Selasa, 08 November 2011

KERANGKA DASAR DAN PSAK SYARIAH - “Bukan Sekedar Ganti Baju”

Share it Please

TANGGAPAN ATAS KERANGKA DASAR DAN PSAK SYARIAH
EXPOSURE DRAFT NOVEMBER 2006

“Bukan Sekedar Ganti Baju”

Oleh:
Rifqi Muhammad, SE.


Pendahuluan
            Perkembangan praktik lembaga keuangan syariah baik dalam bentuk lembaga keuangan bank maupun non bank telah memotivasi kalangan praktisi, akademisi, serta penyusun standar akuntansi keuangan untuk menyusun sebuah standar yang komprehensif serta bisa mengakomodasi transaksi-transaksi di lembaga-lembaga keuangan syariah. PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah telah memberikan identitas terhadap praktek akuntansi syariah. Bahkan sebagian kalangan yang awam terhadap akuntansi syariah menganggap bahwa akuntansi syariah hanya mengatur tentang praktik akuntansi perbankan syariah. Hal ini membuat beberapa tokoh akademisi seperti Iwan Triyuwono mencoba meluruskan makna serta semangat akuntansi syariah.

Triyuwono (2006: 27-30), menyatakan bahwa wacana akuntansi syariah telah berkembang di Indonesia sejak tahun 1997 serta secara alamiah wacana akuntansi membelah menjadi dua bagian yaitu akuntansi syariah filosofis-teoritis dan akuntansi syariah praktis. Pada tingkatan filosofis-teoritis ini wacana difokuskan pada metodologi bagaimana kita bisa membangun dan mengembangkan akuntansi syariah. Secara umum, wacana pada aspek ini menggunakan pendekatan deduktif-normatif. Pendekatan ini bermula pada konsep yang umum dan abstrak, kemudian diturunkan pada tingkat yang lebih konkret dan prag-matis. Wacana ini mulai dari penetapan tujuan akuntansi, kemudian ke teori, dan akhirnya ke teknik akuntansi.
Tujuan akuntansi disajikan sangat bervariasi. Triyuwono (1995; 1996a; 1997; 2000a), misalnya, dengan menggunakan teologi pembebasan tauhidnya menetapkan tujuan Akuntansi Syariah sebagai instrumen untuk membebaskan manusia dari ikatan jaringan kuasa kapitalisme atau jaringan kuasa lainnya yang semu, dan kemudian diikatkan pada jaringan kuasa Ilahi. Dengan informasi yang dihasilkan oleh Akuntansi Syariah ini akan tercipta realitas tauhid, yaitu realitas yang sarat dengan jaring kuasa tauhid yang mendorong manusia pada kesadaran tauhid.
Sedangkan menurut Harahap (1997:120) tujuan dari Akuntansi Syariah adalah mengungkapkan kebenaran, kepastian, keterbukaan, keadilan, dan akuntabilitas dari transaksi-transaksi yang dilakukan oleh perusahaan, Jika dibandingkan dengan Triyuwono (1995; 1996a; 1997; 2000a), pendapal Harahap ini tampak lebih konkret, meskipun masih memerlukan proses penerjemahan pada tingkat praktik. Sementara Gambling dan Karim (1991) berorientasi pada tujuan pengungkapan zakat yang harus dibayarkan oleh perusahaan. Orientasi ini membawa konsekuensi pada perombakan bentuk akuntansi.
Senada dengan yang diungkapkan oleh Gambling dan Karim (1991), Triyuwono (1995; 1996a; 1997; 2000a) juga menganggap penting orientasi zakat sebagai tujuan yang lebih konkret dari Akuntansi Syariah. Bahkan Triyuwono (1995; 1996a; 1997; 2000a) secara tegas mengatakan bahwa budaya perusahaan (.corporate culture) dapat diciptakan dengan menggunakan metafora zakat (.zakat metaphorised organisational reality). Perusahaan dengan menggunakan metafora zakat ini, menurut Triyuwono (1995; 1996a; 1997; 2000a), merupakan instrumen untuk menciptakan realitas tauhid. Disini, Triyuwono (1995; 1996a; 1997; 2000a) berargumentasi bahwa ketika budaya perusahaan telah diciptakan dengan dasar etika syariah, maka akuntansi yang digunakan oleh perusahaan untuk merefleksikan realitas perusahaan harus dibangun dengan nilai etika yang sama. Ini jelas menunjukkan letal relevansi diperlukannya Akuntansi Syariah.
Penentuan tujuan Akuntansi Syariah sangat penting bagi pendekatan ini, karena dari tujuan ini kemudian diturunkan konsep-konsep yang lebih konkret dan praktis. Pada tingkat teori, Baydoun dan Willett (1994) telat memberikan kontribusi yang sangat bagus. Mereka memberikan pemikiran pada aspek bentuk laporan keuangan dengan menggunakan pendekatan nilai-tambah (added-value approach). Meskipun pemikiran mereka berada dalam perspektif Islam, bentuk laporan keuangan yang mereka usulkan berbeda dengan yang diungkapkan oleh Triyuwono (1995; 1996a; 1997;2000a) dan Gamling dan Karim (1991). Artinya, Baydoun dan Willett (1994) tidak berorientasi pada zakat, tetapi berorientasi pada pendistribusian nilai tambah (value-added distribution) yang lebih merata kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders').
Di sisi lain, akuntansi syariah praktis adalah akuntansi (syariah) yang sudah dipraktikkan dalam dunia nyata. Di Indonesia dan dunia internasional, Akuntansi Syariah hanya dipraktikkan di lembaga keuangan syariah, yaitu: bank syariah. Di Indonesia, barangkali hanya karya Widodo dkk. (1999) yang bisa kita anggap sebagai karya konkret dan praktis tentang Akuntansi Syariah. Widodo dkk. (1999) secara khusus menulis dan merumuskan konsep-konsep teknis akuntansi untuk Baitu! Mal wa Tamwil (BMT). Karya ini sangat bagus, karena penyajiannya sangat konkret dan lang­sung bisa dipraktikkan. Karya ini adalah karya yang hanya satu-satunya memberikan pedoman untuk praktik akuntansi yang dilakukan oleh BMT.
Kemudian, pada tahun 2003 diberlakukan standar akuntansi yang dikenal dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 59 (PSAK No. 59). Standar ini adalah Standar Akuntansi Keuangan untuk Perbankan Syariah. PSAK No. 59 dibuat dengan merujuk pada Accounting and Auditing Standards/or Islamic Financial Institutions yang dibuat oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) pada tahun 1998. Langkah ini sangat positif, karena sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan teknis dari bank-bank syariah yang jumlahnya semakinmeningkat akhir-akhir ini.
Namun demikian, akuntansi syariah jenis ini hanya terbatas pada akuntansi yang dibutuhkan oleh lembaga-lembaga keuangan Islam, yang pada dasarnya bentuk akuntansi untuk lembaga keuangan ini "sama" dengan akuntansi modern. Ini tentu berbeda dengan kajian pada tingkat lilosofis-teoretis yang mencoba mencari bentuk "khas" Akuntansi Syariah untuk perusahaan (tidak terbatas pada bank syariah). Dengan kata lain, wacana akuntansi syariah filosofis-teoretis perlu diturunkan dalam bentuk yang konkret sehingga bisa dipraktikkan dalam dunia nyata.
Terlepas dari wacana akuntansi syariah secara filosofis-teoritis serta perkembangan akuntansi syariah praktis, perlu kiranya kita mencermati bersama hasil usaha kerja keras Komite Akuntansi Syariah (KAS) yang baru 1 tahun berdiri sudah berupaya memberikan sumbangan dengan membangun konsep Prinsip Akuntansi Syariah yang Berlaku Umum (house of Generally Accepted Syariah Accounting Principles), Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah, serta enam konsep ED PSAK Syariah.   
Tulisan ini berusaha mengkrtisi serta memberikan masukan untuk perbaikan dan kemajuan perkembangan akuntansi syariah di Indonesia guna mendukung perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah agar selalu berjalan “on the right track”.
Tulisan ini akan dimulai dengan mengkaji kandungan isi Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah dan selanjutnya secara umum mengulas ED PSAK 101 sampai dengan ED PSAK 106.

ED Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS)
            Secara garis besar, KDPPLKS merupakan penyempurnaan dari ketentuan yang diatur dalam KDPPLK Bank Syariah. Semangat yang dibangun dari KDPPLKS ini adalah berupaya melakukan generalisasi transaksi-transaksi syariah yang dilakukan entitas-entitas syariah maupun konvensional seperti yang termuat unsur-unsur laporan keuangan pada paragraf 8:

Kerangka dasar ini berlaku untuk semua jenis transaksi syariah yang dilaporkan dalam laporan keuangan entitas syariah maupun entitas konvensional, baik sektor publik maupun sektor swasta. Entitas syariah pelapor adalah entitas syariah yang laporan keuangannya digunakan oleh pemakai yang mengandalkan laporan keuangan tersebut sebagai sumber utama informasi keuangan entitas syariah.
           
            Generalisasi dilakukan dengan jalan mengeliminasi istilah bank syariah yang selama ini melekat di dalam KDPPLK Bank Syariah dan PSAK 59 menjadi entitas syariah. Dari paragraf 8 ini tampak bahwa penyusun KDPPLKS menginginkan semua transaksi syariah yang dilakukan oleh entitas yang bersifat komersial maupun non komersial baik yang berbasis syariah maupun tidak bisa menggunakan kerangka ini sebagai acuan pencatatan transaksi-transaksi syariahnya.
            Namun demikian, KDPPLKS ini belum bisa melepaskan diri dari KDPPLK Bank Syariah yang telah disusun sebelumnya. KDPPLKS ini masih cenderung lebih sesuai memang diterapkan di industri perbankan syariah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan yang termuat di dalam paragraph 7:

Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap meliputi laporan keuangan atas kegiatan komersial dan atau sosial. Laporan keuangan kegiatan komersial meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara seperti, misalnya, sebagai laporan arus kas, atau laporan perubahan ekuitas), laporan perubahan dana investasi terikat, catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Laporan keuangan atas kegiatan sosial meliputi laporan sumber dan penggunaan dana zakat, dan laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan. Di samping itu juga termasuk, skedul dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya, informasi keuangan segmen industri dan geografis.

            Paragraf 7 ini mencerminkan implementasi fungsi dari bank syariah yang menganut ruh Baitul Maal wa Tamwil (BMT), dimana baitul maal merupakan implementasi fungsi sosial dari perbankan syariah sedangkan baitut tamwil merupakan implementasi fungsi komersial dari bank syariah. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan penyataan pada paragraf 68:
Sesuai karakteristik maka laporan keuangan entitas syariah antara lain meliputi:
(a) komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan komersial:
(i)     laporan posisi keuangan;
(ii)    laporan laba rugi;
(iii)   laporan arus kas; dan
(iv)   laporan perubahan ekuitas.
(b) komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan sosial:
(i)     laporan sumber dan penggunaan dana zakat; dan
(ii)    laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan.
(iii)   komponen laporan keuangan lainnya yang mencerminkan kegiatan dan tanggung jawab khusus   entitas syariah tersebut.

Kalau memang penyusun KDPPLKS memiliki semangat untuk melakukan generalisasi secara menyeluruh maka seharusnya perlu adanya penjelasan tentang lembaga-lembaga keuangan syariah apa saja yang sesuai dengan konsep KDPPLKS ini. Penulis berpendapat bahwa KDPPLKS ini lebih sesuai untuk entitas syariah yang bersifat komersial lebih khusus lagi perbankan syariah. Penulis belum melakukan penelusuran tentang model laporan keuangan entitas syariah lain yang bersifat komersial seperti asuransi syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah dll. 
Melihat komponen laporan keuangan entitas syariah yang disajikan rasanya kurang sesuai dengan kondisi entitas syariah yang bersifat non komersial seperti Badan Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat, dan Badan Wakaf. Baru-baru ini misalnya, Forum Zakat (FOZ) sebagai forum koordinasi antara BAZ dan LAZ di seluruh Indonesia juga mengeluarkan Pedoman Akuntansi Organisasi Pengelola Zakat (PA-OPZ) Tahun 2005. OPZ jelas merupakan organisasi nirlaba yang sampai saat ini juga belum memiliki standar akuntansi keuangan. Jika ingin merujuk pada KDPPLKS ini, ada beberapa hal yang kurang sesuai antara lain:
1.       Komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan komersial antara lain: laporan posisi keuangan, laporan rugi laba, laporan perubahan ekuitas, maupun laporan arus kas. Padahal OPZ jelas tidak memiliki kegiatan komersial sehingga pernyataan bahwa laporan posisi keuangan merupakan cerminan dari kegiatan komersial tentunya tidak bisa diterapkan dalam OPZ.
2.       Menurut PA-OPZ Tahun 2005, unsur-unsur laporan keuangan OPZ terdiri dari: neraca, laporan sumber dan penggunaan dana, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Dari unsur-unsur laporan keuangan ini, hanya laporan sumber dan penggunaan dana zakat saja yang bisa diakomodasi oleh organisasi nirlaba seperti OPZ ini. 
3.       Asumsi dasar yang dipakai di dalam KDPPLKS adalah Dasar Akrual seperti yang termuat pada paragraf 41 dan paragraf 42.
 
      41. Untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar) dan diungkapkan dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan. Laporan keuangan yang disusun atas dasar akrual memberikan informasi kepada pemakai tidak hanya transaksi masa lalu yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas tetapi juga kewajiban pembayaran kas di masa depan serta sumber daya yang merepresentasikan kas yang akan diterima di masa depan. Oleh karena itu, laporan keuangan menyediakan jenis informasi transaksi masa lalu dan peristiwa lainnya yang paling berguna bagi pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.

42. Penghitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha menggunakan dasar kas. Dalam hal prinsip pembagian hasil usaha berdasarkan bagi hasil, pendapatan atau hasil yang dimaksud adalah keuntungan bruto (gross profit).

Dasar Akrual pada praktik akuntansi OPZ masih bisa diterima karena dalam kenyataannya (accrual basis) telah menjadi asumsi dasar yang diterima secara internasional. Namun demikian, bagi OPZ asumsi pada paragraf 42 tentunya tidak sesuai diterapkan karena paragraf 42 tersebut jelas merupakan konsep yang diterapkan dalam praktik perbankan syariah. Bagi OPZ, dasar kas digunakan pada saat OPZ akan memberikan hak amil sebagai bagian dari bentuk hak yang diterima amil dengan asumsi bahwa amil tersebut memang berkerja di OPZ sebagai mata pencahariannya sehingga apa yang diberikan kepada amil merupakan hak OPZ yang memang benar-benar sudah diterima. 


ED PSAK 101 (Revisi 2006)
Penyajian Laporan Keuangan Syariah             
           
ED PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah ini memiliki motivasi untuk mengatur tujuan umum laporan keuangan untuk entitas syariah seperti yang termuat pada paragraf 1.

Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur penyajian dan pengungkapan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statements) untuk entitas syariah yang selanjutnya disebut "laporan keuangan", agar dapat dibandingkan baik dengan laporan keuangan entitas syariah periode sebelumnya maupun dengan laporan keuangan entitas syariah lain. Pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi dan peristiwa tertentu diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) terkait.

            Berkaitan dengan paragraf 1, ruang lingkup penerapan PSAK Syariah ini juga termuat pada paragraf 2 dan 3 yang menyatakan:

2. Pernyataan ini diterapkan dalam penyajian lapor­an keuangan entitas syariah untuk tujuan umum yang disusun dan disajikan sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.

3. Entitas syariah yang dimaksud di PSAK ini adalah entitas yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang dinyatakan dalam anggaran dasarnya.

            Berbeda dengan PSAK 59 yang secara konkret menjelaskan ruang lingkup penerapan PSAK 59 secara tegas yaitu diterapkan pada Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Kedua paragraf di atas telah berhasil melakukan generalisasi laporan keuangan syariah yang diterapkan pada entitas yang melaksanakan kegiatan usaha menurut prinsip syariah sesuai dengan yang dinyatakan dalam anggaran dasarnya. Sehingga memang tidak semua entitas baik syariah maupun konvensional perlu menyatakan dengan jelas dalam anggaran dasarnya tentang transaksi-transaksi apa yang dilakukan dengan dasar akad-akad syariah sehingga perlakuan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan perlu disesuaikan dengan PSAK Syariah ini.
            Mencermati lebih lanjut, PSAK 101 ini memuat adanya solusi bagi entitas nirlaba, seperti telah diutarakan pada bagian KDPPLKS, memang PSAK 101 lebih sesuai bagi entitas syariah komersial. Hal ini ditegaskan pada paragraf 6:

6. Pemyataan ini menggunakan terminologi yang cocok bagi entitas syariah yang berorientasi profit, termasuk entitas bisnis sektor publik. Entitas nirlaba syariah, entitas sektor publik, pemerintah dan entitas syariah lainnya yang akan menerapkan standar ini mungkin perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap deskripsi beberapa pos yang terdapat dalam laporan keuangan dan istilah laporan keuangan itu sendiri serta dapatpula menyajikan komponen-komponen tambahan dalam laporan keuangannya.

            Seharusnya, PSAK syariah ini juga mengatur secara konkret ruang lingkup berlakunya PSAK Syariah ini agar pemakai laporan keuangan serta entitas syariah yang dimaksud tidak mengalami kebingungan. PSAK Syariah ini seolah-olah sangat umum sekali penerapannya sehingga dikhawatirkan entitas syariah kesulitan menerepkan ketentuan PSAK Syariah ini. 
Investasi Terikat dalam PSAK 59
Dalam PSAK 59 terdapat laporan perubahan investasi terikat dengan definisi investasi terikat merupakan investasi yang bersumber dari pemilik dana investasi terikat dan sejenisnya yang dikelola oleh bank sebagai manajer investasi berdasarkan mudharabah muqayyadah atau sebagai agen investasi. Investasi terikat bukan merupakan aktiva maupun kewajiban bank karena bank tidak mempunyai hak untuk menggunakan atau mengeluarkan investasi tersebut serta bank tidak memiliki kewajiban mengembalikan atau menanggung risiko investasi.

169. Keuntungan atau kerugian investasi terikat sebelum dikurangi bagian keuntungan manajer investasi adalah jumlah kenaikan atau penurunan bersih nilai investasi terikat selain kenaikan yang berasal dari penyetoran atau penurunan yang berasal dari penarikan.

170. Dalam hal bank bertindak sebagai manajer investasi dengan akad mudharabah muqayyadah, bank mendapatkan keuntungan sebesar nisbah atas keuntungan investasi. Jika teriadi kerugian, maka banktidak memperoleh imbalan apapun. Apabila dalam investasi tersebut terdapat dana bank maka bank menanggung kerugian sebesar bagian dana yang diikutsertakan.

171. Dalam hal bank bertindak sebagai agen investasi, imbalan yang diterima adalah sebesar jumlah yang disepakati tanpa memperhatikan hasil investasi.

            PSAK 59 meminta bank syariah untuk menyusun laporan perubahan dana untuk investasi terikat guna mengakomodasi keinginan shahibul maal agar dana investasinya disalurkan sesuai keinginannya. Hal ini tentunya membawa konsekuensi seperti yang tercantum dalam paragraf 169 s/d 171. Intinya, bank syariah hanya sebagai agen perantara dan risiko investasi menjadi tanggung jawab shahibul maal sepanjang tidak terbukti adanya wanprestasi dari mudharib.

Dana Syirkah Temporer
            Pada KDPPLKS sudah tidak nampak lagi adanya pemisahan antara investasi terikat dan investasi yang tidak terikat. KDPPLKS menempatkan invetasi terikat (mudharabah muqayyadah) dijadikan satu dalam rekening dana syirkah temporer seperti yang tercantum pada paragraf 87 berikut:

87. Dana syirkah temporer adalah dana yang diterima oleh entitas syariah dimana entitas syariah mempunyai hak untuk mengelola dan menginvestasikan dana, baik sesuai dengan kebijkan entitas syariah atau kebijakan pembatasan dari pemilik dana, dengan keuntungan dibagikan sesuai dengan kesepakatan; sedangkan dalam hal dana syirkah temporer berkurang disebabkan kerugian normal yang bukan akibat dari unsur kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan, entitas syariah tidak berkewajiban mengembalikan atau menutup kerugian atau kekurangan dana tersebut. Contoh dari dana syirkah temporer adalah penerimaan dana dari investasi mudharabah mutlaqah, mudharabah muqayyadah, musyarakah, dan akun lain yang sejenis.

88. Dana syirkah temporer tidak dapat digolongkan sebagai kewajiban. Hal ini karena entitas syariah tidak berkewajiban, ketika mengalami kerugian, untuk mengembalikan jumlah dan awal dari pemilik dana kecuali akibat kelalaian atau wanprestasi entitas syariah. Di sisi lain, dana syirkah temporer tidak dapat digolongkan sebagai ekuitas karena mempunyai waktu jatuh tempo dan pemilik dana tidak mempunyai hak kepemilikan yang sama dengan pemegang saham, seperti hak voting dan hak atas realisasi keuntungan yang berasal dari aset lancar dan aset non investasi (current and other non investment accounts)

Perubahan dari investasi terikat menjadi syirkah temporer merupakan perubahan yang cukup signifikan karena di dalam konsep PSAK 59, investasi terikat dalam PSAK 59 tersebut hanya mengakomodasi adanya investasi dengan model mudharabah muqayyadah, namun dengan adanya syirkah temporer, maka investasi mudharabah mutlaqah yang awalnya diakui sebagai investasi tidak terikat sekarang beralih menjadi syirkah temporer dengan asumsi bahwa penghimpunan dana mudharabah lebih menekankan pada investasi sehingga pemilik dana (shahibul maal) memiliki risiko untung atau rugi.      
Namun demikian, seharusnya dalam penjelasan syirkah temporer perlu ditambahkan dengan informasi tentang ketentuan perlakuan mudharabah muqayyadah seperti yang ada di dalam PSAK 59 khususnya paragraf 170 berkaitan dengan pola bagi hasil dan pemberian imbalan bagi bank selaku agen sehingga membedakan antara perlakuan mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah karena kedua akad tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda. Kalau ditinjau dari sisi efisiensi, perubahan ini membawa dampak yang baik karena entitas syariah seperti bank syariah tidak perlu lagi menyusun laporan perubahan dana investasi terikat. 

Syirkah Temporer menggabungkan semua dana (Pooling of Fund)
            Agak berbeda dengan konsep PSAK 59 khususnya berkaitan dengan perlakuan terhadap investasi terikat, dimana pemilik dana diperkenankan meminta bank syariah untuk memisahkan dananya dengan jenis dana yang lain (tidak mencampurkan). Dalam konsep syirkah temporer terdapat ketentuan seperti yang tercantum pada paragraf 89 dan 90 sebagai berikut:

89. Hubungan antara entitas syariah dan pemilik dana syirkah temporer merupakan hubungan kemitraan berdasarkan akad mudharabah muthlaqah, mudharabah muqayyadah atau musyarakah. Entitas syariah mempunyai hak untuk mengelola dan menginvestasikan dana yang diterima dengan atau tanpa batasan seperti mengenai tempat, cara, atau obyek investasi.

90. Dana syirkah temporer merupakan salah satu unsur neraca dimana hal tersebut sesuai dengan prinsip syariah yang memberikan hak kepada entitas syariah untuk mengelola dan menginvestasikan dana, termasuk untuk mencampur dana dimaksud dengan dana lainnya.

            Konsep dana syirkah temporer ini dibuat lebih fleksibel pada paragraf 89 namun kalau dihubungkan dengan paragraf 90 nampak kurang konsisten karena entitas syariah memiliki kewenangan yang luas termasuk mencampurkan dana dengan jenis dana yang lain.
            Seharusnya, ada penjelasan lebih lanjut tentang perlakuan untuk masing-masing dana syirkah temporer yang dikelola seperti misalnya untuk dana mudharabah muqayyadah tentunya diatur perlakuan khusus mengingat investasi ini merupakan investasi khusus dimana pemilik dana punya kewenangan lebih untuk mengatur tempat, cara, atau obyek investasi.


Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat
Pada PSAK 59 masih mencantumkan pengelolaan dana Zakat, Infaq, dan Shodaqoh, namun dalam ED PSAK 101 hanya mengakomodasi pengelolaan dana zakat saja baik yang berasal dari luar entitas syariah maupun dari dalam entitas syariah. Dana infaq dan shodaqoh kemudian dialihkan dalam Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan. Sebelumnya PSAK 59 mencantumkan Dana Kebajikan ini sebagai Dana Qordhul Hasan. Perubahan ini bisa dipahami sebagai upaya agar istilah Dana Kebajikan lebih bisa diterima.

ED PSAK 102 s/d 106
Pada prinsipnya akad-akad transaksi syariah yang terdapat pada ED PSAK 102 (Akuntansi Murabahah), ED PSAK 103 (Akuntansi Salam), ED PSAK 104 (Akuntansi Istishna’), ED PSAK 105 (Akuntansi Mudharabah), dan ED PSAK 106 (Akuntansi Musyarakah) tidak mengandung perbedaan yang cukup signifikan secara substansi. 
Perbedaannya hanya terletak pada ruang lingkup pemberlakuan transaksi-transaksi syariah yang dimaksud lebih umum, tidak terbatas praktik di perbankan syariah saja (BUS, UUS, dan BPRS). Hal ini dimaksudkan agar LKS yang telah benyak berkembang bisa mengadopsi ketentuan yang ada dalam PSAK Syariah ini dalam proses pencatatan akuntansinya.

PENUTUP
            Secara garis besar ED PSAK Syariah ini telah memiliki semangat untuk melakukan generalisasi praktik transaksi syariah yang berkembang di Indonesia, namun demikian perlu kiranya Komite Akuntansi Syariah (KAS) melakukan upaya sosialisasi dan uji publik terhadap ketentuan yang ada di dalam PSAK Syariah ini khususnya bagi entitas-entitas syariah atau konvensional di luar perbankan syariah untuk mengetahui tingkat kesesuaian dengan praktik-praktik yang ada. Diharapkan PSAK Syariah ini tidak sekedar ”Ganti Baju”, namun lebih dari itu diharapkan PSAK Syariah ini mampu menjadi payung praktik akuntansi syariah di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

1.  Harahap, Sofyan Safri. (2005). Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam. Jakarta: Pustaka Quantum.
2.  Harahap, Sofyan & Wiroso. ( 2005). Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE Universitas Tri Sakti. 
3.  IAI. (2002). Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah.
Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.
4.  IAI. (2002). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 59 Akuntansi Perbankan
Syariah. Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.
5.  IAI. (2006). Exposure Draft KDPPLKS dan PSAK Syariah. Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.
6.  Triyuwono, Iwan. (2006). Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan Teori. Jakarta:
Rajawali Press.
7.  Widodo, Hertanto, dkk. (2001). Akuntansi dan Manajemen Keuangan untuk Organisasi
Pengelola Zakat. Jakarta: Institut Manajemen Zakat (IMZ)
8.       Tim Penyusun PA-OPZ. (2005). Pedoman Akuntansi Organisasi Pengelola Zakat.
Jakarta: Forum Zakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Calendar