Sabtu, 26 Februari 2011

VI. HMI Tahun 90-an: “Reformasi Menumbangkan Suharto”

Share it Please
Tahun 90-an bisa dikatakan merupakan tahun kemesraan antara kekuatan Islam dengan Orde Baru. Berdirinya ICMI oleh sebagian besar kalangan dianggap sebagai angin segar atas akomodasi Suharto terhadap Islam yang selama ini lebih banyak disingkirkanya. Kegiatan dakwah Islam dalam kantor-kantor birokrasi pemerintah mulai marak. Berbondong-bongong pada tiap kantor pemerintah didirikan pengajian-pengajian dan majelis ta’lim. Perusahaan yang mendirikan pabrik di suatu lokasi diwajibkan mendirikan musholla untuk karyawanya. Masjid dibangun dimana-mana dengan bantuan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, milik Suharto.
Akan tetapi keadaan ini bukan berarti Orde Baru telah berubah menjadi baik. Akomodasi penguasa terhadap kelompok Islam hanyalah salah satu cara untuk menutupi borok-borok penguasa dan memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk. Kelompok-kelompok Islam yang independen dan kritis masih menjadi momok bagi penguasa. Demikian juga bagi HMI MPO, kebebasan merupakan hal yang paling mahal dan HMI MPO tetap sebagai organisasi bawah tanah harus memakai taktik kucing-kucingan dengan aparat untuk berthan.
Perjuangan HMI MPO untuk mempertahankan eksistensinya dilakukan dengan cara membentuk lembaga-lembaga kantong yang akan menjadi wadah-wadah bagi suara HMI MPO. Hal ini dilakukan karena tidak mungkin HMI MPO melakukan kritik secara langsung. Dibentuklah beberapa lembaga kantong aksi seperti: LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta), FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta), SEMMIKA dan sebagainya. Jika kita perhatikan strategi ini mirip dengan apa yang dilakukan HMI pada tahun 60-an dengan membentuk KAMI sebagai mantelnya. Lembaga-lembaga ini melakukan mobilisasi massa dengan melakukan parlemen jalanan (demonstrasi) yang tak jarang bentrok dengan aparat.
Selain itu HMI MPO berusaha menguasai lembaga-lembaga intra kampus sebagai wadah perkaderan dan perjuangan. Lemahnya sumber daya finansial tidak menghentikan kreatifitas kader-kader HMI untuk berkativitas. Salah satunya ialah dengan memanfaatkan lembaga intra kampus. Lembaga intra kampus merupakan sarana perkaderan yang cukup efektif untuk membentuk jiwa-jiwa kepemimpian kader. Selain itu netralitas lembaga intra kampus menjadikan lembaga ini mudah untuk melakukan mobilisasi massa. Hal ini sangan mendukung dalam aksi-aksi HMI. Contoh kongkrit dari pemanfaatan lembaga intra kampus ini adalah pada saat memontum turunnya Suharto pada tanggal 20 Mei 1998.
Suharto yang sudah berkuasa selama 30 tahun harus tumbang ditangan aksi-aksi massa yang dilakukan oleh mahasiswa. Krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997 ternyata berimbas pada terkuaknya semua borok yang dimiliki oleh rezim Orde Baru. Megahnya pembangunan yang selama ini sangat diagung-agungkan ternyata keropos, karena di bangun atas pondasi hutang luar negeri yang sangat besar. Ketika fluktuasi nilai tukar rupiha terhadap dollar tidak bisa ditolerir lagi, tiba-tiba jumlah hutang melambung tinggi dan Indonesia harus menangis. Yang terhormat Suharto, terpaksa harus merunduk di depan lipatan tangan Hubert Neiss (wakil IMF-International Monetary Fund), waktu menandatangani kesepakatan hutang baru terhadap IMF. Para kapital-imperialis Amerika tertawa karena telah berhasil membuat Indonesia makin tergantung. Indonesia belum merdeka, Bung !
Mahasiswa bergerak, aksi demonstrasi menuntut diturunkannya Suharto menjalar mulai dari kmpus-kampus besar sampai ke kampus-kampus kecil. Tak jarang korban berjatuhan di mana-mana. Kasus terbunuhnya beberapa mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998, tertembaknya Moses Gatot Kaca di Yogyakarta, dan tindakan-tindakan anarkis aparat terhadap mahasiswa semakin membuka kesadaran masyarkat luas untuk turut dala aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa. Arus tak terbendung lagi Ketika pada tanggal 20 Mei 1998, lebih dari satu juta massa melakukan aksi di silang monas dengan tuntutan “Suharto harus turun”. Demikian juga di alun-alun utara Yogyakarta, setengah juta massa berjubel sampai jalan Malioboro dengan tuntutan yang sama. Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 jam 09.15 WIB. Aksi juga dilakukan di Makasar, purwokerto, Bandung, Malang dan kota-kota lain.
Harus diakui bahwa fenomena munculnya aksi-aksi massa menjelang reformasi banyak dipeplopori oleh kader-kader HMI MPO. Beberapa kader yang kebetulan menjadi fungsionaris lembaga intra kampus turut mengusung isu-isu penurunan Suharto ke dalam kerja-kerja lembaganya. Aksi setengah juta massa di Yogyakarta di pelopori oleh Keluarga Mahasiswa (KM UGM), dimana yang menjadi think-tank-nya adalah kader-kader HMI MPO. Sebelum aksi itu, KM UGM mengadakan polling yang menghasilkan rekomendasi bahwa lebih dari 80% responden menolak kepemimpinan Suharto. Hasil polling ini mempengaruhi opini nasional, terutama di kalangan para aktifis pergerakan.
Di Jakarta juga demikian, meskipun banyak ditentang oleh elemen-elemen Islam lainya, HMI MPO bersama FKMIJ-nya tercatat sebagai salah satu elemen mahasiswa yang sejak awal melakukan aksi untuk menolak Suharto. Bahkan setelah Suharto turun dan diganti oleh Habibie, HMI MPO tetap melakukan aksi-aksi penolakannya di gedung DPR/MPR bersama elemen-elemen kiri. HMI-MPO adalah satu-satunya elemen Islam yang menolak BJ Habibie naik menjadi presiden. HMI MPO sempat dicap “bukan Islam” (atau biasa disebut dengan istila “bukan orang kita”) oleh kelompok-kelompok aksi pembela Habibie, yang kebanyakan berasal dari kelompok-kelompok Islam. Oleh kelompok-kelompok politik Islam Habibie dianggap mewakili kepentingan Islam karena ia pelopor ICMI dan dekat dengan kalangan Islam.
Begitulah ketagasan sikap independen HMI yang tidak mau tuntuk kepada siapapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan. HMI selalu siap bekerja sama dengan siapapun asalkan untuk meneriakan kebenaran dan keadilan. HMI Akan selalu kritis dengan siapapun tanpa pandang bulu, termasuk dengan saudaranya sendiri. Sikap HMI yang tidak mau didikte alumni (KAHMI), berlaku jujur pada siapapun, selalu berdiri diluar negara merupakan bukti indepndensi HMI MPO.
Berbicara mengenai sejarah HMI, pada dasarnya juga membicarakan sejarah bangsa Indonesia. HMI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika bangsa yang sangat kita cintai ini. Usia HMI yang sebanding dengan umur NKRI ini bukanlah usia yang singkat. Dalam usianya yang lebih dari setengah abad, HMI telah menempuh asam-garamnya sejarah dan akan selalu setia mengukir sejarah itu lagi dimasa depan. Tentu dengan kisah-kisah perjuangan atas kebenaran dan keadilan yang lebih heroik. Siapa lagi kalau bukan generasi penerusnya !.
Pecahnya HMI menjadi HMI MPO dan HMI DIPO adalah bagian dari dinamika sejarah yang tidak harus disesali. Manusia hanya bisa melakukan penilaian sehingga dapat mengambil pelajaran darinya. Bagi kader-kader baru, yang dibutuhkan bukanlah romantisme sejarah masa lalu, akan tetapi warisan semangat perjuangan dan indepenndensi untuk berbuat yang terbaik bagi kemanusiaan. Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil aalamin !.

Penulis: M. Chozin Amirullah, Ketua Umum PB HMI 2009-2011,
Email: mchozin@pbhmi.net 25 

Daftar Pustaka:

Al-Mandari, S. 1999. HMI dan Wacana Revolusi Sosial. Pusat Studi Paradigma Ilmu (PSPI). Ujung Pandang
Aidit, D. N., dkk. 2001. PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madiun 1948). Era Publisher. Jakarta
Barton, G. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Paramadina. Jakarta.
Dahlan, M. M. 1999. Sosialisme Religius. Penerbit Kreasi Wacana. Yogyakarta
Grant, T. dan Woods, A. 2001. Melawan Imperialisme. Penerbit Sumbu. Jakarta
Halim, Z. 1990. HMI, Nasakom dan Pasca Gestapu. Makalah dalam buku putih “Dinamika Sejarah HMI”. HMI Badko Jawa Bagian Tengah. Yogyakarta
Hehamahua, A. 1985. HMI Membunuh Diri Sendiri. Surat Abdullah Hehamahua pada PB HMI. Jakarta
Pratiknya, A. W. Pesan Perjuangan Seorang Bapak. Penerbit Dewan dakwah Islamiyah Indonesia dan Lembaga Laboratorium. Jakarta
Ranuwiharjo, D. 1996. Catatan : Dahlan Ranuwiharjo, S.H. pada dies natalis HMI ke-43. Diterbitkan oleh PB HMI. Jakarta.
Roem, M. 1972. Bunga Rampai dari Sedjarah. Penerbit Bulan Bintang. Djakarta.
Sitompul, A. 1976. Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam tahun 1947-1975. Penerbit Bina Ilmu Offset. Surabaya.
Suharsono. 1998. HMI MPO dan Rekonstruksi Pemikiran Masa Depan. CIIS Press. Yogyakarta
Sundhaussen, U. 1986. Polilti Militer Indonesia 1945-1967. LP3ES. Jakarta
Tanja, V. 1978. HMI, Sejarah dan Kedudukanya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia. Penerbit ‘sh’. Jakarta
Tuhuleley, S. 1990. HMI di Mata Seorang Praktisi (Mahasiswa) 77-78: Sebuah Upaya Permakluman. Makalah dalam buku putih: “Dinamika Sejarah HMI”. HMI Badko Jawa Bagian Tengah. Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Calendar