PENDAHULUAN
Pengakuan merupakan suatu pencatatan jumlah rupiah secara
resmi ke dalam sistem akuntansi sehingga jumlah tersebut terefleksi dalam
laporan keuangan. Pengakuan pendapatan tidak boleh menyimpang dari landasan
koseptual. Oleh karena itu, secara konseptual
pendapatan hanya dapat diakui jika memenuhi kualitas keterukuran (measurability)
dan keterandalan (realibility). Kualitas tersebut harus dioperasionalkan
dalam bentuk kriteria pengakuan pendapatan (recognition criteria).
Pendapatan yang diukur dengan jumlah penghargaaan sepakatan produk yang terjual baru akan menjadi pendapatan
yang sepenuhnya setelah produk selesai diproduksi dan penjualan benar-benar
terjadi. Dengan kata lain, pendapatan belum dapat terealisasi sebelum
terjadinya penjualan (transfer produk) yang nyata ke pihak lain. Ada dua konsep penting
dalam pembentukan pendapatan yaitu pembentukan pendapatan (earning of
revenue) dan realisasi pendapatan (realization of revenue). Dalam
masalah teoritisnya terdapat berbagai kaidah pengakuan (recognition role)
diantaranya adalah Pada saat kontrak penjualan, Selama proses produksi
bertahap, saat produksi selesai, pada saat penjualan dan saat pengumpulan kas.
Selain itu dalam pengakuan pendapatan sebagai fungsi kegiatan produksi di kenal
dengan istilah akresi, apresiasi, dan penghematan kos.
AKRESI
Akresi
adalah pertambahan nilai akibat pertumbuhan fisis atau proses alamiah lainnya. Misalnya
saja dalam perusahaan penghasil papan kayu yang mempunyai sendiri lahan atau
hutan kayu. Banyaknya lembar papan yang dapat diolah dan dijual akan semakin
bertambah karena hutan kayu tumbuh bersamaan dengan berjalannya waktu yang
mengakibatkan naiknya nilai yang dapat direalisasi dari lahan kayu tersebut.
Dalam kondisi pertumbuhan tersebut, jelas bahwa aktiva telah bertambah dan
banyaknya tambahan fisik tersebut dapat ditentukan secara objektif. Akan tetapi
untuk merealisasi pertambahan nilai tersebut, proses produksi masih diperlukan
dan masih harus diikuti dengan perubahan bentuk aktiva menjadi aktiva lancar
baru (kas atau piutang). Katakanlah bahwa produk akhir perusahaan bukan papan
kayu melainkan balok kayu, maka jelas akan tidak tepat untuk memperlakukan
pertambahan nilai tersebut sebagai pendapatan karena tidak ada aliran sumber
ekonomi baru yang masuk ke unit usaha.
Dari
segi pelaporan laba periodik, tidak diakuinya akresi sebagai pendapatan bukan
berarti meniadakan arti penting akresi, lebih-lebih untuk kepentingan analisis
internal. Bila harus dilaporkan, pelaporan harus sedemikian sehingga tidak memberi
kesan bahwa akresi telah terealisasi. Jumlah rupiah kreditnya harus dilaporkan
terpisah dari laba yang telah benar-benar terealisasi. Dari segi administrasi
dan pengelolaan, pencatatan akresi untuk kepentingan analisis tertentu mungkin
sekali sangat bermanfaat tetapi bukan untuk tujuan pelaporan keuangan.
APRESIASI
Mirip
dengan akresi adalah apa yang disebut apresiasi yaitu selisih “nilai pasar
wajar” aset perusahaan dengan kos (atau nilai buku aset terdepresiasi). Berbeda
dengan akresi, apresiasi berlaku untuk semua jenis aset tidak terbatas pada
aset yang dikategori sebagai produk. Juga, kenaikan aset atau selisih tersebut
tidak berkaitan langsung dengan operasi perusahaan. Masalah teoretisnya sama
yaitu apakah apresiasi merupakan pendapatan yang dapat diakui.
Dibanding
akresi, apresiasi lebih kurang memenuhi pengertian pendapatan karena tidak
berkaitan langsung dengan operasi perusahaan tetapi lebih berkaitan dengan
kondisi pasar. Dapat dikatakan, apresiasi bukan merupakan suatu hasil dari
proses pembentukan pendapatan karena tidak ada upaya yang sengaja dilakukan
untuk menaikkan nilai aset.
1.
Apresiasi Bukan
Merupakan Transaksi.
