PEMBANGUNAN BANGSA
A.Pendahuluan
Derap dan langkah pembangunan pada hakikatnya
dimaksud-kan agar terjadi perubahan yang didambakan dan dirindukan oleh bangsa
Indonesia, dalam menjalani dan menjalankan hidup dan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang tantangan-nya semakin besar dan semakin kompleks.
Manusia sebagai makhluk Tuhan, tidak hanya berada di dunia,
melainkan juga senantiasa membangun adanya, dalam pertemuan dan pergaulannya
dengan sesama dan dunia, serta dalam hubungannya dengan Tuhan. Kita memang
sedang gandrung untuk membangun, tumbuh dan berubah secara progresif, namun
bukan dengan harga setinggi penghancuran eksistensi kita sendiri. Kita tidak
hanya ingin mengenyam, tetapi juga ingin menyumbang terhadap kemenangan ilmu
dan teknologi, namun bukan kemenangan semu yang secara melekat mengandung
kekalahan total dilihat dari nilai-nilai insani (“human values”).
Pembangunan yang sedang digalakkan perlu
sebuah paradigma, yaitu sebuah kerangka berpikir atau sebuah model mengenai
bagaimana hal-hal yang sangat esensial dilakukan. Denis Goulet tokoh yang
merintis etika pembangunan menyebut tiga pandangan tentang pembangunan
(M.Sasatrapratedja, 2001) : pertama, pandangan yang melihat pembangunan
sinonim dengan pertumbuhan ekonomi, dengan indicator GNP dan tingkat
pertumbuhan per tahun; kedua, sebagaima-na dirumuskan oleh PBB, bahwa
“pembangunan = pertumbuhan ekonomi + perubahan sosial”. Pembangunan dalam
artian ini sangat luas, namun kerapkali ditekankan pada perkembangan pembagian
kerja, kebutuhan institusi baru, tuntutan akan sikap-sikap baru yang sesuai
dengan kehidupan modern; dan pandangan ketiga mengenai pembangunan
menekankan nilai-nilai etis. Tekanan diberikan pada peningkatan kualitatif seluruh masyarakat
dan seluruh individu dalam masyarakat. Pembangunan itu bukan tujuan pada
dirinya sendiri, tetapi suatu usaha pengembangan manusia. Dalam konsepsi ini
yang ditekankan bukan hanya hasil yang bermanfaat, tetapi proses
pencapaian hasil juga penting. Pembanguan dalam perspektif Pancasila adalah
pembangunan yang sarat muatan nilai yang berfungsi menjadi dasar pengembangan
visi dan menjadi referensi kritik terhadap pelaksanaan pembangunan.
B. Pancasila sebagai Orientasi dan
Kerangka Acuan Pembangunan
1. Pancasila sebagai orientasi Pembangunan
Wawasan kebangsaan
sebagai suatu suatu kekuatan dinamis dapat menggerakkan segenap potensi bangsa
dalam mewujudkankan cita-cita luhur menuju Indonesia yang berkeadilan dan
berkemakmuran. Nilai-nilai kebangsaan yang terkandung di dalamnya tidak dapat
begitu mudah mengalami erosi, jika tidak oleh karena tingkah laku insan-insan
itu sendiri yang merusaknya. Para Founding Fathers kita selalu
menekankan “Membangun Sebuah Bangsa” (“Nation and Character Building”)
dari kemerosotan zaman kolonial untuk dijadikan suatu bangsa yang berjiwa kuat
dan tahan uji dalam menghadapi segala tantangan dalam abad XX, juga pentingnya self
respect kepada bangsa itu sendiri, menumbuhkan self confidence dan
sanggup untuk berdikari (Roeslan Abdulgani, 2000).
Pada saat ini
Pancasila lebih banyak dihadapkan pada tantangan berbagai varian kapitalisme
dari pada komunisme atau sosialisme. Ini disebabkan perkembangan kapitalisme
yang bersifat global. Fungsi Pancasila ialah memberi orientasi untuk terbentuknya
struktur kehidupan sosial-politik dan ekonomi yang manusiawi, demokratis dan
adil bagi seluruh rakyat(M.Sastrapratedja, 2001). Sila pertama dan kedua
mengandung imperatif etis untuk menghormati martabat manusia dan memperlakukan
manusia sesuai dengan keluhuran martabatnya. Sila ketiga mengandung implikasi
keharusan mengatasi segala bentuk sektarianisme, yang berarti pula komitmen
kepada nilai kebersamaan seluirtuh bangsa. Sila keempat mengandung nilai-nilai
yang terkait dengan demokrasi konstitusional : persamaan politis, hak-hak asasi
manusia dan kewajiban kewarganegaraan. Dan sila kelima mencakup persamaan dan
pemerataan.
Sila-sila Pancasila, yang bermuatan Nilai-nilai
Religius (sila 1), Nilai-nilai Human (sila 2), Nilai-nilai
Kebangsaan (sila 3), Nilai-nilai Demokrasi (sila 4), dan Nilai-nilai
Keadilan (sila 5), merupakan sebuah kesatuan organis, harmonis,
dinamis, sebagai orientasi pembangunan nasional dalam mewujudkan tujuan dan
cita-cita nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Keterpurukan
bangsa Indonesia dalam bidang karakter yang kita rasakan dan kita alami hingga
kini, mengharuskan kita “back to basic” kepada nilai-nilai
Pancasila yang sangat luhur dan kita banggakan itu.
2. Pancasila sebagai kerangka acuan Pembangunan
Pancasila
diharapkan dapat menjadi matriks atau kerangka referensi untuk membangun suatu
model masyarakat atau untuk memperbaharui tatanan sosial-budaya. Ada dua fungsi
dari Pancasila sebagai kerangka acuan (M.Sastrapratedja, 2001) : pertama,
Pancasila menjadi dasar visi yang
memberi inspirasi untuk membangun suatu corak tatanan sosial-budaya yang akan
datang, membangun visi masyarakat Indonesia di masa yang akan datang; dan kedua,
Pancasila sebagai nilai-nilai dasar
menjadi referensi kritik sosial-budaya.
Visi diibaratkan sebagai suatu peta yang
memberi petunjuk ke mana arah perjalanan kita. Visi masyarakat memberi arah
kemana gerak dan langkah masyarakat kita. Nilai-nilai apa yang menjadi pedoman
untuk melagkah ke masa depan. Visi dapat pula didefinisi-kan sebagai ekspresi
terdalam akan apa yang kita kehendaki, yang mengungkapkan sisi ideal dan
spiritual dari kodrat kita. Visi adalah adalah impian yang terjadi saat kita jaga –
impian mengenai keinginan kita mau menjadi apa? Ini adalah visi pri badi masing-masing-masing-masing.
Visi suatu masyarakat adalah nilai-nilai yang dianggap paling penting, yang
memberi corak khas pada tatanan sosial-budaya dan mewarnai perilaku seluruh
anggota masyarakat. Visi itu dapat merupakan warisan dari para pendahulu, dapat
puila merupakan kesepakatan yang dirumuskan oleh seluruh warga dan menjadi
komitmenm bersama. Pancasila perlu dterjemahkan menjadi visi tentang masyarakat
yang kita inginkan (M. Sastrapratedja, 2001).
Pancasila sebagai nilai-nilai dasar yang
menjadi referensi kritik sosial-budaya dimaksudkan agar proses perubahan
sosial-budaya yang sangat cepat yang terutama diakibatkan oleh perkembangan
ilmu dan teknologi yang spektakuler, yang terjadi dalam derap dan langkah
pembangunan dalam era informasi ini, tetap didasari dan dijiwai nilai-nilai
Pancasila. Kritik sebagai bahan dialog dalam proses mencapai “fusi horison
makna” pembangunan sangat diperlukan sehingga pembangunan dapat dinamis dan
kontekstual dalam menghadapi tantangan zaman dan dengan nilai-nilai yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat , bangsa dan negara (nilai-nilai Pancasila).
C. Pancasila sebagai
Paradigma Pembangunan Bangsa
1. Pancasila sebagai
Paradigma Pembangunan Pendidikan
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar
untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam kesatu-an organis
harmonis dinamis, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian, menurut Notonagoro (1973)
merupakan sifat dwi tunggal pendidikan nasional.
Pendidikan sebagai
bagian dari Ilmu Humaniora memperlihat-kan proses yang terus-menerus mengarah
pada kesempurnaan, yang semakin manusiawi. Pendidikan pada dasarnya ialah
pemanusiaan, dan ini memuat hominisasi dan humanisasi. Hominisasi merupakan proses pemanusiaan
secara umum, yakni memasukkan manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara
minimal. Humanisasi adalah proses yang lebih jauh, kelanjutan
hominisasi. Dalam proses ini, manusia bisa meraih perkembangan yang lebih
tinggi, seperti nampak dalam kemajuan-kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan
(Driyarkara, 2006).
Salah satu agenda
penting dalam upaya mengatasi krisis dalam kehidupan bangsa kita adalah melalui
pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan akhlak,
pendidikan budi pekerti. Dalam penerapan pendidikan karakter, pendidikan nilai
atau pendidikan moral, sebagaimana dikemukakan oleh D. Purpel & K. Ryan
(Eds) dalam Colin J. Marsh ( 1996), hendaknya memperhitung-kan baik kemampuan
peserta didik untuk berpikir tentang persoalan-persoalan moral, maupun cara di
mana seorang peserta didik benar-benar bertindak dalam situasi-situasi yang
menyangkut benar dan salah.
Pendidik (guru)
yang baik adalah vital bagi kemajuan dan juga keselamatan bangsa. Guru tidak
hanya menyampaikan idea-idea, tetapi hendaknya menjadi suatu wakil dari suatu
cara hidup yang kreatif, suatu simbol kedamaian dan ketenangan dalam suatu
dunia yang dicemaskan dan dianiaya. Ia menjadi penjaga peradaban dan pelindung
kemajuan (Frederick Mayer, 1963). Keteladanan pendidik adalah suatu keniscayaan
yang harus diwujudkan. Perilaku pendidik akan lebih diikuti oleh peserta didik
dari pada apa yang dikatakan guru.
Pendidik (guru) yang memiliki akhlak, budi
pekerti, karakter yang baik, akan sangat kondusif dalam mewujudkan keberhasilan
pendidikan moral, yang muaranya akan mendukung bagi peserta didik untuk
memiliki karakter yang baik. Karakter yang baik mencakup secara organis harmonis dan
dinamis komponen-komponen pengeta-huan moral yang baik, perasaan moral yang
baik, dan tindakan moral yang baik. Oleh karena itu, Lickona (1991) dalam I
Wayan Koyan (1997) menyatakan bahwa untuk mewujudkan karakter yang baik,
memerlukan pendekatan pendidikan moral yang komprehensif. Komponen-komponen
karakter yang baik mencakup pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral
(moral feeling) dan tindakan moral (moral action). Untuk pendidikan anak usia
dini pendekatan ini perlu disesuaikan dengan karakteristik anak, yang dalam
pendidikannya lebih mengedepankan bentuk-bentuk bermain. Dengan bermain anak
mengalami kegembiraan dalam mengekspresikan atau mengaktualisasikan dirinya.
Komponen “moral knowing” meliputi
enam unsur yaitu :
1. “Moral awareness” ,
kesadaran moral atau kesadaran hati nurani, yang terdiri dari dua aspek yaitu :
pertama, tanggung jawab moral, ialah menggunakan kecerdasan untuk melihat jika
situasi meminta penilaian atau pertimbangan moral, dan berpikir secara
hati-hati tentang apa yang benar dari perilaku tersebut; aspek ke dua, ialah “is
taking trouble to be informed”.
2. “Knowing moral values” atau pengetahuan tentang nilai-nilai
moral. Nilai-nilai moral tersebut antara lain : rasa hormat tentang kehidupan
dan kebebasan, tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan, toleransi,kesopanan, disiplin diri,
integritas, kebaikan, perasaan kasihan, dan keteguhan hati. Dengan mengetahui
nilai-nilai, berarti mengerti bagaimana mengapli-kasikannya dalam berbagai
situasi
3. “Perspectives-taking”
atau perspektif yang memikat hati,
adalah kemampuan untuk memberi pandangan pada orang lain, melihat situasi
seperti yang dia lihat, membayangkan bagaimana dia seharusnya berpikir,
bereaksi, dan merasakan. Ini merupakan syarat memberi pertimbangan moral. Kita
tidak dapat memberi rasa hormat kepada orang lain dan berbuat sesuai dengan
kebutuhannya, jika kita tidak memahami mereka. Tujuan fundamental dari
pendidikan moral adalah untuk membantu peserta didik memahami keadaan dunia dan
bagaimana memandang orang lain, khususnya dalam keadaan yang berbeda dengan
diri mereka sendiri.
4. “Moral reasoning” atau
pertimbangan-pertimbangan moral, adalah
pengertian tentang apa yang dimaksud dengan bermoral, dan mengapa kita harus
bermoral. Alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan moral untuk berperilaku
tertentu dalam berbagai situasi. Untuk
ini diperlukan berbagai simulasi yang relevan dengan karakteristik anak usia dini.
5. “Decision-making” atau pengambilan keputusan, adalah kemampuan
mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral. Apa pilihan saya;
apakah akibat yang timbul dari keputusan yang diambil, dan keputusan mana yang
membawa akibat baik paling banyak.
6. “Self-knowledge”
atau mengenal dri sendiri, adalah kemampuan mengenal atau memahami diri sendiri, dan hal ini paling sulit
dicapai, tetapi hal ini penting untuk
pengembangan moral. Untuk menjadi orang bermoral, dituntut adanya
kemampuan untuk dapat melihat kembali perilaku yang pernah diperbuat, dan
menilainya.
Kesadaran
moral, mengenal diri sendiri, mengenal nilai-nilai moral, kemampuan memberi
pandangan, pengambilan keputusan, dan pengenalan diri sendiri, adalah kualitas
manusia utama, yang membuat orang memiliki pengetahuan moral (“moral
knowing”), yang semuanya ini berkonstribusi terhadap bagian dari kognitif
karakter.
Komponen-komponen “moral feeling” meliputi
enam unsur penting, yaitu :
1. “Conscience”, kata hati
atau hati nurani, yang memiliki dua sisi, yaitu sisi kognitif (pengetahuan
tentang apa yang benar), dan sisi emosi (rasa wajib berperilaku menurut
kebenaran itu). Banyak orang tahu tentang kebenaran tetapi sedikit yang merasa
wajib berperilaku menurut kebenaran itu,
2. “Self-esteem”
atau harga diri. Mengukur harga diri kia sendiri berarti kita menilai diri
sendiri. Jika kita menilai diri sendiri, berarti kita merasa hormat terhadap diri sendiri, dan dengan cara
demikiankita akan mengurangi penyalahgunaan pikiran atau badan kia sendiri. Jika kita memiliki
harga diri, kita akan mengurangi ketergantungan pada persetujuan orang lain.
Tugas pendidik adalah membantu peserta didik untk mengembangkan secara positif
harga diri atas dasr nilai-nilai, seperti tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan
atas dasar keyakinan kemampuan mereka sendiri untuk berbuat baik.
3. “Empathy” atau empati,
adalah kemampuan untuk mengidenti-fikasi,
seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami orang lain, atau
merasakan apa yang orang lain rasakan. Ini bagian dari emosi, yaitu kemmpuan
memandang orang lain. Bagi pendidik moral, tugasnya adalah mengembangkan empati
yang bersifat umum.
4. “Loving the good” atau
cinta pada kebaikan, Jika orang cinta akan
kebaikan, maka mereka akan berbuat baik, dan mereka memiliki moralitas.
5. “Self-control”
atau kontrol diri, adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan hal
ini diperlukan juga untuk mengekang kesenangan diri sendiri.
6. “Humility” atau
kerendahan hati (“lembah manah”), adalah merupakan kebaikan moral yang
kadang-kadang dilupakan atau diabaikan, pada hal ini merupakan bagian
terpenting dari dari karakter yang baik. Kerendahan hati adalah bagian dari
aspek afektif dari pengetahuan terhadap diri sendiri. Ini merupakan keterbukaan
dan ketertarikan terhadap kebenaran serta kemampuan bertindak untuk mengoreksi
kelemahan atau kekurangan.
Kata hati, harga
diri, empati, cinta kebaikan, pengendalian diri, dan kerendahan hati,
kesemuanya akan memperbaiki bagian emosi dari moralitas diri sendiri.
Komponen-komponen “Moral
Action”, meliputi tiga unsur penting, yaitu :
1.
“Competence” atau kompetrensi moral, adalah kemampuan untuk
menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral dan perasaan dalam dalam perilaku
moral yang efektif. Sebagai contoh untuk mengatasi pertentangan atau konflik
memerlukan ketrampilan praktis, seperti ketrampilan mendengarkan, ketrampilan
berkomunikasi dengan jelas, dan memutuskan bersama suatu pemecahan masalah yang
dapat diterima secara timbale-balik.
2. “Will” atau kemauan, adalah
kemampuan yang sering menuntut tindakan nyata dari kemauan, memobilisasi energi
moral untuk bertindak tentang apa yang kita pikirkan, apa yang harus kita
kerjakan. Kemauan berada pada keberanian moral inti.
3. “Habit” atau
kebiasaan. Suatu kebiasaan untuk bertindak secara baik dan benar perlu
senantiasa dikembangkan. Peserta didik perlu diberi kesempatan yang cukup
banyak untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan mempraktekkannya
bagaimana menjadi orang yang baik.
Tugas pendidikan
moral adalah membantu peserta didik supaya memiliki karakter atau akhlak atau
budi pekerti yang baik, sekaligus dimilikinya dalam diri peserta didik,
pengetahuan, perasaan, dan tindakan moral yang saling melengkapi satu sama
lain, dalam suatu kesatuan organis harmonis dinamis. Sedangkan tujuan
pendidikan moral adalah membantu peserta didk agar menjadi bijak atau pintar (smart)
dan membantu mereka menjadi orang yang baik. Baik dalam artian ini adalah dimilikinya
nilai-nilai yang dapat memperkokoh martabat manusia dan mengembangkan kebaikan
individu dan masyarakat.
Dua nilai moral universal, yang berbentuk nilai-nilai
inti dalam masyarakat umum, yang secara moral dapat diajarkan ialah “rasa
hormat” (“respect”) dan “tanggung jawab” (“responsibility”).
“Respect” berarti menunjukkan rasa hormat yang seimbang bagi seseorang atau sesuatu
hal, termasuk rasa hormat pada diri sendiri, terhadap hak dan martabat semua
orang, terhadap lingkungan yang dapat menopang seluruh kehidupan manusia. Rasa
horamat pada dasrnya adalah pengendalian
moralitas dari gangguan eksternal. Sedangakan tanggung jawab adalah
perilaku yang nampak dari moralitas, yang termasuk di dalamnya perhatian atau
“caring” terhadap diri sendiri dan orang lain, pemenuhan kewajiban-kewajiban,
kontribusi terhadap masyarakat, pengurangan terhadap penderitaan, dan membangun
dunia yang lebih baik.
Di samping Lickona (1991), William J. Bennett (Ed) (1997)
dalam bukunya yang berjudul “The Books of Virtues : A Treasury of Great
Moral Stories” sebagaimana dikutip
oleh I Wayan Koyan (1997) mengungkapkan beberapa cara untuk mengembangkan
karakter yang baik, yakni sebagai berikut :
1.
“Self-discipline atau disiplin diri perlu
ditanamkan pada para mahasiswa/siswa, dosen/guru, pelatih, pembimbing, dan
semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran.
2.
“Compassion” atau rasa terharu. Rasa terharu yang
disertai rasa kasih saying dapat ditanamkan melalui ceritera-ceritera atau
peribahasa yang bermanfaat seoptimal mungkin.
3.
“Responsibility” atau tanggung jawab. Orang yang
tidak bertanggung jawab adalah suatu cirri bahwa orang tersebut belum matang,
sebaliknya adanya rasa tanggung jawabadalah cirri kematangan seseorang.
Berusaha membantu anak-anak supaya menjadi orang yang bertanggung jawab, kita
sesungguhnya membantu mereka untuk menjadi matang. Anak perlu dilatih
mengerjakan tugas-tugas ruimah, tugas-tugas sekolah dan belajar bekerja secara
suka rela di mana perlu.
4.
“Friendship” atau persahabatan. Ceritera-ceritera
yang disamapaikan pada mahasiswa/siswa mengenai persahabatan yang baik
merupakan paradigma moral bagi semua hubungan antar manusia. Kita harus
mengajarkan kepada siswa bagaimana
memilih teman (sahabat) yang baik. Tuntutan suatu persahabatan adalah
kejujuran, keterbukaan, setia, pengorbanan diri, yang ini semua adalah sangat
potensial untuk mendorong terwujudnya kematangan moral dan kejujuran yang
mantap.
5.
“Work” atau bekerja. Langkah pertama dalam
mengerjakan sesuatu adalah belajar, bagaimana cara mengerjakan sesuatu. Dalam
hal ini perlu ditanamkan bahwa semua pekerjaan adalah baik dan mulia, cara
menikmati mengerjakan sesuatu, cara bekerja sama, memberi dorongan dan
apresiasi terhadap usaha-usaha mereka, bekerja dengan penuh riang gembira,
disertai dengabn pemberian contoh yang teliti dan cermat.
6.
“Courage” atau keberanian dan keteguhan hati. Hali
ini perlu ditanamkan dalam menghadapi perasaan takut, sifat ragu-ragu, gugup,
bimbang, dan sifat-sifat lain yang sering mengganggu. Anak perlu didorong dan
dibangkitkan motivasinya untuk berlatih dengan menggunakan kecerdasannya.
7.
“Perseverance” atau ketekunan. Bagaimana caranya
mendorong para mahasiswa/siswa supaya tekun dan tetap melaksanakan usaha-usaha
untuk meningkatkan keberanian dan ketekunannya. Mereka perlu dibimbimbing dan
diarahkan serta diber contoh-contoh yang positif, dengan mengedepankan prinsip “Tut
Wuri Handayani”.
8.
“Honesty” atau kejujuran. Peserta didik perlu
dididik menjadi pribadi yang jujur, berbuat secara nyata, secara murni, dan
dapat dipercaya. Kejujuran diwujudkan atau diekspresikan dalam bentuk rasa
hormat kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Hal ini perlu dilatih dan
dipelajari, yang pada hakikatnya sepanjang hidup, supaya menjadi orang yang
memiliki integritas dan kemauan yang mulia. Kejujuran adalah hal yang sangat
penting bagi pemeliharaan hubungan-hubungan kemanusiaan, bagi persahabatan
sejati di dalam masyarakat. Hal ini harus dimiliki dan diaplikasikan secara
serius supoaya menjadi seseorang yang baik dan bijaksana.
9.
“Loyality” atau loyalitas. Loyalitas atau
kesetiaan berkaitan dengan hubungan kekeluargaan, persahabatn, afilisiasi
keagamaan, kehidupan professional dan lain-lain, yang kesemuanya itu dapat
berubah dan dikembangkan kea rah yang baik dan mulia.
10. “Faith” atau
keyakinan. Keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakandimensi
yang sangat penting, yang merupakan sumber moral manusia. Keyakinan juga
merupakan sumber disiplin dan kekuatan yang sangat berarti dalam kehidupan
manusia, dapat membantu kestabilan sosial dan perkembangan moral individu dan
masyarakat. Oleh karena itu hal ini perlu dimiliki oleh anak-anak sedini
mungkin sesuai dengan tahap-tahap perkembngan mereka.
Schiller & Bryant juga mengemukakan ada 16 moral dasar bagi
anak, yaitu : (1) Kepedulian dan empati, (2) Kerjasama, (3) Berani, (4)
Keteguhan hati dan komitmen, (5) Adil, (6) Suka menolong, (7) Kejujuran dan
integritas, (8) Humor, (9) Mandiri dan percaya diri, (10) Loyalitas, (11)
Sabar, (12) Rasa bangga, (13) Banyak akal, (14) Sikap respek, (15) Tanggung
jawab, (16) Toleransi (Schiller & Bryant, 2002). Muhammad Musa
Asy-Syarif mengemukakan pula dalam bukunya Ibadah Qalbu, bahwa pilar akhlak
ada tiga, yaitu : jujur, sabar, dan rendah hati. (Muhammad Musa Asy-Syarif, 2005:
170-194). Muhammad Al Ghazali, menyebutkan pula diantaranya adalah :
jujur, amanah, memenuhi jajnji, ikhlas, sabar, pemaaf, murah hati, rasa malu,
kasih sayang (Muhammad Al Ghazali, 2004).
Pendidikan nasional harus dipersatukan atas dasar
Pancasila. Tak seyogyanya bagi penyelesaian-penyelesaian masalah-masalah
pendidikan nasional dipergunakan secara langsung sistem-sistem aliran-aliran
ajaran, teori, filsafat, praktek pendidikan berasal dari luar. Menurut Notonagoro
(1973), perlu disusun sistem ilmiah berdasarkan Pancasila tentang ajaran,
teori, filsafat, praktek pendidikan nasional, yang menjadi dasar tunggal bagi
penyelesaian masalah-masalah pendidikan nasional. Dalam pada itu filsafat
pendidikan nasional mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai pemberi pedoman
dan tujuan, memberi perdalaman, penginti, pendasar, perangkum;
penggunaan sistem-sistem dan ajaran-ajaran berasal dari luar setelah
diintegrasikan dengan system pendidikan nasional hanya sebagai pembantu,
perbandingan, pemerkayaan dan dalam lain-lain peranan tidak langsung atau
sekuler; dengan demikian akan teratasi pula kemungkinan-kemungkinan terbelahnya
kepribadian para ahli pendidikan, yang akibatnya akan menimpa kepada anak didik
dengan resiko yang besar bagi hari depan bangsa.
2. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ideologi
Ideologi adalah suatu kompleks idea-idea asasi tentang
manusia dan dunia yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup (Driyarkara,
1976). Dalam pengertian ini termuat juga pandangan tentang Tuhan, tentang
manusia sesama, tentang hidup dan mati, tentang masyarakat dan negara dsb.
Istilah “manusia dan dunia” mengandung
arti bahwa manusia itu mempunyai tempat tertentu, mempunyai kedudukan
tertentu, berarti mempunyai
hubungan-hubungan atau relasi. Sesuai dengan tabiat hubungan-hubungan itu,
suatu ideologi bersifat hanya “diesseitig” ( merembug kehidupan dunia,
dan tidak mengakui adanya Tuhan, contohnya ideologi Komunis ) atau ideologi
yang bersifat “diesseitig sekaligus juga yenseitig”( merembug
kehidupan akhirat, mengakui adanya Tuhan, contohnya ideologi Pancasila ).
Dalam rumusan diatas,
ideologi bukanlah hanya pengertian. Ideologi adalah prinsip dinamika, karena
merupakan pedoman (menjadi pola dan norma hidup) dan sekaligus juga berupa
ideal atau cita-cita. Realisasi dari idea-idea yang menjadi ideologi itu
dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia.
Pengembangan Pancasila sebagai ideologi yang memiliki
dimensi realitas, idealitas dan fleksibilitas (Pancasila sebagai
ideologi terbuka) menghendaki adanya dialog yang tiada henti dengan
tantangan-tantangan masa kini dan masa depan dengan tetap mengacu kepada
pencapaian tujuan nasional dan cita-cita nasional Indonesia.
3. Pancasila sebagai
Paradigma Pembangunan Politik
Ada perkembangan baru yang menarik berhubung dengan dasar
negara kita. Dengan kelima prinsipnya Pancasila memang menjadi dasar yang cukup
integratif bagi kelompok-kelompok politik yang cukup heterogen dalam sejarah
Indonesia modern (Ignas Kleden, 1988).
Untuk mengatasi permasalahan di bidang politik,
tidak ada jawaban lain kecuali bahwa kita harus mengembangkan sistem politik
yang benar-benar demokratis(Mochtar Buchori (2001). Demokratisasi merupakan
upaya penting dalam mewujudkan civil society. Tanpa proses demokratisasi
tidak akan tercipta civil society. Suatu masyarakat menjadi demokratik
bukan karena memiliki institusi-institusi tertentu seperti lembaga perwakiulan
dan adanya pemilihan umum. Masyarakat menjadi demokratik kalau mewujudkan
nilai-nilai inti demokratik (core democratic values). Ada sedikitnya
empat nilai inti demokratik. Pertama, kedaulatan rakyat yang berarti
masyarakat diatur oleh keputusan atau hukumyang ditentukan oleh masyarakat
sendiri baik langsung atau melalui perwakilan. Nilai demokratik kedua
adalah partisipasi. Partisipasi politik berarti masyarakat sendiri yang
mentukan dan mengendalikan keputusan politik yang mempengaruhi dirinya.
Partisipasi politik perlu bagi perwujudan kebebasan warganegara. Nilai ketiga
dari demokrasi adalah akuntabilitas. Dalam masyarakat demokrati harus ada
mekanisme bagaimana pemerintah atau pemegang kekuasaan dapat diawasi dan
dikendalikan oleh rakyat. Nilai keempat dari demokrasi adal;ah komitmen
pada persamaan (equality). Warga masyarakat memiliki hak yang dama dalam
memberikan kontribusi bagi pengambilan keputuisan (M. Sastra-pratedja, 2001)
4. Pancasila sebagai
Paradigma Pembangunan Ekonomi
Ekonomi merupakan kesatuan hubungan manusia
dengan manusia dan hubungan manusia dengan produk. Ekonomi memuat dimensi etis,
karena pada akhirnya memuat bentuk hubungan antar manusia atau antar kelompok
yang diperantarakan oleh hubungan antara manusia dengan alam atau dengan produk
yang didistribusikan, dipertukarkan dan dikonsumsikan dengan berbagai cara (M.
Sastra-pratedja, 2001).
Secara historis, menurut Bung Hatta, hanya dengan
perubahan sistem dan struktur ekonomi kapitalistik-liberal (atau
dualistik) yang kita warisi dari masa kolonial menjadi sistem ekonomi kekeluargaan
atau kerakyatan, kita bisa berharap akan terjadinya perbaikan dan
peningkatan kemakmuran rakyat menuju perwujudan keadilan sosial yang
dicita-citakan (Mubyarto, 1995). Bung Hatta juga pernah menegaskan bahwa “Kalau
kita sungguh-sungguh mencintai Indonesia yang merdeka, yang bersatu, tidak
terpecah belah, berdaulat, adil dan makmur, marilah bercermin sebentar, kembali
kepada cita-cita dahulu yang begitu suci, danh mengembalikan pemimpin yang
jujur berpadu dengan semangat yang siap melakukan pengorbanan” (Mubyarto,
1995).
Strategi pembangunan partisipatif (participatory
development strategy) yang merupakan syarat bagi terselenggaranya proses
demokrasi ekonomi masih terhambat oleh kultur politik dan sikap birokratis yang
paternalistik. Berbagai pembinaan atau reformasi kultural diperlukan untuk
memasyarakatkan nilai kedaulatan rakyat (Sri-Edi Swasono, 1995). Bagi kita,
usaha untuk menjamin suatu kehidupan yang layak, yang makmur, adil dan sentosa
perlu kita bangun bukan saja suatu sitem ekonomi baru untuk mengatasi
kemelaratan, melainkan lebih luas lagi. Kita perlu membangun suatu kebudayaan
baru yang kembali menempatkan manusia sebagai pelindung dan pemelihara alam
serta segala kekayaannya, dan yang mampu untuk memayu hayuning bawono
yaitu dapat menyelamatkan umat dan memupuk kesejahteraan dunia, menuju ke
raharjaan, keselamatan dan kerahayuan (Soedjatmoko, 1986).
Bagi Bung Hatta, tidak ada pengamalan lain yang utama
kecuali bagi rakyat yang ia cintai, berdasarkan akhlak kemanusiaa dan keadilan.
Cinta Bung Hatta kepada rakyat dalam-dalam terbawa mati, seperti tertulis dalam
wasiat (ditulis 10 Februari 1975) yang muncul dari kedalaman kalbunya, yaitu “Apabila
saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamasikan
Indonesia Merdeka. Saya tidak ingin dikubur di makam Pahlawan (Kalibata). Saya
ingindi kubur di tempat kuburan rakyat biasa, yang nasibnya saya perjoangkan
seumur hidup saya” (Sri-Edi Swasono, 1995).
Pembangunan ekonomi nasional harus juga berarti
pembangunan sistem ekonomi yang kita anggap paling cocok bagi bangsa Indonesia.
Dalam penyusunan sistem ekonomi nasional yang tangguh untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur, sudah semestinya Pancasila sebagai landasan
filosofisnya. Itulah yang disebut Sistem Ekonomi Pancasila. Sistem
Ekonomi Pancasila bukanlah sistem ekonomi yang liberal-kapitalistik, dan juga
bukan sistem ekonomi yang etatitik atau serba negara. Meskipun demikian sistem
pasar tetap mewarnai kehidupan perekonomian (Mubyarto, 1997).
Perekonomian nasional
dan Kesejahteraan Sosial, sebagaimana yang ditegaskan dan tercantum dalam dalam
UUD 1945 (BAB XIV, pasal 33), harus dilaksanakan dan dipegang teguh secara
konsisten, yaitu : (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, (4) Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan
Sosial-Budaya
Dalam istilah Inggris, “budaya”
adalah “culture”, berasal dari kata Latin “colere” yang berarti
“mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani. Ini berarti,
budaya merupakan aktivitas manusia, bukan aktivitas makhluk yang lain
dan menjadi ciri manusia. Hanya manusia yang berbudaya dan membudaya.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, “Kultur atau kebudayaan itu sifatnya
bermacam-macam, akan tetapi oleh karena semuanya adalah buah adab, maka semua
kebudayaan atau kultur selalu bersifat : tertib, indah, berfaedah, luhur,
memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Sifat-sifat itu terdapat
dan terlihat di dalam perikehidupan manusia-manusia yang beradab …” (Ki Hadjar
Dewantara, 1967).
Budaya selamanya berari sosio-budaya,
sehingga perubahannya juga selalu berupa perubahan sosio-budaya
(Driyarkara,1980). Dalam kehidupan sosial-budaya era globalisasi menuntut para
warga untuk mampu mempertahankan integritas masyarakatnya masing-masing melalui
: (1) pengembangan kehidupan yang bermakna (to develop a meaning life)
dan (2) kemampuan untuk memuliakan kehidupan itu sendiri (ability to ennoble
life). Bila dalam suatu masyarakat, kebanyakan anggotanya tidak memiliki
kedua kemampuan ini, maka dalam era globalisasi ini masyarakat tadi akan
terjerumus ke dalam kehidupan kemasyarakatan yang serba datar, dangkal dan
mekanistik. Maka, akan timbul pendangkalan, yang selanjutnya akan melahirkan
kecenderungan depersonalisasi dan dehumanisasi (Mochtar Buchori, 2001).Oleh
karena itu dalam membangun kita jangan senantiasa gandrung untuk menjadi “orang
lain” dan lupa menjadi “diri sendiri”, sebagai pribadi, sebagai manusia yang
bermartabat.
Ada beberapa aspek yang terkandung di dalam pengertian
martabat manusia Sastrapratedja (2001). Pertama, martabat manusia
(dignity of man) diletakkan pada kewdudukannya sebagai suibjek atau pribadi,
yang mampu menetukan pilihan, menentukan tindakannya dan dirinya sendiri
(self-determination). Kedua, martabat manusia terletak pula dalam
sosialitasnya. Sosialitas manusia dewasa ini semakin luas radiusnya yang secara
spasial semakin bersifat mondial,
mengatasi batasan-batasan geografis, dan secara temporal kesadaran sosial
mengatasi batasan masa kini. Tentu saja hal ini membawa imperatif etis baru.
Aspek ketiga dari martabat manusia ialah keutuhannya. Manusia merupan
totalitas. Manusia sebagai totalitas menentang segala bentuk reduksionisme.
Melalui pendekatan
inklusif, artinya yang bersifat non-diskrimunatif, Pancasila memberikan suatu
kerangka di dalam mana semua kelompok di dalam masyarakat dapat hidup bersama,
bekerja bersama di dalam suatu dilog karya yang terus-menerus guna membangun
suatu masa depan bersama. Pancasila sendiri tidak merumuskan masa depan itu.
Pancasila membiarkan masa depan itu terbuka untuk ditentukan dan dibangun
secara bersama-sama oleh semua anggota masyarakat Indonesia. Dalam arti ini,
Pancasila mempertahankan baik kesatuan maupun kemajemukan Indonesia secara
dinamis. Dan inilah sumbangan Pancasila yang amat berharga (Eka
Darmaputera,1992).
Masyarakat Indonesia
yang memiliki kemajemukan budaya (multikultural), meniscayakan pentingnya
pendidikan multikultural. Tujuan pendidikan multikultural adalah : (1).
Pembentukan sebuah sikap menghormati dan menghargai nilai keragaman budaya,
(2). Promosi kepercayaan pada nilai instrinsik tiap-tiap pribadi dan perhatian
yang tak kunjung hilang terhadap kesejahteraan masyarakat yang lebih luas, (3).
Pengembangan kompetensi multikultural untuk berfungsi secara efektif dalam
setting yang bervariasi secara kultural, (4). Fasilitasi keadilan pendidikan
tanpa memperhatikan etnis, ras, gender, usia, atau kekhususan lain (Young Pai,
1990).
6. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ketahanan Nasional
Ketahanan Nasional
Indonesia pada hakikatnya adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk menjamin
kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasiona dan
cita-cita nasional. Adapun konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia pada
hakikatnya adalah pengaturan dan penyeleggaraan kesejahteraan dan keamanan
secara serasi, selaras, seimbang,
terpadu dan dinamis dalam seluruh aspek kehidupan nasional.
Soedjatmoko (1991)
sudah lama mengingatkan dalam hasil studinya bahwa “Pengalaman di negara Amerika Latin dan
beberapa negara di kawasan kita ini telah memberi tahu kita bahwa terdapat
batas-batas bagi kapasitas masyarakat untuk menanggung ketegangan-ketegangan
yang -- karena cepatnya perubahan sosial, atau karena besarnya ketimpangan
sosial, ekonomik dan politis --,
melebihi daya tahan sistem politik. Konflik-konflik yang timbul sering
membawa kepada saling tindak kekerasan yang makin meningkat, dan pada keadaan
terjelek membawa kepada kehancuran keseluruhan masyarakat”
Soedjatmoko (1991)
lebih lanjut menegaskan bahwa “Konflik-konflik minoritas,
kegoncangan-kegoncangan sepanjang garis-garis pertikaian beberapa wilayah,
etniisitas ras atau bahasa adalah peringatan-peringatan dini, atau sudah agak
terlambat, mengenai adanya disfungsi besar dalam kohesi sosial dan
sistem politis. Disorientasi, alienasi, perilaku anomik, penyalahgunaan
narkotika, makin bertambahnya intoleransi serta fanatisme relijius
kelompok-kelompok dalam masyarakat adalah pertanda-pertanda awal dari sebuah
masyarakat yang sedang mengalami stres. Gejala-gejala ini masih belum
dipelajari dalam kerangka-kerangka proses pembangun-an, kecepatannya, ada atau
tidaknya strateginya. Mempelajari masalah-masalah ini secara terpisah dari
dinamika proses pembangunan adalah tidak realistik”.
