapa pengurus HMI melakukan gerakn ‘hijaunisasi’ kembali. Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) sangat berperan dalam hal ini. LDMI membentuk kelompok kajian NDI (Nilai-nilai Dasar Islam) yang kemudian setelah lepas dari HMI bernama FOSI (Forum Silaturrahmi Islam). Diantara tokoh-tokohnya adalah Eggy Sudjana, M.S. Ka’ban, dan lain-lain. Penggunaan metode brain washing dalam training-trainingnya menjadikan klompok kajian ini sangat efektif dalam membentuk kader-kader militan di HMI.
Adanya hijaunisasi ini pada akhirnya mengkutub pada perdebatan ideologis di HMI. Perdebatan panjang mengenai Islam dan Pancasila memakan energi para pemikir HMI yang tidak sedikit. Lama-lama wacana ini berkembang sampai tingkat bawah dan mulai mendapatkan pengikutnya masing-masing. Kelompok “Islamis” mengidealisasikan bahwa Islam harus mewujud dalam sebuah sistem yang mengatur kehidupan warga negara karena sebagai sebuah tatanan hidup, Islam sudah paripurna. Meskipun tidak semuanya berpendapat demikian, kader-kader yang prihatin dengan sekularisasi yang dialami HMI juga masuk dalam blok ini. Sudah tentu kelompok inilah yang gigih melakukan “hijaunisasi” kembali di HMI. Beberapa eksponen HMI yang mendukung cenderung pada kelompok ini diantaranya adalah Abdullah Hehamahua, Ismail Hasan Metarium, Deliar Noer dan sebagainya.
Sebagian kader yang melakukan elaborasi pemikiran ke-Islaman lebih ekletis dan dialektis berpendapat bahwa negara merupakan bentuk dari sebuah keinginan untuk hidup bersama yang terikat dalam konsensus, dalam hal ini Pancasila. Sehingga, terlepas dari penyelewengan-penyelewengan yang dilakuka oleh rezim, Pancasila merupakan produk yang paripurna bagi bangsa Indonesia dalam kerangka kehidupan kebangsaan. Pemikiran demikian banyak dipelopori oleh orang-orang yang tergabung dalam limitted graup-nya Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, dan Djohan Efendi di Yogyakarta serta tokoh-tokoh lain di Jakarta seperti Nurkholis Madjid, Dahlan Ranuwiharjo, dan sebagainya. Dalam lokakarya tafsir asas atas tafsir asas organisasi dalam lokakarya tafsir asas di mataram dan Yogyakarta dua polarisasi pemikiran ini sempat mengalami perdebatan panjang.
Polarisasi bukan hanya terjadi dalam pemikiran saja, akan tetapi perbedaan pendapat mengenai sikap politik HMI terhadap negara ternyata juga lebih seru dan bahkan menumbuhkan bibit perpecahan. Beberapa kader mengkritik bahwa HMI telah kehilangan daya kritisnya karena terlalu akomodatif terhadap pemerintah. Kelompok ini menginginkan HMI harus tetap independen dan berdiri diluar negara. Orde Baru sudah banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan terhadap kekuasaan yang mereka pegang. Rencana penerapan UU ke-ormasan yang akan memaksa semua organisasi menerapkan Asas Tungal Pancasila adalah edisi baru dari cara Suharto melakukan kontrol terhadap warga negara. Kelompok ini secara taktis berafiliasi dengan kelompok Islamis. ‘Pengalaman historis revolusi Iran menunjukan bahwa ternyata Islam juga bisa menjadi kekuatan revolusi’.
Pada sisi lain sebagian anggota HMI memilih jalan kompromistis sebagaimana yang biasa dilakukan HMI sebelumnya. Kesediaanya bekerja sama dengan pemerintah dan karena kedekatanya dengan beberapa alumni yang sudah duduk dalam birokrasi menjadikannya kurang peka terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pemerintah. Masuk menjadi anggota HMI bukan berati harus berjuang dan hidup susah, akan tetapi bisa saja sebagai salah satu jalan karir masa depan. Menjadi anggota HMI, setidaknya menurut persepsi beberapa orang, berati menjadi calon pejabat dalam birokrasi negara. Pendapat-pendapat demikian sah-sah saja dan tidak salah. Posisi HMI yang sudah sedemikian mapan secara riil memberikan peluang untuk itu. Akan tetapi jika pendapat demikan hanya akan menjadikan HMI tidak independen dan oportunis. Beberapa anggota yang berpendapat demikian ternyata lebih sepakat jika HMI mengikuti keinginan pemerintah memakai Asas Tunggal Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Calendar