Memang tidak disangkal bahwa kenaikan nilai aset
mempunyai pengaruh penting terhadap nilai ekonomik perusahaan. Akan tetapi, kenaikan
nilai pasar semata-mata dengan cara apapun menghitungnya bukanlah merupakan
pendapatan yang nyata. Apresiasi tidak menunjukkan kemajuan kegiatan operasi
perusahaan. Apresiasi bukanlah hasil suatu transaksi atau kegiatan produksi.
Apresiasi juga tidak menambah sumber ekonomik yang dapat digunakan untuk
mendanai operasi. Jadi, apresiasi mempunyai karakteristik yang lemah untuk
dapat dikatakan sebagai pendapatan.
2.
Apresiasi Tidak
Objektif
Penentuan besarnya nilai pasar, khususnya untuk
aset-aset yang kompleks atau khusus, mempunyai validitas yang meragukan. Untuk
barang-barang atau surat
berharga yang mudah diperjualbalikan, jumlah rupiah apresiasi dapat ditentukan
secara cukup meyakinkan dengan mengacu kekutipan kurs pasar. Akan tetapi, untuk
aset berupa tanah atau lainnya dalam kondisi tertentu, jumlah rupiah apresiasi
tersebut semata-mata hanyalah pendapat. Kos
reproduksi dan depresiasinya tetap merupakan taksiran yang meragukan
keterandalannya. Lebih-lebih kalau suatu aset sudah tua modelnya dan tidak akan
diganti dengan model yang sama.
Dalam keadaan yang sangat khusus, apresiasi dapat
merupakan alat atau cara untuk memperoleh tambahan aset likuid. Dengan demikian
apresiasi seolah-olah dapat diubah menjadi dana likuid melalui proses
peminjaman atau utang. Proses tidak dapat disamakan dengan realisasi
pendapatan. Kenaikan nilai aset melalui penerbitan obligasi atau kontrak utang
lainnya tidak sama dengan penjualan atau pertukaran aset yang sebelumnya
dimiliki perusahaan.
Argumen diatas sering disanggah atas dasar kenyataan
bahwa laba perusahaan sebagai hasil penandingan penjualan dan biaya yang
dibebankan tidak dapat dianalisis sepenuhnya tanpa memperhatikan perubahan
harga. Oleh karena itu, apresiasi perlu dilaporkan karena mempengaruhi
keterandalan laba sebagai pengukur kinerja perusahaan maupun manajemen.
Apresiasi seharusnya dapat dilaporkan sebagai laba takterealisasi. Hal ini
dapat diterima kalau laba yang berasal dari penjualan aset yang diapresiasi
tersebut tetap dianggap sebagai laba yang terealisasi (bukan sebagai untung
atau gain). Di lain pihak, selama apresiasi hanyalah mencerminkan perubahan
dalam tingkat harga umum maka selama itu pula laba yang sebenarnya belum
terjadi.
Apresiasi surat-surat berharga secara tidak langsung
diakui sebagai laba yang terealisasi melalui penggunaan metoda harga pasar
untuk penilaian surat
berharga pada tanggal neraca. Penyimpangan dari standar kos ini didukung dengan
alasan bahwa posisi keuangan (likuiditas) akan menunjukkan keadaan yang lebih
tepat kalau memuat nilai yang berlaku pada tanggal neraca daripada kos. Hal ini
lebih sesuai dengan sifat aset tersebut yang masuk dalam kategori lancar.
Cara seperti ini sebenarnya dimaksudkan untuk memberi informasi kepada pembaca
laporan jumlah yang dapat direalisasi dari penjualan surat berharga tersebut. Untuk itu,
sebenarnya lebih andal untuk tetap mencatat surat berharga tersebut pada kosnya dengan
menyertakan informasi harga pasar. Alasannya, kurs harga pasar sekuritas sangat
berfluktuasi dari hari ke hari sehingga pada saat dijual harga tidak akan sama
dengan harga pada tanggal neraca. Kalaupun perusahaan bergerak dalam jual-beli
sekuritas, apresiasi lebih tepat diakui sebagai laba takterealisasi lebih-lebih
untuk surat
berharga yang tidak mudah dijualbelikan.
PENGHEMATAN KOS
Dua kos yang bersangkutan dengan proses pembelian yang
sering dianggap sebagai pendapatan yaitu potongan pembelian dan pembelian
dengan harga murah atau pembelian beruntung. Potongan pembelian tidak memenuhi
definisi pendapatan karena berkaitan dengan proses pembelian yaitu proses
pemerolehan aset pada tingkat awal (pengukuran). Oleh karena itu, mengakui
pendapatan pada tingkat ini sama saja dengan mengantisipasi pendapatan. Hal ini
merupakan contoh ekstrem pengakuan pendapatan yang belum terealisasi. Kalau
potongan pembelian diakui sebagai pendapatan yang terealisasi maka akan terjadi
hal yang janggal yaitu bahwa perusahaan yang baru saja berdiri dan belum
memproduksi dan menjual produk sudah memperoleh pendapatan melalui proses
pembelian bahan baku
dengan pemanfaatkan potongan yang ditawarkan.