Penyelengaraan
ketahanan nasional itu dengan sendirinya berbeda-beda sesuai dengan letak dan
kondisi geografis serta budaya bangsa. Bangsa itu terpelihara persatuannya
berkat adanya seperangkat nilai yang dihayati bersama oleh para warganegaranya.
Perangkat nilai pada bangsa yang satui berbeda dengan perangkat nilai pada
bangsa yang lain. Bagi bangsa Indonesia, perangkat nilai itu adalah Pancasila. Kaitan Pancasila dan
ketahanan nasional adalah kaitan antara idea yang mengakui pluralitas yang
membutuhkan kebersamaan dan realitas terintegrasinya pluralitas. Dengan kata
lain ketahanan nasional adalah perwujudan Pancasila dalam kehidupan nasional
suatu bangsa (Abdulkadir Besar, 1996). Perlu dilakukan usaha-usaha yang tiada
henti, baik kajian substantif maupun langkah implementatif agar Pancasila
semakin bermakna dalam mendukung terwujudnya Ketahanan Nasional Indonesia.
7. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Pembangunan hukum
bukan hanya memperhatikan nilai-nilai filosofis, asas yang terkandung dalam
konsep negara hukum, tetapi juga mempertimbangkan realitas penegakan hukum dan
kesadaran hukum masyarakat (Moh. Busyro Muqoddas, Salman Luthan & Muh.
Miftahudin, 1992). Sistem hukum menurut wawasan Pancasila merupakan bagian
integral dari keseluruhan sistem kehidupan masyarakat sebagai satu keutuhan dan
karena itu berkaitan secara timbal balik, melalui berbagai pengaruh dan
interaksinya, dengan sistem-sistem lainnya. Pancasila sebagai ideologi nasional
memberikan ketentuan mendasar, yakni : (1) Sistem hukum dikembangkan
berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumbernya, (2) Sistem hukum
menujukkan maknanya, sejauh mewujudkan keadilan, (3) Sistem hukum mempunyai
fungsi untuk menjaga dinamika kehiudupan bangsa, (4) Sistem hukum menjamin
proses realisasi diri bagi para warga bangsa dalam proses pembangunan
(Soerjanto Poespowardojo, 1989).
Melalui hukum manusia
hendak mencapai ketertiban umum dan keadilan. Meski harus disadari bahwa
ketertiban umum dan keadilan yang hendak dicapai melalui hukum itu hanya bisa
dicapai dan dipertahankan secara dinamis melalui penyelenggaraan hukum dalam
suatu proses sosial yang sendirinya adalah fenomen dinamis (Budiono
Kusumohamidjojo, 2000).
Negara hanya dapat
disebut negara hukum apabila hukum yang diikutinya adalah hukum yang baik dan
adil. Artinya, hukum sendiri secara moral harus dapat dipertanggungjawabkan.
Dan itu berarti bahwa hukum harus sesuai dengan paham keadilan masyarakat dan
menjamin hak-hak asasi manusia.( Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki
manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan berdasarak
hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Manusia memilikinya karena ia manusia) (Franz Magnis Suseno, 1999).
8. Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Beragama
Tiap-tiap kalian Kami buatkan syir’ah (jalan menuju
kebenaran) dan minhaj (metode pelaksanaannya). Seandainya Allah menghendaki,
pasti Dia jadikan kalian (manusia) umat yang satu, tetapi (dijadikan beragam)
itu untuk menguji kalian atas apa-apa yang Dia anugerahkan kepada kalian. Maka
berlomba-lombalah kalian menuju kebajikan-kebajikan. Kepada Allah kalian semua
akan kembali dan kelak Dia akan menjelaskan kepada kalian apa saja yang pernah
kalian perselisihan (QS al-Maidah/5 : 48).
Adakah sesuatu yang
mempertemukan agama-agama di negeri ini sehingga membuat mereka (para umat
beragama itu) tidak harus saling menghancurkan? Pertanyaan ini, jika jatuh ke
tangan masyarakat yang pesimis, biasanya dengan mudah mereka segera
meragukannya, malahan mengingkarinya. Akan tetapi, bila hal ini ditanyakan
kepada masyarakat yang optimis, niscaya tanpa ragu sedikitpun mereka segera
menjawab “ada”, kendati hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat
prinsipil. Hal-hal rinci, seperti ekspresi-ekspresi simbolik dan formalistik,
tentu sulit dipertemukan. Masing-masing agama, bahkan sesungguhnya
masing-masing kelompok intern suatu agama, mempunyai idiom yang khas, yang
hanya berlaku secara intern. Oleh karena itu, ikut campur penganut agama
tertentu terhadap kesucian orang dari agama lain, adalah tidak masuk akal dan
hasilnya pun akan nihil (Nurcholis Madjid, 2001).
Tiga puluh enam tahun
yang lalu, tepatnya tahun 1972, mantan menteri agama H.A. Mukti Ali,
mengembangkan sarana pencapaian kehidupan harmonis antar-umat beragama, yang
diselenggarakan dengan segala kearifan dan kebijakan atas nama pemerintah. Dan sampai saat
ini, proses dialog tetap berjalan terus dan berkembnag merata di seluruh tanah
air. Hal ini memang dituntut oleh masyarakat Indonesia yang religius, diatur
oleh UUD 1945, dan dikukuhkan oleh nilai dasar negara, Pancasila. Dengan itu
diharapkan pelestarian persatuan nasional yang semakin mantap tidak terganggu
(Burhanudin Daya, 2004).
Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern
yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan
(pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkan-nya sebagai suatu
keniscayaan. Kemajemukan ini merupakan sunnatullah (hukum alam). Dilihat
dari segi etnis, bahasa, agama, dan sebagainya, Indonesia termasuk salah satu
negara yang paling majemuk di dunia. Hal ini disadari betul oleh para Founding
Fathers kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan
semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”(Masykuri Abdillah, 2001).
Bila agama disalahgunakan, akibatnya bisa amat destruktif
dan mengerikan. Orang akan dengan mudah saling membunuh atas nama Tuhan.
Fenomena ini tidak saja terjadi antar pemeluk agama yang berbeda, tetapi juga
terjadi di kalangan intern pemeluk agama yang sama. Bila keadaan semacam ini
yang berlaku, ketulusan dan kejujuran sebagai manifestasi otentik dari iman
sudah tidak berdaya lagi. Yang berkuasa adalah bisikan setan yang menjerumuskan
(Ahmad Syafi’i Ma’arif, 2001). Ini bertentangan dengan nilai-nilai religius dan
nilai-nilai Pancasila.
Persahabatan sejati hanya mungkin dibangun di atas
fundasi iman yang kokoh yang membuahkan ketulusan dan kejujuran. Dalam kaitan
hubungan antar pemeluk agama, Ahmad Syafi’i Ma’arif (2001) menyampaikan
formula, “berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan”. Di
luar formula ini dikhawatirkan, agama tidak lagi berfungsi sebagai sumber
kedamaian dan keamanan, tetapi menjadi sumber sengketa dan kekacauan, bahkan
sumber peperangan. Hellen Keller (1880-1968), seorang pendidik, menyata-kan
bahwa “Hasil tertinggi dari suatu pendidikan adalah sikap toleran”.
Pendidikan agama hendaknya mendukung perkembangan peserta
didik : (1) Bukan ke arah kesempitan, melainkan ke pandangan yang luas, (2)
bukan ke primordialisme, melainkan ke
kemampuan untuk untuk menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab, dan hidup dalam masyarakat plural, (3) Bukan ke arah fanatisme,
melainkan ke kemampuan untuk bersikap toleran, (4) Ke arah keyakinan kuat akan
agamanya sendiri, tetapi bukan secara eksklusif, melainkan secara inklusif,
dalam arti anak menjadi mampu untuk melihat yang baik juga pada
orang/masyarakat yang beragama/-berkeyakinan lain, (5). Ke arah kepekaan dan
keprihatianan terhadap segala orang menderita, tertindas, tak berdaya, dari
golongan manapun, jadi lintas kelompok primordial (Franz Magnis-Suseno, 2006).
Agama berperan dalam membentuk orang yang salih. Menurut
Ali Syari’ati, Seorang salih tidak akan ditinggalkan oleh zaman dan dibiarkan
sendiri oleh kehidupan. Kehidupan akan
menggerakkan-nya, dan zaman akan mencatat amal baiknya (Ali Syari’ati, 1992 : 27). Ini menunjukkan
pentingnya peran agama dan pendidikan. “For the
the sake of education we need religion and for the sake of
religion we need education : the two are fundamentally inseparable”. (John F. Gardner, 1973 : 271).
9. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu dan Teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi, di masa
sekarang memang merupakan kebutuhan tersendiri.
Bagi kelompok manusia yang menginginkan kemajuan mutlak harus memiliki
dua hal tersebut. Kepemilikan iptek untuk memudahkan kehidupan manusia dan
mengangkat derajat manusia, oleh karena itu kepemilikan tersebut harus diiringi
dengan cara menggunakan yang tepat.
Realitas yang didapatkan, kepemilikan terhadap iptek sering
disalahgunakan, sehingga justru mendehumanisasikan manusia itu sendiri. Hal ini justru sering dilakukan oleh para ilmuwan dan teknokrat. Padahal
apapun hasil dari iptek mestinya dapat dipertanggungjawabkan akibatnya, baik
pada masa lalu, masa sekarang, maupun masa depan.
Dalam
kondisi seperti di atas maka diperlukanlah suatu platform yang mampu dijadikan
sebagai ruhnya dagi perkembangan iptek di Indonesia. Bangsa Indonesia, dalam
seluruh dimensi hidupnya, termasuk di bidang iptek, tergantung pada kuat
tidaknya memegang ruh bangsanya, yaitu Pancasila. Pada persoalan di atas, Pancasila berperan memberikan beberapa
prinsip etis kepada ilmu, sebagai berikut ;
a. Martabat manusia
sebagai pribadi, sebagai subjek tidak boleh diperalat untuk kepentingan iptek,
riset.
b. Prinsip “tidak
merugikan”, harus dihindari kerusakan yang mengancam kemanusiaan.
c. Iptek harus sedapat
mungkin membantu manusia melepaskan dari kesulitan-kesulitan hidupnya.
d. Harus dihindari
adanya monopoli iptek.
e. Diharuskan adanya
kesamaan pemahaman antara ilmuwan dan agamawan, yaitu bahwa iman memancar dalam
ilmu sebagai usaha memahami “sunnatullah”, dan ilmu menerangi jalan yang telah
ditunjukkan oleh iman.
Sejalan dengan itu,
jika dipandang dari wacana filsafat
ilmu, maka iptek yang diletakkan di atas
Pancasila sebagai paradigmanya yang perlu difahami dasar dan arah penerapannya,
yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis ( Koento Wibisono,
1:9 ).
Aspek Ontologis, yaitu bahwa hakikat iptek merupakan aktivitas manusia yang tidak mengenal
titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran serta
kenyataan. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus dipandang secara utuh sebagai
masyarakat, proses, dan produk.
Aspek Epistemologi, yaitu nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai “metode berfikir”, dalam
arti sebagai dasar dan arah dalam mengembangkan ilmu, serta sebagai parameter
kebenarannya.
Aksiologi, dengan menggunakan epistomologi tersebut kemanfaatan dan efek pengembangan
iptek secara negatif tidak bertentangan dengan ideal Pancasila, dan secara
posistif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai Pancasila.
Sebagaimana dinyatakan
oleh Teuku Jacob (2000) bahwa perkembangan IPTEK dewasa ini dan dimasa yang
akan datang sangat cepat, makin menyentuh inti hayati dan materi di satu pihak
serta menggapai angkasa luas dan luar angkasa di lain pihak, lagi pula memasuki
dan mempengaruhi makin dalam segala aspek kehidupan dan institusi budaya.
Akibat yang baik adalah mengamankan, menyejahterakan dan menyelamatkan manusia,
menambah atau mengurangi jumlah manusia, memperluas cakrawalanya, mengeser umur
matinya, serta mengatasi halangan-halangan temporo-spasial. Akibatnya yang
buruk adalah mendesak manusia secara temporospasial, mengusangkan kelompok yang
kurang mujur, merusak lingkungan kerak bumi dan atmosfer, bahkan membinasakan
dirinya, secara individual maupun massal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar