Kamis, 13 Oktober 2011

MANUSIA PEMBENTUK KEBUDAYAAN DALAM AL-QURAN

Share it Please

DR. H. MUSA ASY’ARIE


Definisi Insan dan Basyar
Penggunaan kata insan dan basyar dalam Al-Quran menunjukkan konteks dan makna yang berbeda, meskipun sama-sama menunjuk pada pengertian manusia. Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subjek kebudayaan dalam pengertian ideal, sedangkan kata basyar menunjuk pada manusia yang berbuat sebagai subjek kebudayaan dalam pengertian material yang seperti terlihat pada aktivitas fisiknya. Insan-basyar pada hakikatnya adalah manusia sebagai kesatuan yang membentuk kebudayaan. Wujud kebudayaan tersebut mencakup yang ideal yang bersifat abstrak yaitu proses berfikir maupun yang material yang bersifat nyata.

Definisi Khalifah dan ‘Abd
Seorang khalifah adalah ia yang menggantikan orang lain, menggantikan kedudukannya, kepemimpinannya atau kekuasaannya. Proses pergantian itu bersifat alamiah, karena tidak ada keabadian dalam kehidupan didunia ini. Tugas khalifah ini pada dasarnya mengandung implikasi moral yang dipakai untuk kepentingan menciptakan kesejahtraan seluruh alam, tetapi yang terjadi saat ini banyak yang menyalahgunakannya. Kekuasaan seorang khalifah pada dasarnya tidak bersifat mutlak, karena kekuasaannya dibatasi oleh pemberi mandat kekhalifahan. Sebagai pemegang mandat Tuhan seorang khalifah tidak diperbolehkan melawan hukum-hukum yang ditetapkan Tuhan.
Esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan. Kata ‘abd memiliki arti yang positif, yaitu seorang yang tunduk, taat dan patuh kepada Tuhannya. Sedangkan ‘abd dalam kehidupan masyarakat yang mengenal perbudakan memiliki arti yang negatif, karena hilangnya kemerdekaan bagi seorang dan adanya penindasan terhadap manusia sesamanya.
Ketundukan dan ketaatan pada hukum-hukum yang mengikat kodrat alamiahnya merupakan suatu ketentuan yang tidak bisa ditolaknya, karena merupakan bagian dari hukum-hukum Tuhan yang mengatur kehidupan semesta. Akan tetapi manusia tidak sepenuhnya terikat oleh hukum-hukum alamiah saja, karena manusia dilebihkan kemampuan akalnya, sehingga ia mampu mengolah potensi alam menjadi sesuatu yang baru yang diperlukan bagi kehidupannya. Dalam perkembangannya, manusia pun terikat oleh hukum-hukum berpikir dalam upaya mengembangkan dan mewujudkan pemikirannya.
Jadi khalifah adalah pengganti yang memegang kepemimpinan dan kekuasaan dari yang digantikan, ia memiliki wewenang untuk menentukan pilihan dan bebas untuk menggunakan akalnya. Sedangkan ‘abd adalah seorang yang telah kehilangan wewenang untuk menentukan pilihan dan kehilangan kebebasan untuk berbuat. Esensi seorang khalifah adalah kebebasan dan kreativitas, sedangkan esensi seorang ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan.


Khalifah dan ‘Abd dalam Al-Quran
Bentuk jamak khalifah yaitu khalaifah dan khulafa’.
 Arti kata khalaifa dipakai Al-Quran untuk menyebut suatu generasi manusia yang tampil menggantikan generasi sebelumnya yang hancur karena perbuatan zalimnya. Generasi yang menggantikan mereka yang binasa karena perbuatan zalimnya itu ialah generasi dari mereka juga, tetapi generasi itu diselamatkan Tuhan karena tetap kuat imannya, sehingga tidak ikut berbuat zalim, seperti kaum Nabi Nuh a.s.. Generasi yang selamat itu tumbuh menjadi khalifah-khalifah membentuk kehidupan baru yang lebih baik. Dalam proses pertumbuhannya satu sama lain memperoleh hasil yang berbeda yang kemudian menentukan status satu lebih tinggi daripada yang lainnya. Semua itu menurut Al-Quran merupakan ujian bagi mereka. Oleh karena itu, jika dengan ujian hidup yang meraka terima mereka tidak tahan dan kemudian ingkar pada tanda-tanda kebesaran Tuhan, maka tentu mereka akan menanggung segala akbat yang terjadi dan mendapat kerugian diri sendiri.
Untuk kata khulafa’, dipakai Al-Quran untuk menyebut kaum Nabi Hud a.s., yang menggantikan kaum Nabi Nuh a.s. Kata khulafa’ juga dipakai Al-Quran untuk menyebut kaum Samud yang menggantikan kaum ‘Ad. Kaum Samud ini unggul dalam pembangunan gedung dan memahat gunung menjadi rumah. Semua proses pergantian itu, dimungkinkan karena kehendak Allah sendiri, sebagai peringatan agar manusia tidak melakukan perbuatan zalim, menyekutukan Tuhan.
Tugas kekhalifahan pada dasarnya adalah tugas kebudayaan yang berciri kreatif agar selalu dapat menciptakan sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Tugas kebudayaan seorang khalifah yang bertumpu pada pengetahuan konseptual yang bertujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahtraan hidup di bumi pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan kapasitas intelektualnya saja, tetapi juga berkaitan dengan tuntutan moral.
Kata ‘abd jamaknya adalah ‘ibad dan ‘abid.
 Kata ‘ibad dipakai untuk menyebut hamba sahaya. Kata ‘ibad dan ‘abid juga digunakan untuk menyebut semua manusia. ‘Abd dipakai dalam dua konteks, yang menbawa pengertian berbeda. Pengertian pertama adalah untuk manusia yang dalam suatu kehidupan masyarakat ia tidak mempunyai kebebasan sama sekali untuk menentukan kehendaknya, yaitu hamba sahaya yang dapat diperdagangkan sekehendak tuan yang memilikinya. Sedangkan pengertian yang kedua dipakai dalam hubungannya dengan Tuhan yang menempatkan manusia pada posisi yang harus tunduk dan patuh, sebagai kepatuhan dan ketundukan ciptaan kepada penciptanya.
Penghambaan pada hakikatnya hanya layak terjadi antara manusia dengan Tuhan. Ketidak mauan manusia menghamba kepada tuhan akan mengakibatkan ia menghamba kepada dirinya, menghamba pada hawa nafsunya.
Dalam kehidupan masyarakat beragama pada umumnya ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan seringkali diartikan ketaatan dan kepatuhan seseorang terhadap ajaran agama. Ajaran agama itu kemudian dimengerti sangat formal seperti yang tercermin dalam ketentuan-ketentuan peribadatan.
Pemahaman teramat formal terhadap agama atau formalism agama dalam kehidupan masyarakat melahirkan kepekaan yang sangat kuat terhadap ketentuan-ketentuan formal keagamaan tetapi mengabaikan kepekaan sosial dan moral. Seakan kepribadatan kepada Tuhan hanya akan diterima jika seseorang memenuhi ketentuan formalnya, meskipun realitas prilaku sosial dan moralnya rendah. Pendangkalan pemahaman tersebut menjadikan seseorang menjadi bersikap asosial dan amoral yang mengakibatkan seseorang sesat dan berbuat kerusakan.
Manusia disamping sebagai Khalifah Allah fi al-ardi ia pun juga ‘abd Allah, kedudukannya sebagai wakil Tuhan diwujudkan dalam ketaatan yang sepenuh hati kepada Tuhan. ‘Abd atau hamba tuhan memiliki arti positif seperti nabi-nabi Allah yang hidup sepenuhnya untuk merealisasikan hukum-hukum Allah, kebenaran-kebenaran yang ada dalam setiap ciptaannya, serta mewujudkan kebersamaan hidup dalam prinsip keadilan. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam membentuk kebudayaan. Kebudayaan dibentuk oleh adanya pemikiran terhadap alam sekitarnya dan pemahaman terhadap hukum-hukumnya yang kemudian diwujudkan dalam tindakan. Dimensi akal yang melahirkan gagasan dan perwujudannya dalam tindakan adalah dimensi insan dan basyar, yang keduanya secara ontologism merupakan basis utama terbentuknya kebudayaan.

Hubungan Insan-Basyar dan Khalifah-‘Abd
Kata Insan menunjuk pada dimensi akalnya, sedangkan basyar menunjuk pada dimensi tindakan lahiriahnya, yang keduanya pada dasarnya merupakan satu kesatuan makna, manusia disebut manusia karena kesatuan akal dengan tindakannya.
Kesatuan fungsional insan dan basyar adalah kesatuan khalifah dan ‘abd. Sebagai insan manusia adalah khalifah dan sebagai basyar manusia adalah ‘abd.
Sebagai insan dengan kapasitas akalnya manusia memerankan diri sebagai khalifah, ia menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tiada diketahuinya dan al-bayan, keterangan logis.
Hubungan antara dimensi insane dan basyar adalah hubungan yang terjalin erat, yang antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat saling meniadakan, sehingga pemisahan antara keduanya mengakibatkan manusia kehilangan kemanusiaannya.
Demikian juga halnya dengan hubungan antara khalifah dan ‘abd, keduanya pada dasarnya merupakan kesatuan yang membentuk kebudayaan. Seorang khalifah adalah sekaligus juga seorang ‘abd dihadapan Tuhan, dan sebagai ‘abd manusia mempunyai tuntutan kodrat alamiahnya  yang harus patuh dan tunduk pada hukum-hukum Tuhan. Dengan demikian, maka kebebasan kreatif yang dimiliki manusia sebagai khalifah yang diwujudkan dalam tindakan membawanya berhadapan dengan tuntutan kodratnya sebagai ‘abd yang menempatkan posisinya sebagai yang terbatas.
Oleh karena itu, pembentukan kebudayaan sebagai realisasi diri dari kesatuan insan-basyar dan khalifah-‘abd haruslah tunduk pada hukum-hukum Tuhan.

Hubungan Insan dengan Khalifah dan Basyar dengan ‘Abd
Dari konteks penggunaan kata insan dalam Al-Quran, kiranya dapat ditarik suatu pengertian bahwa kata insan mempunyai hubungan yang sangat logis fungsional dengan khalifah. Kata insan mempunyai pengertian manusia yang berakal dan dengan akalnya manusia menyusun konsep-konsep keilmuan. Dengan konsep keilmuan, manusia dapat bertindak sebagai khalifah untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi.
Pemakaian kata basyar mempunyai hubungan yang logis fungsional dengan kata ‘abd. Basyar disini dipahami dalam pengertian manusia dalam bangun struktur tubuhnya (fisik), dan secara fisik manusia tunduk dan patuh pada dorongan kekuatan alamiahnya. Seorang basyar pada tingkat yang paling tinggi adalah seorang yang patuh dan tunduk pada hukum-hukum Tuhan. Sebagai basyar-‘abd manusia berhadapan dengan keharusan-keharusan moral, keharusan-keharusan teologis.
Manusia sebagai insan-khalifah yang menyusun konsep-konsep, maka perwujudan konsep-konsep itu dalam kehidupan adalah merupakan realisasi dari realitasnya sebagai basyar-‘abd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Calendar