Kalau potongan pembelian dianggap sebagai pendapatan
maka dapat terjadi suatu perusahaan akan memperoleh pendapatan melalui proses
pembangunan dan pembelian fasilitas fisis lantaran perusahaan memilih untuk
membayar harga tunainya pada saat pembelian daripada membayar harga brutonya
beberapa waktu kemudian. Hal ini merupakan contoh kejanggalan yang lain.
Prinsip yang masuk akal adalah semua jenis potongan
pembelian diperlakukan sebagai pengurang (offsets) terhadap kos nominal
pembelian. Manajemen yang bijaksana akan menentukan kebijakan untuk tidak
melewatkan potongan. Setiap tambahan pembayaran karena ketidakmampuan membayar
dalam periode potongan (discount period) merupakan rugi. Sementara itu, potongan
yang diperoleh karena membayar dalam periode potongan adalah pengurang atau
penyesuai kos (cost adjustments) bukan untung. Prinsip ini mendapat dukungan
secara empiris dengan praktik pencatatan kos pembelian dengan jumlah netonya
(net invoice method).
Hal yang hampir sama dengan potongan pembelian adalah
pembelian beruntung. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimanakah perlakuan yang
tepat bila perusahaan memperoleh fasilitas fisis atau jasa dengan harga yang
sangat rendah dibandingkan dengan harga pasar rata-rata dan dapatkah perusahaan
memperoleh laba hanya karena membeli dengan harga yang sangat menguntungkan
tersebut.
Sekali lagi, penghematan kos sama sekali bukanlah
pendapatan. Kalau pembelian dilakukan dengan cara yang bijaksana, yang terjadi
hanyalah bahwa kos akan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan pembelian
biasa. Memang benar bahwa efisiensi dan keberuntungan dalam pembelian akan
mempunyai pengaruh terhadap laba yang akhirnya diperoleh. Akan tetapi,
diperolehnya laba tersebut masih menunggu realisasi penjualan.
Mungkin saja pembeli beranggapan bahwa dia telah membeli
barang dengan harga yang istimewa padahal sebenarnya harga tersebut wajar
sehingga anggapan pembeli tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk mengakui
pendapatan. Satu-satunya anggapan yang masuk akal dalam hal ini adalah bahwa
pembeli dan penjual mempunyai informasi yang sama, sama-sama berkeinginan untuk
melakukan jual-beli, dan sama-sama berkedudukan bebas untuk melakukan
transaksi. Asumsi ini dalam beberapa hal tidak selalu sesuai dengan kondisis
yang senyatanya. Akan tetapi, asumsi ini lebih bermanfaat daripada asumsi yang
memungkinkan penjual atau pembeli menentukan sendiri secara subjektif penilaian
yang tidak didasarkan atas apa yang telah disepakati bersama dalam perjanjian jual-beli
bersangkutan. Bahwa pembeli merasa untung tidak dapat dijadikan pedoman yang
objektif untuk mengakui pendapatan.
KESIMPULAN
Akresiasi
merupakan pendapatan karena merefleksikan kenaikan aset dan berkaitan dengan
operasi utama perusahaan. Akan tetapi, jumlah kenaikan tesebut tidak dapat
diakui sebagai pendapatan karena criteria realisasi belum terpenuhi.
Seperti akresi, apresiasi dapat
dipandangsebagai pendapatan secara defisional khususnya merupakan aset berupa
barang atau barang dagangan. Akan tetapi tidak dapat diakui sebagai pendapatan
karena belum terealisasi dan juga bukan hasil suatu proses pembentukan
pendapatan. Dengan kata lain, apresiasi tidak dapat diakui karena bukan merupakan
transaksi dan pengukuran bersifat sangat subjektif.
Kaidah pengakuan pendapatan masih
terlalu umum untuk diaplikasikan pada tingkat perusahaan. Kaidah tersebut harus
dijabarkan dalam bentuk kebijakan akuntansi atau prosedur akuntansi untuk
menentukan kegiatan internal yang dapat dijadikan tanda atau pemicu pengakuan
pendapatan.
Untuk penyajian pendapatan dalam
laporan laba rugi, istilah operasi harus diinterpretasikan dalam arti yang
cukup luas sehingga pos yang sebenarnya masuk sebagai bagian dari proses tidak
dipisahkan menjadi pos yang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar