Minggu, 08 Mei 2011

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA

Share it Please


PEMBANGUNAN BANGSA

          A.Pendahuluan

Derap dan langkah pembangunan pada hakikatnya dimaksud-kan agar terjadi perubahan yang didambakan dan dirindukan oleh bangsa Indonesia, dalam menjalani dan menjalankan hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang tantangan-nya semakin besar dan semakin kompleks.
Manusia sebagai makhluk Tuhan, tidak hanya berada di dunia, melainkan juga senantiasa membangun adanya, dalam pertemuan dan pergaulannya dengan sesama dan dunia, serta dalam hubungannya dengan Tuhan. Kita memang sedang gandrung untuk membangun, tumbuh dan berubah secara progresif, namun bukan dengan harga setinggi penghancuran eksistensi kita sendiri. Kita tidak hanya ingin mengenyam, tetapi juga ingin menyumbang terhadap kemenangan ilmu dan teknologi, namun bukan kemenangan semu yang secara melekat mengandung kekalahan total dilihat dari nilai-nilai insani (“human values”).
  Pembangunan yang sedang digalakkan perlu sebuah paradigma, yaitu sebuah kerangka berpikir atau sebuah model mengenai bagaimana hal-hal yang sangat esensial dilakukan. Denis Goulet tokoh yang merintis etika pembangunan menyebut tiga pandangan tentang pembangunan (M.Sasatrapratedja, 2001) : pertama, pandangan yang melihat pembangunan sinonim dengan pertumbuhan ekonomi, dengan indicator GNP dan tingkat pertumbuhan per tahun; kedua, sebagaima-na dirumuskan oleh PBB, bahwa “pembangunan = pertumbuhan ekonomi + perubahan sosial”. Pembangunan dalam artian ini sangat luas, namun kerapkali ditekankan pada perkembangan pembagian kerja, kebutuhan institusi baru, tuntutan akan sikap-sikap baru yang sesuai dengan kehidupan modern; dan pandangan ketiga mengenai pembangunan menekankan nilai-nilai etis. Tekanan diberikan pada peningkatan kualitatif seluruh masyarakat dan seluruh individu dalam masyarakat. Pembangunan itu bukan tujuan pada dirinya sendiri, tetapi suatu usaha pengembangan manusia. Dalam konsepsi ini yang ditekankan bukan hanya hasil yang bermanfaat, tetapi proses pencapaian hasil juga penting. Pembanguan dalam perspektif Pancasila adalah pembangunan yang sarat muatan nilai yang berfungsi menjadi dasar pengembangan visi dan menjadi referensi kritik terhadap pelaksanaan pembangunan.


B. Pancasila sebagai Orientasi dan Kerangka Acuan Pembangunan

1. Pancasila sebagai orientasi Pembangunan

 Wawasan kebangsaan sebagai suatu suatu kekuatan dinamis dapat menggerakkan segenap potensi bangsa dalam mewujudkankan cita-cita luhur menuju Indonesia yang berkeadilan dan berkemakmuran. Nilai-nilai kebangsaan yang terkandung di dalamnya tidak dapat begitu mudah mengalami erosi, jika tidak oleh karena tingkah laku insan-insan itu sendiri yang merusaknya. Para Founding Fathers kita selalu menekankan “Membangun Sebuah Bangsa” (“Nation and Character Building”) dari kemerosotan zaman kolonial untuk dijadikan suatu bangsa yang berjiwa kuat dan tahan uji dalam menghadapi segala tantangan dalam abad XX, juga pentingnya self respect kepada bangsa itu sendiri, menumbuhkan self confidence dan sanggup untuk berdikari (Roeslan Abdulgani, 2000).
Pada saat ini Pancasila lebih banyak dihadapkan pada tantangan berbagai varian kapitalisme dari pada komunisme atau sosialisme. Ini disebabkan perkembangan kapitalisme yang bersifat global. Fungsi Pancasila ialah memberi orientasi untuk terbentuknya struktur kehidupan sosial-politik dan ekonomi yang manusiawi, demokratis dan adil bagi seluruh rakyat(M.Sastrapratedja, 2001). Sila pertama dan kedua mengandung imperatif etis untuk menghormati martabat manusia dan memperlakukan manusia sesuai dengan keluhuran martabatnya. Sila ketiga mengandung implikasi keharusan mengatasi segala bentuk sektarianisme, yang berarti pula komitmen kepada nilai kebersamaan seluirtuh bangsa. Sila keempat mengandung nilai-nilai yang terkait dengan demokrasi konstitusional : persamaan politis, hak-hak asasi manusia dan kewajiban kewarganegaraan. Dan sila kelima mencakup persamaan dan pemerataan.
Sila-sila Pancasila, yang bermuatan Nilai-nilai Religius (sila 1), Nilai-nilai Human (sila 2), Nilai-nilai Kebangsaan (sila 3), Nilai-nilai Demokrasi (sila 4), dan Nilai-nilai Keadilan (sila 5), merupakan sebuah kesatuan organis, harmonis, dinamis, sebagai orientasi pembangunan nasional dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Keterpurukan bangsa Indonesia dalam bidang karakter yang kita rasakan dan kita alami hingga kini, mengharuskan kita “back to basic” kepada nilai-nilai Pancasila yang sangat luhur dan kita banggakan itu.

2. Pancasila sebagai kerangka acuan Pembangunan

  Pancasila diharapkan dapat menjadi matriks atau kerangka referensi untuk membangun suatu model masyarakat atau untuk memperbaharui tatanan sosial-budaya. Ada dua fungsi dari Pancasila sebagai kerangka acuan (M.Sastrapratedja, 2001) : pertama, Pancasila  menjadi dasar visi yang memberi inspirasi untuk membangun suatu corak tatanan sosial-budaya yang akan datang, membangun visi masyarakat Indonesia di masa yang akan datang; dan kedua, Pancasila sebagai nilai-nilai dasar  menjadi referensi kritik sosial-budaya.
  Visi diibaratkan sebagai suatu peta yang memberi petunjuk ke mana arah perjalanan kita. Visi masyarakat memberi arah kemana gerak dan langkah masyarakat kita. Nilai-nilai apa yang menjadi pedoman untuk melagkah ke masa depan. Visi dapat pula didefinisi-kan sebagai ekspresi terdalam akan apa yang kita kehendaki, yang mengungkapkan sisi ideal dan spiritual dari kodrat kita. Visi adalah adalah impian yang terjadi saat kita jaga – impian mengenai keinginan kita mau menjadi apa? Ini adalah visi pri badi masing-masing-masing-masing. Visi suatu masyarakat adalah nilai-nilai yang dianggap paling penting, yang memberi corak khas pada tatanan sosial-budaya dan mewarnai perilaku seluruh anggota masyarakat. Visi itu dapat merupakan warisan dari para pendahulu, dapat puila merupakan kesepakatan yang dirumuskan oleh seluruh warga dan menjadi komitmenm bersama. Pancasila perlu dterjemahkan menjadi visi tentang masyarakat yang kita inginkan (M. Sastrapratedja, 2001).
 Pancasila sebagai nilai-nilai dasar yang menjadi referensi kritik sosial-budaya dimaksudkan agar proses perubahan sosial-budaya yang sangat cepat yang terutama diakibatkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang spektakuler, yang terjadi dalam derap dan langkah pembangunan dalam era informasi ini, tetap didasari dan dijiwai nilai-nilai Pancasila. Kritik sebagai bahan dialog dalam proses mencapai “fusi horison makna” pembangunan sangat diperlukan sehingga pembangunan dapat dinamis dan kontekstual dalam menghadapi tantangan zaman dan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat , bangsa dan negara (nilai-nilai Pancasila).

C. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bangsa
1. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pendidikan
 Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam kesatu-an organis harmonis dinamis, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian, menurut Notonagoro (1973) merupakan sifat dwi tunggal pendidikan nasional. 
 Pendidikan sebagai bagian dari Ilmu Humaniora memperlihat-kan proses yang terus-menerus mengarah pada kesempurnaan, yang semakin manusiawi. Pendidikan pada dasarnya ialah pemanusiaan, dan ini memuat hominisasi dan humanisasi.  Hominisasi merupakan proses pemanusiaan secara umum, yakni memasukkan manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal. Humanisasi adalah proses yang lebih jauh, kelanjutan hominisasi. Dalam proses ini, manusia bisa meraih perkembangan yang lebih tinggi, seperti nampak dalam kemajuan-kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (Driyarkara, 2006).   
 Salah satu agenda penting dalam upaya mengatasi krisis dalam kehidupan bangsa kita adalah melalui pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan akhlak, pendidikan budi pekerti. Dalam penerapan pendidikan karakter, pendidikan nilai atau pendidikan moral, sebagaimana dikemukakan oleh D. Purpel & K. Ryan (Eds) dalam Colin J. Marsh ( 1996), hendaknya memperhitung-kan baik kemampuan peserta didik untuk berpikir tentang persoalan-persoalan moral, maupun cara di mana seorang peserta didik benar-benar bertindak dalam situasi-situasi yang menyangkut benar dan salah.
 Pendidik (guru) yang baik adalah vital bagi kemajuan dan juga keselamatan bangsa. Guru tidak hanya menyampaikan idea-idea, tetapi hendaknya menjadi suatu wakil dari suatu cara hidup yang kreatif, suatu simbol kedamaian dan ketenangan dalam suatu dunia yang dicemaskan dan dianiaya. Ia menjadi penjaga peradaban dan pelindung kemajuan (Frederick Mayer, 1963). Keteladanan pendidik adalah suatu keniscayaan yang harus diwujudkan. Perilaku pendidik akan lebih diikuti oleh peserta didik dari pada apa yang dikatakan guru.
 Pendidik (guru) yang memiliki akhlak, budi pekerti, karakter yang baik, akan sangat kondusif dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan moral, yang muaranya akan mendukung bagi peserta didik untuk memiliki karakter yang baik. Karakter yang baik mencakup secara organis harmonis dan dinamis komponen-komponen pengeta-huan moral yang baik, perasaan moral yang baik, dan tindakan moral yang baik. Oleh karena itu, Lickona (1991) dalam I Wayan Koyan (1997) menyatakan bahwa untuk mewujudkan karakter yang baik, memerlukan pendekatan pendidikan moral yang komprehensif. Komponen-komponen karakter yang baik mencakup pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling) dan tindakan moral (moral action). Untuk pendidikan anak usia dini pendekatan ini perlu disesuaikan dengan karakteristik anak, yang dalam pendidikannya lebih mengedepankan bentuk-bentuk bermain. Dengan bermain anak mengalami kegembiraan dalam mengekspresikan atau mengaktualisasikan dirinya.


Komponen “moral knowing meliputi enam unsur yaitu :
     1.  “Moral awareness” , kesadaran moral atau kesadaran hati nurani, yang terdiri dari dua aspek yaitu : pertama, tanggung jawab moral, ialah menggunakan kecerdasan untuk melihat jika situasi meminta penilaian atau pertimbangan moral, dan berpikir secara hati-hati tentang apa yang benar dari perilaku tersebut; aspek ke dua, ialah “is taking trouble to be informed”.
     2. “Knowing moral values” atau pengetahuan tentang nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral tersebut antara lain : rasa hormat tentang kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan,  toleransi,kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikan, perasaan kasihan, dan keteguhan hati. Dengan mengetahui nilai-nilai, berarti mengerti bagaimana mengapli-kasikannya dalam berbagai situasi
      3.  “Perspectives-taking” atau  perspektif yang memikat hati, adalah kemampuan untuk memberi pandangan pada orang lain, melihat situasi seperti yang dia lihat, membayangkan bagaimana dia seharusnya berpikir, bereaksi, dan merasakan. Ini merupakan syarat memberi pertimbangan moral. Kita tidak dapat memberi rasa hormat kepada orang lain dan berbuat sesuai dengan kebutuhannya, jika kita tidak memahami mereka. Tujuan fundamental dari pendidikan moral adalah untuk membantu peserta didik memahami keadaan dunia dan bagaimana memandang orang lain, khususnya dalam keadaan yang berbeda dengan diri mereka sendiri. 
      4.  “Moral reasoning” atau pertimbangan-pertimbangan  moral, adalah pengertian tentang apa yang dimaksud dengan bermoral, dan mengapa kita harus bermoral. Alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan moral untuk berperilaku tertentu dalam berbagai situasi.  Untuk ini diperlukan berbagai simulasi yang relevan dengan karakteristik anak usia dini.
      5. “Decision-making” atau pengambilan keputusan, adalah kemampuan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral. Apa pilihan saya; apakah akibat yang timbul dari keputusan yang diambil, dan keputusan mana yang membawa akibat baik paling banyak. 
      6.          “Self-knowledge” atau mengenal dri sendiri, adalah kemampuan mengenal atau memahami  diri sendiri, dan hal ini paling sulit dicapai, tetapi hal ini penting untuk  pengembangan moral. Untuk menjadi orang bermoral, dituntut adanya kemampuan untuk dapat melihat kembali perilaku yang pernah diperbuat, dan menilainya.
      Kesadaran moral, mengenal diri sendiri, mengenal nilai-nilai moral, kemampuan memberi pandangan, pengambilan keputusan, dan pengenalan diri sendiri, adalah kualitas manusia utama, yang membuat orang memiliki pengetahuan moral (“moral knowing”), yang semuanya ini berkonstribusi terhadap bagian dari kognitif karakter.      
Komponen-komponen “moral feeling” meliputi enam unsur penting, yaitu :
      1.  “Conscience”, kata hati atau hati nurani, yang memiliki dua sisi, yaitu sisi kognitif (pengetahuan tentang apa yang benar), dan sisi emosi (rasa wajib berperilaku menurut kebenaran itu). Banyak orang tahu tentang kebenaran tetapi sedikit yang merasa wajib berperilaku menurut kebenaran itu,
      2.          “Self-esteem” atau harga diri. Mengukur harga diri kia sendiri berarti kita menilai diri sendiri. Jika kita menilai diri sendiri, berarti kita merasa hormat   terhadap diri sendiri, dan dengan cara demikiankita akan mengurangi penyalahgunaan pikiran atau badan kia sendiri. Jika kita memiliki harga diri, kita akan mengurangi ketergantungan pada persetujuan orang lain. Tugas pendidik adalah membantu peserta didik untk mengembangkan secara positif harga diri atas dasr nilai-nilai, seperti tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan atas dasar keyakinan kemampuan mereka sendiri untuk berbuat baik.
      3. “Empathy” atau  empati, adalah kemampuan untuk mengidenti-fikasi,  seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami orang lain, atau merasakan apa yang orang lain rasakan. Ini bagian dari emosi, yaitu kemmpuan memandang orang lain. Bagi pendidik moral, tugasnya adalah mengembangkan empati yang bersifat umum.
      4.  “Loving the good” atau cinta pada kebaikan, Jika orang cinta akan  kebaikan, maka mereka akan berbuat baik, dan mereka memiliki moralitas.
      5. “Self-control” atau kontrol diri, adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan hal ini diperlukan juga untuk mengekang kesenangan diri sendiri.
      6.          “Humility” atau kerendahan hati (“lembah manah”), adalah merupakan kebaikan moral yang kadang-kadang dilupakan atau diabaikan, pada hal ini merupakan bagian terpenting dari dari karakter yang baik. Kerendahan hati adalah bagian dari aspek afektif dari pengetahuan terhadap diri sendiri. Ini merupakan keterbukaan dan ketertarikan terhadap kebenaran serta kemampuan bertindak untuk mengoreksi kelemahan atau kekurangan.
Kata hati, harga diri, empati, cinta kebaikan, pengendalian diri, dan kerendahan hati, kesemuanya akan memperbaiki bagian emosi dari moralitas diri sendiri.
           Komponen-komponen “Moral Action”, meliputi tiga unsur penting, yaitu :
1.    “Competence” atau kompetrensi moral, adalah kemampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral dan perasaan dalam dalam perilaku moral yang efektif. Sebagai contoh untuk mengatasi pertentangan atau konflik memerlukan ketrampilan praktis, seperti ketrampilan mendengarkan, ketrampilan berkomunikasi dengan jelas, dan memutuskan bersama suatu pemecahan masalah yang dapat diterima secara timbale-balik.
2.    Will” atau kemauan, adalah kemampuan yang sering menuntut tindakan nyata dari kemauan, memobilisasi energi moral untuk bertindak tentang apa yang kita pikirkan, apa yang harus kita kerjakan. Kemauan berada pada keberanian moral inti.
3.    “Habit” atau kebiasaan. Suatu kebiasaan untuk bertindak secara baik dan benar perlu senantiasa dikembangkan. Peserta didik perlu diberi kesempatan yang cukup banyak untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan mempraktekkannya bagaimana menjadi orang yang baik.
Tugas pendidikan moral adalah membantu peserta didik supaya memiliki karakter atau akhlak atau budi pekerti yang baik, sekaligus dimilikinya dalam diri peserta didik, pengetahuan, perasaan, dan tindakan moral yang saling melengkapi satu sama lain, dalam suatu kesatuan organis harmonis dinamis. Sedangkan tujuan pendidikan moral adalah membantu peserta didk agar menjadi bijak atau pintar (smart) dan membantu mereka menjadi orang yang baik. Baik dalam artian ini adalah dimilikinya nilai-nilai yang dapat memperkokoh martabat manusia dan mengembangkan kebaikan individu dan masyarakat.
Dua nilai moral universal, yang berbentuk nilai-nilai inti dalam masyarakat umum, yang secara moral dapat diajarkan ialah “rasa hormat” (“respect”) dan “tanggung jawab” (“responsibility”). “Respect” berarti menunjukkan rasa hormat    yang seimbang bagi seseorang atau sesuatu hal, termasuk rasa hormat pada diri sendiri, terhadap hak dan martabat semua orang, terhadap lingkungan yang dapat menopang seluruh kehidupan manusia. Rasa horamat pada dasrnya adalah pengendalian  moralitas dari gangguan eksternal. Sedangakan tanggung jawab adalah perilaku yang nampak dari moralitas, yang termasuk di dalamnya perhatian atau “caring” terhadap diri sendiri dan orang lain, pemenuhan kewajiban-kewajiban, kontribusi terhadap masyarakat, pengurangan terhadap penderitaan, dan membangun dunia yang lebih baik.
Di samping Lickona (1991), William J. Bennett (Ed) (1997) dalam bukunya yang berjudul “The Books of Virtues : A Treasury of Great Moral Stories”  sebagaimana dikutip oleh I Wayan Koyan (1997) mengungkapkan beberapa cara untuk mengembangkan karakter yang baik, yakni sebagai berikut :
1.   Self-discipline atau disiplin diri perlu ditanamkan pada para mahasiswa/siswa, dosen/guru, pelatih, pembimbing, dan semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran.
2.   Compassion” atau rasa terharu. Rasa terharu yang disertai rasa kasih saying dapat ditanamkan melalui ceritera-ceritera atau peribahasa yang bermanfaat seoptimal mungkin.
3.   Responsibility” atau tanggung jawab. Orang yang tidak bertanggung jawab adalah suatu cirri bahwa orang tersebut belum matang, sebaliknya adanya rasa tanggung jawabadalah cirri kematangan seseorang. Berusaha membantu anak-anak supaya menjadi orang yang bertanggung jawab, kita sesungguhnya membantu mereka untuk menjadi matang. Anak perlu dilatih mengerjakan tugas-tugas ruimah, tugas-tugas sekolah dan belajar bekerja secara suka rela di mana perlu.
4.   Friendship” atau persahabatan. Ceritera-ceritera yang disamapaikan pada mahasiswa/siswa mengenai persahabatan yang baik merupakan paradigma moral bagi semua hubungan antar manusia. Kita harus mengajarkan kepada siswa  bagaimana memilih teman (sahabat) yang baik. Tuntutan suatu persahabatan adalah kejujuran, keterbukaan, setia, pengorbanan diri, yang ini semua adalah sangat potensial untuk mendorong terwujudnya kematangan moral dan kejujuran yang mantap.
5.   Work” atau bekerja. Langkah pertama dalam mengerjakan sesuatu adalah belajar, bagaimana cara mengerjakan sesuatu. Dalam hal ini perlu ditanamkan bahwa semua pekerjaan adalah baik dan mulia, cara menikmati mengerjakan sesuatu, cara bekerja sama, memberi dorongan dan apresiasi terhadap usaha-usaha mereka, bekerja dengan penuh riang gembira, disertai dengabn pemberian contoh yang teliti dan cermat.
6.   Courage” atau keberanian dan keteguhan hati. Hali ini perlu ditanamkan dalam menghadapi perasaan takut, sifat ragu-ragu, gugup, bimbang, dan sifat-sifat lain yang sering mengganggu. Anak perlu didorong dan dibangkitkan motivasinya untuk berlatih dengan menggunakan kecerdasannya.
7.   Perseverance” atau ketekunan. Bagaimana caranya mendorong para mahasiswa/siswa supaya tekun dan tetap melaksanakan usaha-usaha untuk meningkatkan keberanian dan ketekunannya. Mereka perlu dibimbimbing dan diarahkan serta diber contoh-contoh yang positif, dengan mengedepankan prinsip “Tut Wuri Handayani”.
8.   Honesty” atau kejujuran. Peserta didik perlu dididik menjadi pribadi yang jujur, berbuat secara nyata, secara murni, dan dapat dipercaya. Kejujuran diwujudkan atau diekspresikan dalam bentuk rasa hormat kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Hal ini perlu dilatih dan dipelajari, yang pada hakikatnya sepanjang hidup, supaya menjadi orang yang memiliki integritas dan kemauan yang mulia. Kejujuran adalah hal yang sangat penting bagi pemeliharaan hubungan-hubungan kemanusiaan, bagi persahabatan sejati di dalam masyarakat. Hal ini harus dimiliki dan diaplikasikan secara serius supoaya menjadi seseorang yang baik dan bijaksana.
9.   Loyality” atau loyalitas. Loyalitas atau kesetiaan berkaitan dengan hubungan kekeluargaan, persahabatn, afilisiasi keagamaan, kehidupan professional dan lain-lain, yang kesemuanya itu dapat berubah dan dikembangkan kea rah yang baik dan mulia.
10. Faith” atau keyakinan. Keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakandimensi yang sangat penting, yang merupakan sumber moral manusia. Keyakinan juga merupakan sumber disiplin dan kekuatan yang sangat berarti dalam kehidupan manusia, dapat membantu kestabilan sosial dan perkembangan moral individu dan masyarakat. Oleh karena itu hal ini perlu dimiliki oleh anak-anak sedini mungkin sesuai dengan tahap-tahap perkembngan mereka.
Schiller & Bryant juga mengemukakan ada 16 moral dasar bagi anak, yaitu : (1) Kepedulian dan empati, (2) Kerjasama, (3) Berani, (4) Keteguhan hati dan komitmen, (5) Adil, (6) Suka menolong, (7) Kejujuran dan integritas, (8) Humor, (9) Mandiri dan percaya diri, (10) Loyalitas, (11) Sabar, (12) Rasa bangga, (13) Banyak akal, (14) Sikap respek, (15) Tanggung jawab, (16) Toleransi (Schiller & Bryant, 2002). Muhammad Musa Asy-Syarif mengemukakan pula dalam bukunya Ibadah Qalbu, bahwa pilar akhlak ada tiga, yaitu : jujur, sabar, dan rendah hati. (Muhammad Musa Asy-Syarif, 2005: 170-194). Muhammad Al Ghazali, menyebutkan pula diantaranya adalah : jujur, amanah, memenuhi jajnji, ikhlas, sabar, pemaaf, murah hati, rasa malu, kasih sayang (Muhammad Al Ghazali, 2004).
Pendidikan nasional harus dipersatukan atas dasar Pancasila. Tak seyogyanya bagi penyelesaian-penyelesaian masalah-masalah pendidikan nasional dipergunakan secara langsung sistem-sistem aliran-aliran ajaran, teori, filsafat, praktek pendidikan berasal dari luar. Menurut Notonagoro (1973), perlu disusun sistem ilmiah berdasarkan Pancasila tentang ajaran, teori, filsafat, praktek pendidikan nasional, yang menjadi dasar tunggal bagi penyelesaian masalah-masalah pendidikan nasional. Dalam pada itu filsafat pendidikan nasional mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai pemberi pedoman dan tujuan, memberi perdalaman, penginti, pendasar, perangkum; penggunaan sistem-sistem dan ajaran-ajaran berasal dari luar setelah diintegrasikan dengan system pendidikan nasional hanya sebagai pembantu, perbandingan, pemerkayaan dan dalam lain-lain peranan tidak langsung atau sekuler; dengan demikian akan teratasi pula kemungkinan-kemungkinan terbelahnya kepribadian para ahli pendidikan, yang akibatnya akan menimpa kepada anak didik dengan resiko yang besar bagi hari depan bangsa.

2. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ideologi

Ideologi adalah suatu kompleks idea-idea asasi tentang manusia dan dunia yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup (Driyarkara, 1976). Dalam pengertian ini termuat juga pandangan tentang Tuhan, tentang manusia sesama, tentang hidup dan mati, tentang masyarakat dan negara dsb. Istilah  “manusia dan dunia” mengandung arti bahwa manusia itu mempunyai tempat tertentu, mempunyai kedudukan tertentu,  berarti mempunyai hubungan-hubungan atau relasi. Sesuai dengan tabiat hubungan-hubungan itu, suatu ideologi bersifat hanya “diesseitig” ( merembug kehidupan dunia, dan tidak mengakui adanya Tuhan, contohnya ideologi Komunis ) atau ideologi yang bersifat “diesseitig sekaligus juga yenseitig”( merembug kehidupan akhirat, mengakui adanya Tuhan, contohnya ideologi Pancasila ).
Dalam rumusan diatas, ideologi bukanlah hanya pengertian. Ideologi adalah prinsip dinamika, karena merupakan pedoman (menjadi pola dan norma hidup) dan sekaligus juga berupa ideal atau cita-cita. Realisasi dari idea-idea yang menjadi ideologi itu dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia.
Pengembangan Pancasila sebagai ideologi yang memiliki dimensi realitas, idealitas dan fleksibilitas (Pancasila sebagai ideologi terbuka) menghendaki adanya dialog yang tiada henti dengan tantangan-tantangan masa kini dan masa depan dengan tetap mengacu kepada pencapaian tujuan nasional dan cita-cita nasional Indonesia.

3. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Politik   
Ada perkembangan baru yang menarik berhubung dengan dasar negara kita. Dengan kelima prinsipnya Pancasila memang menjadi dasar yang cukup integratif bagi kelompok-kelompok politik yang cukup heterogen dalam sejarah Indonesia modern (Ignas Kleden, 1988).                                                                                                                                                                                                                             
Untuk mengatasi permasalahan di bidang politik, tidak ada jawaban lain kecuali bahwa kita harus mengembangkan sistem politik yang benar-benar demokratis(Mochtar Buchori (2001). Demokratisasi merupakan upaya penting dalam mewujudkan civil society. Tanpa proses demokratisasi tidak akan tercipta civil society. Suatu masyarakat menjadi demokratik bukan karena memiliki institusi-institusi tertentu seperti lembaga perwakiulan dan adanya pemilihan umum. Masyarakat menjadi demokratik kalau mewujudkan nilai-nilai inti demokratik (core democratic values). Ada sedikitnya empat nilai inti demokratik. Pertama, kedaulatan rakyat yang berarti masyarakat diatur oleh keputusan atau hukumyang ditentukan oleh masyarakat sendiri baik langsung atau melalui perwakilan. Nilai demokratik kedua adalah partisipasi. Partisipasi politik berarti masyarakat sendiri yang mentukan dan mengendalikan keputusan politik yang mempengaruhi dirinya. Partisipasi politik perlu bagi perwujudan kebebasan warganegara. Nilai ketiga dari demokrasi adalah akuntabilitas. Dalam masyarakat demokrati harus ada mekanisme bagaimana pemerintah atau pemegang kekuasaan dapat diawasi dan dikendalikan oleh rakyat. Nilai keempat dari demokrasi adal;ah komitmen pada persamaan (equality). Warga masyarakat memiliki hak yang dama dalam memberikan kontribusi bagi pengambilan keputuisan (M. Sastra-pratedja, 2001)

4. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
 Ekonomi merupakan kesatuan hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan produk. Ekonomi memuat dimensi etis, karena pada akhirnya memuat bentuk hubungan antar manusia atau antar kelompok yang diperantarakan oleh hubungan antara manusia dengan alam atau dengan produk yang didistribusikan, dipertukarkan dan dikonsumsikan dengan berbagai cara (M. Sastra-pratedja, 2001).
Secara historis, menurut Bung Hatta, hanya dengan perubahan sistem dan struktur ekonomi kapitalistik-liberal (atau dualistik) yang kita warisi dari masa kolonial menjadi sistem ekonomi kekeluargaan atau kerakyatan, kita bisa berharap akan terjadinya perbaikan dan peningkatan kemakmuran rakyat menuju perwujudan keadilan sosial yang dicita-citakan (Mubyarto, 1995). Bung Hatta juga pernah menegaskan bahwa “Kalau kita sungguh-sungguh mencintai Indonesia yang merdeka, yang bersatu, tidak terpecah belah, berdaulat, adil dan makmur, marilah bercermin sebentar, kembali kepada cita-cita dahulu yang begitu suci, danh mengembalikan pemimpin yang jujur berpadu dengan semangat yang siap melakukan pengorbanan” (Mubyarto, 1995).
Strategi pembangunan partisipatif (participatory development strategy) yang merupakan syarat bagi terselenggaranya proses demokrasi ekonomi masih terhambat oleh kultur politik dan sikap birokratis yang paternalistik. Berbagai pembinaan atau reformasi kultural diperlukan untuk memasyarakatkan nilai kedaulatan rakyat (Sri-Edi Swasono, 1995). Bagi kita, usaha untuk menjamin suatu kehidupan yang layak, yang makmur, adil dan sentosa perlu kita bangun bukan saja suatu sitem ekonomi baru untuk mengatasi kemelaratan, melainkan lebih luas lagi. Kita perlu membangun suatu kebudayaan baru yang kembali menempatkan manusia sebagai pelindung dan pemelihara alam serta segala kekayaannya, dan yang mampu untuk memayu hayuning bawono yaitu dapat menyelamatkan umat dan memupuk kesejahteraan dunia, menuju ke raharjaan, keselamatan dan kerahayuan (Soedjatmoko, 1986).
Bagi Bung Hatta, tidak ada pengamalan lain yang utama kecuali bagi rakyat yang ia cintai, berdasarkan akhlak kemanusiaa dan keadilan. Cinta Bung Hatta kepada rakyat dalam-dalam terbawa mati, seperti tertulis dalam wasiat (ditulis 10 Februari 1975) yang muncul dari kedalaman kalbunya, yaitu “Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamasikan Indonesia Merdeka. Saya tidak ingin dikubur di makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingindi kubur di tempat kuburan rakyat biasa, yang nasibnya saya perjoangkan seumur hidup saya” (Sri-Edi Swasono, 1995).
Pembangunan ekonomi nasional harus juga berarti pembangunan sistem ekonomi yang kita anggap paling cocok bagi bangsa Indonesia. Dalam penyusunan sistem ekonomi nasional yang tangguh untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sudah semestinya Pancasila sebagai landasan filosofisnya. Itulah yang disebut Sistem Ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila bukanlah sistem ekonomi yang liberal-kapitalistik, dan juga bukan sistem ekonomi yang etatitik atau serba negara. Meskipun demikian sistem pasar tetap mewarnai kehidupan perekonomian (Mubyarto, 1997).
Perekonomian nasional dan Kesejahteraan Sosial, sebagaimana yang ditegaskan dan tercantum dalam dalam UUD 1945 (BAB XIV, pasal 33), harus dilaksanakan dan dipegang teguh secara konsisten, yaitu : (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

5.       Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial-Budaya
Dalam istilah Inggris, “budaya” adalah “culture”, berasal dari kata Latin “colere” yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani. Ini berarti, budaya merupakan aktivitas manusia, bukan aktivitas makhluk yang lain dan menjadi ciri manusia. Hanya manusia yang berbudaya dan membudaya. Menurut Ki Hadjar Dewantara, “Kultur atau kebudayaan itu sifatnya bermacam-macam, akan tetapi oleh karena semuanya adalah buah adab, maka semua kebudayaan atau kultur selalu bersifat : tertib, indah, berfaedah, luhur, memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Sifat-sifat itu terdapat dan terlihat di dalam perikehidupan manusia-manusia yang beradab …” (Ki Hadjar Dewantara, 1967).
Budaya selamanya berari sosio-budaya, sehingga perubahannya juga selalu berupa perubahan sosio-budaya (Driyarkara,1980). Dalam kehidupan sosial-budaya era globalisasi menuntut para warga untuk mampu mempertahankan integritas masyarakatnya masing-masing melalui : (1) pengembangan kehidupan yang bermakna (to develop a meaning life) dan (2) kemampuan untuk memuliakan kehidupan itu sendiri (ability to ennoble life). Bila dalam suatu masyarakat, kebanyakan anggotanya tidak memiliki kedua kemampuan ini, maka dalam era globalisasi ini masyarakat tadi akan terjerumus ke dalam kehidupan kemasyarakatan yang serba datar, dangkal dan mekanistik. Maka, akan timbul pendangkalan, yang selanjutnya akan melahirkan kecenderungan depersonalisasi dan dehumanisasi (Mochtar Buchori, 2001).Oleh karena itu dalam membangun kita jangan senantiasa gandrung untuk menjadi “orang lain” dan lupa menjadi “diri sendiri”, sebagai pribadi, sebagai manusia yang bermartabat.
Ada beberapa aspek yang terkandung di dalam pengertian martabat manusia Sastrapratedja (2001). Pertama, martabat manusia (dignity of man) diletakkan pada kewdudukannya sebagai suibjek atau pribadi, yang mampu menetukan pilihan, menentukan tindakannya dan dirinya sendiri (self-determination). Kedua, martabat manusia terletak pula dalam sosialitasnya. Sosialitas manusia dewasa ini semakin luas radiusnya yang secara spasial semakin  bersifat mondial, mengatasi batasan-batasan geografis, dan secara temporal kesadaran sosial mengatasi batasan masa kini. Tentu saja hal ini membawa imperatif etis baru. Aspek ketiga dari martabat manusia ialah keutuhannya. Manusia merupan totalitas. Manusia sebagai totalitas menentang segala bentuk reduksionisme.
Melalui pendekatan inklusif, artinya yang bersifat non-diskrimunatif, Pancasila memberikan suatu kerangka di dalam mana semua kelompok di dalam masyarakat dapat hidup bersama, bekerja bersama di dalam suatu dilog karya yang terus-menerus guna membangun suatu masa depan bersama. Pancasila sendiri tidak merumuskan masa depan itu. Pancasila membiarkan masa depan itu terbuka untuk ditentukan dan dibangun secara bersama-sama oleh semua anggota masyarakat Indonesia. Dalam arti ini, Pancasila mempertahankan baik kesatuan maupun kemajemukan Indonesia secara dinamis. Dan inilah sumbangan Pancasila yang amat berharga (Eka Darmaputera,1992).
Masyarakat Indonesia yang memiliki kemajemukan budaya (multikultural), meniscayakan pentingnya pendidikan multikultural. Tujuan pendidikan multikultural adalah : (1). Pembentukan sebuah sikap menghormati dan menghargai nilai keragaman budaya, (2). Promosi kepercayaan pada nilai instrinsik tiap-tiap pribadi dan perhatian yang tak kunjung hilang terhadap kesejahteraan masyarakat yang lebih luas, (3). Pengembangan kompetensi multikultural untuk berfungsi secara efektif dalam setting yang bervariasi secara kultural, (4). Fasilitasi keadilan pendidikan tanpa memperhatikan etnis, ras, gender, usia, atau kekhususan lain (Young Pai, 1990).

6.       Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ketahanan Nasional

Ketahanan Nasional Indonesia pada hakikatnya adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasiona dan cita-cita nasional. Adapun konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia pada hakikatnya adalah pengaturan dan penyeleggaraan kesejahteraan dan keamanan secara  serasi, selaras, seimbang, terpadu dan dinamis dalam seluruh aspek kehidupan nasional.
Soedjatmoko (1991) sudah lama mengingatkan dalam hasil studinya bahwa  “Pengalaman di negara Amerika Latin dan beberapa negara di kawasan kita ini telah memberi tahu kita bahwa terdapat batas-batas bagi kapasitas masyarakat untuk menanggung ketegangan-ketegangan yang -- karena cepatnya perubahan sosial, atau karena besarnya ketimpangan sosial, ekonomik dan politis --,  melebihi daya tahan sistem politik. Konflik-konflik yang timbul sering membawa kepada saling tindak kekerasan yang makin meningkat, dan pada keadaan terjelek membawa kepada kehancuran keseluruhan masyarakat”
Soedjatmoko (1991) lebih lanjut menegaskan bahwa “Konflik-konflik minoritas, kegoncangan-kegoncangan sepanjang garis-garis pertikaian beberapa wilayah, etniisitas ras atau bahasa adalah peringatan-peringatan dini, atau sudah agak terlambat, mengenai adanya disfungsi besar dalam kohesi sosial dan sistem politis. Disorientasi, alienasi, perilaku anomik, penyalahgunaan narkotika, makin bertambahnya intoleransi serta fanatisme relijius kelompok-kelompok dalam masyarakat adalah pertanda-pertanda awal dari sebuah masyarakat yang sedang mengalami stres. Gejala-gejala ini masih belum dipelajari dalam kerangka-kerangka proses pembangun-an, kecepatannya, ada atau tidaknya strateginya. Mempelajari masalah-masalah ini secara terpisah dari dinamika proses pembangunan adalah tidak realistik”.
Penyelengaraan ketahanan nasional itu dengan sendirinya berbeda-beda sesuai dengan letak dan kondisi geografis serta budaya bangsa. Bangsa itu terpelihara persatuannya berkat adanya seperangkat nilai yang dihayati bersama oleh para warganegaranya. Perangkat nilai pada bangsa yang satui berbeda dengan perangkat nilai pada bangsa yang lain. Bagi bangsa Indonesia, perangkat nilai itu adalah Pancasila. Kaitan Pancasila dan ketahanan nasional adalah kaitan antara idea yang mengakui pluralitas yang membutuhkan kebersamaan dan realitas terintegrasinya pluralitas. Dengan kata lain ketahanan nasional adalah perwujudan Pancasila dalam kehidupan nasional suatu bangsa (Abdulkadir Besar, 1996). Perlu dilakukan usaha-usaha yang tiada henti, baik kajian substantif maupun langkah implementatif agar Pancasila semakin bermakna dalam mendukung terwujudnya Ketahanan Nasional  Indonesia. 
         

7.       Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hukum

Pembangunan hukum bukan hanya memperhatikan nilai-nilai filosofis, asas yang terkandung dalam konsep negara hukum, tetapi juga mempertimbangkan realitas penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat (Moh. Busyro Muqoddas, Salman Luthan & Muh. Miftahudin, 1992). Sistem hukum menurut wawasan Pancasila merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem kehidupan masyarakat sebagai satu keutuhan dan karena itu berkaitan secara timbal balik, melalui berbagai pengaruh dan interaksinya, dengan sistem-sistem lainnya. Pancasila sebagai ideologi nasional memberikan ketentuan mendasar, yakni : (1) Sistem hukum dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumbernya, (2) Sistem hukum menujukkan maknanya, sejauh mewujudkan keadilan, (3) Sistem hukum mempunyai fungsi untuk menjaga dinamika kehiudupan bangsa, (4) Sistem hukum menjamin proses realisasi diri bagi para warga bangsa dalam proses pembangunan (Soerjanto Poespowardojo, 1989).
Melalui hukum manusia hendak mencapai ketertiban umum dan keadilan. Meski harus disadari bahwa ketertiban umum dan keadilan yang hendak dicapai melalui hukum itu hanya bisa dicapai dan dipertahankan secara dinamis melalui penyelenggaraan hukum dalam suatu proses sosial yang sendirinya adalah fenomen dinamis (Budiono Kusumohamidjojo, 2000).
Negara hanya dapat disebut negara hukum apabila hukum yang diikutinya adalah hukum yang baik dan adil. Artinya, hukum sendiri secara moral harus dapat dipertanggungjawabkan. Dan itu berarti bahwa hukum harus sesuai dengan paham keadilan masyarakat dan menjamin hak-hak asasi manusia.( Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan berdasarak hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia) (Franz Magnis Suseno, 1999).

8.       Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Beragama
Tiap-tiap kalian Kami buatkan syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (metode pelaksanaannya). Seandainya Allah menghendaki, pasti Dia jadikan kalian (manusia) umat yang satu, tetapi (dijadikan beragam) itu untuk menguji kalian atas apa-apa yang Dia anugerahkan kepada kalian. Maka berlomba-lombalah kalian menuju kebajikan-kebajikan. Kepada Allah kalian semua akan kembali dan kelak Dia akan menjelaskan kepada kalian apa saja yang pernah kalian perselisihan (QS al-Maidah/5 : 48).
Adakah sesuatu yang mempertemukan agama-agama di negeri ini sehingga membuat mereka (para umat beragama itu) tidak harus saling menghancurkan? Pertanyaan ini, jika jatuh ke tangan masyarakat yang pesimis, biasanya dengan mudah mereka segera meragukannya, malahan mengingkarinya. Akan tetapi, bila hal ini ditanyakan kepada masyarakat yang optimis, niscaya tanpa ragu sedikitpun mereka segera menjawab “ada”, kendati hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat prinsipil. Hal-hal rinci, seperti ekspresi-ekspresi simbolik dan formalistik, tentu sulit dipertemukan. Masing-masing agama, bahkan sesungguhnya masing-masing kelompok intern suatu agama, mempunyai idiom yang khas, yang hanya berlaku secara intern. Oleh karena itu, ikut campur penganut agama tertentu terhadap kesucian orang dari agama lain, adalah tidak masuk akal dan hasilnya pun akan nihil (Nurcholis Madjid, 2001).
Tiga puluh enam tahun yang lalu, tepatnya tahun 1972, mantan menteri agama H.A. Mukti Ali, mengembangkan sarana pencapaian kehidupan harmonis antar-umat beragama, yang diselenggarakan dengan segala kearifan dan kebijakan atas nama pemerintah. Dan sampai saat ini, proses dialog tetap berjalan terus dan berkembnag merata di seluruh tanah air. Hal ini memang dituntut oleh masyarakat Indonesia yang religius, diatur oleh UUD 1945, dan dikukuhkan oleh nilai dasar negara, Pancasila. Dengan itu diharapkan pelestarian persatuan nasional yang semakin mantap tidak terganggu (Burhanudin Daya, 2004).
Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkan-nya sebagai suatu keniscayaan. Kemajemukan ini merupakan sunnatullah (hukum alam). Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama, dan sebagainya, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling majemuk di dunia. Hal ini disadari betul oleh para Founding Fathers kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”(Masykuri Abdillah, 2001).  
Bila agama disalahgunakan, akibatnya bisa amat destruktif dan mengerikan. Orang akan dengan mudah saling membunuh atas nama Tuhan. Fenomena ini tidak saja terjadi antar pemeluk agama yang berbeda, tetapi juga terjadi di kalangan intern pemeluk agama yang sama. Bila keadaan semacam ini yang berlaku, ketulusan dan kejujuran sebagai manifestasi otentik dari iman sudah tidak berdaya lagi. Yang berkuasa adalah bisikan setan yang menjerumuskan (Ahmad Syafi’i Ma’arif, 2001). Ini bertentangan dengan nilai-nilai religius dan nilai-nilai Pancasila.
Persahabatan sejati hanya mungkin dibangun di atas fundasi iman yang kokoh yang membuahkan ketulusan dan kejujuran. Dalam kaitan hubungan antar pemeluk agama, Ahmad Syafi’i Ma’arif (2001) menyampaikan formula, “berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan”. Di luar formula ini dikhawatirkan, agama tidak lagi berfungsi sebagai sumber kedamaian dan keamanan, tetapi menjadi sumber sengketa dan kekacauan, bahkan sumber peperangan. Hellen Keller (1880-1968), seorang pendidik, menyata-kan bahwa “Hasil tertinggi dari suatu pendidikan adalah sikap toleran”.
Pendidikan agama hendaknya mendukung perkembangan peserta didik : (1) Bukan ke arah kesempitan, melainkan ke pandangan yang luas, (2) bukan ke primordialisme, melainkan ke  kemampuan untuk untuk menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, dan hidup dalam masyarakat plural, (3) Bukan ke arah fanatisme, melainkan ke kemampuan untuk bersikap toleran, (4) Ke arah keyakinan kuat akan agamanya sendiri, tetapi bukan secara eksklusif, melainkan secara inklusif, dalam arti anak menjadi mampu untuk melihat yang baik juga pada orang/masyarakat yang beragama/-berkeyakinan lain, (5). Ke arah kepekaan dan keprihatianan terhadap segala orang menderita, tertindas, tak berdaya, dari golongan manapun, jadi lintas kelompok primordial (Franz Magnis-Suseno, 2006).
Agama berperan dalam membentuk orang yang salih. Menurut Ali Syari’ati, Seorang salih tidak akan ditinggalkan oleh zaman dan dibiarkan sendiri oleh kehidupan. Kehidupan akan  menggerakkan-nya, dan zaman akan mencatat amal baiknya  (Ali Syari’ati, 1992 : 27). Ini menunjukkan pentingnya peran agama dan pendidikan. “For the              
                              the sake of education we need religion and for the sake of religion we need education : the two are fundamentally inseparable”. (John F. Gardner, 1973 : 271).                                                                
                                                                                                 

9. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu dan Teknologi

Ilmu pengetahuan dan teknologi, di masa sekarang memang merupakan kebutuhan tersendiri.  Bagi kelompok manusia yang menginginkan kemajuan mutlak harus memiliki dua hal tersebut. Kepemilikan iptek untuk memudahkan kehidupan manusia dan mengangkat derajat manusia, oleh karena itu kepemilikan tersebut harus diiringi dengan cara menggunakan yang tepat.  Realitas yang didapatkan, kepemilikan terhadap iptek sering disalahgunakan, sehingga justru mendehumanisasikan manusia itu sendiri. Hal ini justru sering dilakukan oleh para ilmuwan dan teknokrat. Padahal apapun hasil dari iptek mestinya dapat dipertanggungjawabkan akibatnya, baik pada masa lalu, masa sekarang, maupun masa depan.
Dalam kondisi seperti di atas maka diperlukanlah suatu platform yang mampu dijadikan sebagai ruhnya dagi perkembangan iptek di Indonesia. Bangsa Indonesia, dalam seluruh dimensi hidupnya, termasuk di bidang iptek, tergantung pada kuat tidaknya memegang ruh bangsanya, yaitu Pancasila. Pada persoalan di atas,  Pancasila berperan memberikan beberapa prinsip etis kepada ilmu, sebagai berikut ;
a.  Martabat manusia sebagai pribadi, sebagai subjek tidak boleh diperalat untuk kepentingan iptek, riset.
b.  Prinsip “tidak merugikan”, harus dihindari kerusakan yang mengancam kemanusiaan.
c.  Iptek harus sedapat mungkin membantu manusia melepaskan dari kesulitan-kesulitan hidupnya.
d.  Harus dihindari adanya monopoli iptek.
e.  Diharuskan adanya kesamaan pemahaman antara ilmuwan dan agamawan, yaitu bahwa iman memancar dalam ilmu sebagai usaha memahami “sunnatullah”, dan ilmu menerangi jalan yang telah ditunjukkan oleh iman.
Sejalan dengan itu, jika dipandang dari wacana   filsafat ilmu,  maka iptek yang diletakkan di atas Pancasila sebagai paradigmanya yang perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis ( Koento Wibisono, 1:9 ).
Aspek Ontologis, yaitu bahwa hakikat iptek merupakan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran serta kenyataan. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus dipandang secara utuh sebagai masyarakat, proses, dan produk.
Aspek Epistemologi, yaitu nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai “metode berfikir”, dalam arti sebagai dasar dan arah dalam mengembangkan ilmu, serta sebagai parameter kebenarannya.
Aksiologi, dengan menggunakan epistomologi tersebut kemanfaatan dan efek pengembangan iptek secara negatif tidak bertentangan dengan ideal Pancasila, dan secara posistif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai Pancasila.
 Sebagaimana dinyatakan oleh Teuku Jacob (2000) bahwa perkembangan IPTEK dewasa ini dan dimasa yang akan datang sangat cepat, makin menyentuh inti hayati dan materi di satu pihak serta menggapai angkasa luas dan luar angkasa di lain pihak, lagi pula memasuki dan mempengaruhi makin dalam segala aspek kehidupan dan institusi budaya. Akibat yang baik adalah mengamankan, menyejahterakan dan menyelamatkan manusia, menambah atau mengurangi jumlah manusia, memperluas cakrawalanya, mengeser umur matinya, serta mengatasi halangan-halangan temporo-spasial. Akibatnya yang buruk adalah mendesak manusia secara temporospasial, mengusangkan kelompok yang kurang mujur, merusak lingkungan kerak bumi dan atmosfer, bahkan membinasakan dirinya, secara individual maupun massal.   

 Selanjutnya T. Jacob (2000) berpendapat bahwa Pancasila mengandung hal-hal yang penting dalam pengembangan ilmu dan teknologi.

·      Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengingatkan manusia bahwa  ia hanyalah makhluk yang mempunyai keterbatasan seperti makhluk-makhluk lain, baik yang hidup maupun yang tidak hidup. Ia tidak dapat terlepas dari alam, sedangkan alam raya dapat berada tanpa manusia.

·      Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab sangat penting dalam  pengembngan IPTEK. Menyejahterakan manusia haruslah dengan cara-cara yang berperikemanusiaan. Disain, eksperi-men, ujicoba dan penciptaan harus etis dan tidak merugikan manusia individual maupun umat manusia,yang sekarang maupun yang akan datang. Dalam etika ada prinsip dasar jangan merugikan orang lain dan jangan membisu kalau mengetahui ada hal-hal yang merugikan kemanusiaan. Jangan kita terjerumus mengembangkan IPTEK tanpa jiwa atau tanpa perikemanusiaan.

·      Sila Persatuan Indonesia mengingatkan kita untuk mengembangkan IPTEK tentang dan untuk seluruh tanah air dan bangsa. Segi segi yang khas Indonesia harus mendapatr prioritas untuk dikembangkan secara merata untuk kepenting-an seluruh bangsa, tidak hanya atau terutama untuk kepentingan bangsa lain. Sila Kerakyatan meminta kita membuka kesempatan yang sama bagi semua warga untuk dapat mengembangkan IPTEK, dan mengenyam hasilnya, sesuai kemampuan dan keperluan masing-masing-masing-masing-masing.

·      Sila Keadila Sosial memperkuat keadilan yang lengkap dalam alokasi dan perlakuan, dalam pemutusan, pelaksanaan, perolehan hasil dan pemikulan risiko, dengan memaximasi kelompok-kelompok minimum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Calendar