BAB 1
PENDAHULUAN
Studi kasus adalah salah satu metode
penelitian ilmu-ilmu sosial. Selain itu,
ada beberapa metode yang lain seperti eksperimen, survey, historis, dan
analisis informasi dokumenter. Secara umum, studi kasus merupakan startegi yang
lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau
why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol
peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya
terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan
nyata.
A. Studi kasus sebagai strategi
penelitian
Sebagai suatu strategi
penelitian,studi kasus telah digunakan diberbagai lapangan seperti:
- Penelitian kebijakan, ilmu politik, dan administrasi umum;
- Psikologi masyarakat dan sosiologi
- Studi-studi organisasi dan manajemen;
- Penelitian perencanaan tata kota dan regional, seperti studi-studi program ,lingkungan, atau agen-agen umum, serta ;
- Pengerjaan berbagai disertasi atau tesis dalam ilmu-ilmu sosial.
Sebagai suatu
upaya penelitian, studi kasus dapat memberi nilai tambah pada pengetahuan kita
secara unik tentang fenomena individual, organisasi, sosial dan politik. Pada
semua situasi, kebutuhan akan studi kasus melampaui keinginan untuk memahami
fenomena social yang kompleks. Singkatnya studi kasus memungkinkan peneliti
untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari
peristiwa-peristiwa kehidupan nyata.
B. Studi kasus dan strategi-strategi
penelitian lainya
Pandangan yang lebih cocok diantara
strategi-strategi yang berbeda ini adalah pluralistik. Setiap strategi dapat
digunakan sekaligus untuk 3 tujuan.
–eksploratoris, deskriptif, atau eksplanatoris. Sehingga ada studi–studi
kasus eksploratoris, studi-studi kasus deskriptif, dan studi-studi kasus eksplanatoris
secara tersendiri.
Yang membedakan strategi-strategi
tersebut tentu bukan aspek hierarkinya, melainkan 3 kondisi dibawah ini :
1. Penggunaan masing-masing strategi
Ada 3 kondisi
yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu : a) tipe pertanyaan penelitian
yang diajukan, b) luas control yang dimiliki peneliti atas peristiwa perilaku
yang akan diteliti, c) fokusnya terhadap peristiwa kontemporer sebagai
kebalikan dari peristiwa historis.
Jika
pertanyaan-pertanyaan penelitian berfokus pada pertanyaan “apakah”, maka akan
muncul salh stu dari dua kemungkinan berikut. Pertama, beberapa tipe pertanyaan
“apa” merupakan pertanyaan eksploratoris. Tipe kedua, dari pertanyaan “apa”
pada dasarnya merupakan bentuk inkuiri “berapa banyak”.
Sebagaimana tipe
pertanyaan kedua “apakah”, pertanyaan-pertanyaan “siapakah”, dan “dimanakah”
tampaknya lebih sesuai untuk strategi survey atau analisis rekaman-rekaman
arsip, seperti dalam penelitian ekonomi.
Sebaliknya,
pertanyaan-pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” pada dasarnya lebih
eksplanatoris dan lebih mengarah ke penggunaan strategi-strstegi studi kasus ,
hostoris, dan eksperimen.
Kesimpulannya,
kondisi pertama dan terpenting untuk membedakan berbagai strategi penelitian
ialah identifikasi tipe pertanyaan penelitian yang diajukan sejak awal. Pada
umumnya, pertanyaan “apa” bisa eksploratoris dan bisa lainya. Pertanyaan
“bagaimana dan “mengapa” tampaknya lebih cocok untuk studi kasus, eksperimen
ataupun historis.
Menentukan tipe pertanyaan penelitian
merupakan tahap yang paling penting dalam setiap penelitian, sehingga untuk
tugas ini dituntut adanya kesabaran dan persediaan waktu yang cukup. Kuncinya
adalah memahami bahwa pertanyaan-pertanyan penelitian selalu memiliki
substansi, misalnya mengenai apakah sebenarnya penelitian saya ini? dan bentuk
misalnya apakah saya sedang
mempertanyakan “siapakah”, “apakah”, “dimanakah”, “mengapakah” atau
“bagaimanakah”.
Dengan mengasumsikan bahwa
pertanyaan-pertanyaan “bagaimna”dan “mengapa” harus menjadi fokus penelitian,
perbedaan lebih lanjut antara strategi historis, studi kasus dan eksperimen
adalah kekuasaan kontrol dan akses yang dimiliki peneliti terhadap
peristiwa-peristiwa perilaku yang akan diteliti. Metode historis merupakan
strategi yang lebih dikehendaki bialamana kontrol dan akses sunguh-sungguh
tidak ada.
Studi kasus lebih dikehendaki untuk
melacak peristiwa-peristiwa kontemporer, bial peristiwa yang bersangkutan tidak
dapat dimanupulasi. Karena itu studi kasus mendasarkan diri pada teknik-teknik
yang sama dengan kelaziman yang ada pada strategi historis, tetapi dengan
menambahkan dua sumber bukti yang biasanya tidak termasuk dalam pilihan
sejarawan. Terakhir eksperimen dapat dilakukan bilamana peneliti dapat
memanipulasi perilaku secra lansung, persis, dan sistematis.
Ringkasan
Kita dapat mengenalai beberapa situasi
yang diaman semua strategi penelitian mungkin relevan dan situasi-situasi lain,
diamana dua strategi bisa dipandang sama-sama menarik. Dalam studi kasus,
kelebihan tampak bialamana:
Pertanyaan “bagaimana” atau “mengapa”
akan diarrahkan ke serangkaian peristiwa kontemporer, dimana penelitinya
hanya memiliki peluang sama sekali untuk
melaksanakan kontol terhadap peristiwa
tersebut.
Untuk menentukan pertanyaan yang
saling signifikan suatu topik, dan memperoleh ketepatan dlaam memformulasikan
pertanyaan tersebut, diperlukan banyak persiapan.
2. Prasangka tradisional terhadap studi kasus
Meskipun studi kasus merupakan suatu bentuk inkuiri empiris yang berbeda,
banyak peneliti telah meremehkan strategi tersebut. Dengan kata lain, sebagai penyelenggara suatu penelitian studi
kasus tunggal dan multikasus telah dipandang sebagai bentuk inkuiri yang kurang
diinginkan. Kerisauan umum kedua tentang studi kasus adalah bahwa studi kasus
terlalu sedikit memeberikan landasan bagi generalisasi ilmiah. Namu, perhatiak
lebih dahulu bahwa pertnyaan yang sama teah dipertnyakan dalam eksperimen.
Nyatanya, fakta-fkat ailmiah jarang sekali didasarkan pada eksperimen tunggal,
yang sering ialah pada multi eksperimen yang telah mereplika fenomena yang
sama, dibawah kondisis yang berbeda.
Keluhan ketiga yang sering muncul
mengenai studi kasus adalah penyelenggaraannya memekana waktu yang sangat lama
serta menhasilkan dokumen-dokumen yang
berlimpah ruah, senhinga melelahkan untuk dibaca. Sudi kasus memang tidak
membutuhkan waktu yang teralu lama, kesan ini telah mengaburkan strategi sudi
kasus sebetulnya dengan mengumpulkan metode pengumpulan data sepesifik.
Meskipun dalam kenyataannya bahwa penyelenggaraan studi kasus yang baik pada
dasarnya teteap merupakan sesuatu hal yang sulit, ini disebabkan kita hanya
mempunyai peluang terlalu kecil untuk bisa memeriksa dan menguji kemampuan
peneliti untuk melaksanakan studi kasus yang baik. Yang jelas, keterampilan
dalam menyelenggarkan studi kasus yang baik hingga kini belum memperoleh
kejelasan dan sebagai konsekuensinya:
Sebagian besar orang merasa mampu
memahami, menyiapkan, dan melaksanakan
studi kasus. Karena tak satupun pandangan yang betul-betul telah disepakati, studi
kasus menerima banyak pujian yang tidak selayaknya
diperoleh. (Hoaglin dkk, 1982: 134)
3. Studi kasus berbeda
jenis, tettapi berdefinisi sama
Pembahsan telah dilakukan tanpa
menggunakan definisi resmi dari studi kasus itu sendiri. Selain itu, ada beberapa
pertanyaan tentang studi kasus yang selama ini masih belum terjawab. Definisi
studi kasus sebagai suatu strategi penelitian, dimana yang paling sering
dijumpai tentang studi kasus semata-mata mengulangi jenis-jenis topik yang
aplikatif.
Sejalan dengan topik-topki lain juga
ditemukan, mencakup organisasi, proses, program, lingkungan, instuisis, dan
bahkan peristiwa. Sebagai alternatifnya, kebanyakan buku-buku teks ilmu
sosial telah gagal memandang studi kasus
sebagai suatu strategi resmi dari penelitian. Tak satupun pendekatan yang
dikemukakan menjelaskan ciri yang sesungguhnyadari strategi studi kasus
terutama ciri-ciri yang dapat membedakan dari strategi yang lain. Karena itu,
definisi yang lebih teknis perlu diberikan sebagai berikut:
Studi kasus adalah siatu inkuiri
empiris yang:
·
Menyelidiki
fenomena didalam konteks kehidupan nyata, bilamana:
·
Batas-batas
antara fenomena dan konteks tajk tampak dengan tegas;dan dimana;
·
Multi
sumber bukti diamnfaatkan
Variasi dalam studi kasus sebagai strategi penelitian. Bedasarkan
definisi studi kasus diatas beebrapa pertanyaan sebelumnya bisa dijawab. Ya,
penelitian studi kasus mencakup studi-studi kasus tunggal dan multikasus.
Meskipun demikian beberapa bidang seperti ilmu politik telah mencoba untuk
melukiskan dengan tepat dua pendekatan ini.
Ya, upaya jurnalistik tertentu dapat
disejajarkan dengan studi kasus. Sebetulnya, salah satu laporan studi kasus
yang paling baik dan menarik adalah mengenai skandal suatu wartawan. Studi kasus dapt mencakup, dan bahkan bisa
dibatasi pada, bukti kuantitatif. Di dalam kenyataan, perbedaan antara bukti
kiuantitatif dan kualitatif tidaklah membedakan jenis strategi penelitian.
Sebagai catatan, yang berkaitan sangat penting studi kasus hendaknya tak
dikaburkan dengan pnegertian yang berkembang dari “penelitian kualitatif”.
Namun demikian, penelitian tak selalu
mebutuhkan studi kasus, da tidak pula studi kasus selalu terbatas pada dua
kondisi ini. studi kasus tak selalu harus mencakup observasi langsug dan rinci
sebagai sumber buktinya.
BAB 2
PENDESAINAN STUDI KASUS TUNGGAL DAN MULTIKASUS
Desain penelitian adalah logika
keterkaitan antara data yang harus dikumpulkan dan pertanyaan awal suatu
penelitian. Setiap penelitian empiris sekurang-kurangnya memiliki desain
penelitian yang implisit, jikalau tidak bisa eksplisit.
Untuk studi kasus ada empat tipe utama
desain yang relevan dengan mengikuti matriks 2x2.
Penelitian studi kasus memaksimalkan
empat aspek kualitas desainnya, yaitu:
1) validitas konstruk, 2) validitas internal, 3) validitas eksternal, 4)
reliabilitas.
A. PENDEKATAN UMUM DESAIN STUDI KASUS
Pengembangan
desain penelitian merupakan bagian yang sulit dalam studi kasus. Tidak seperti
pada strategi-strategi penelitian yang lain, “katalog” yang diperlukan untuk
pendesainan penelitian studi kasus belum sepenuhnya dikembangkan.
Suatu kekeliruan
yang harus dihindari adalah memandang desain studi kasus sebagai bagian atau
variasi dari desain-desain penelitian pada strategi lain, seperti eksperimen.
Dalam kurun waktu yang cukup lama, para ilmuan telah melakukan kekekliruan
dalam berpikir bahwa studi kasus hanyalah satu tipe desain eksperimen semu
(one-shot, post-test only design).
Dengan kata lain,
sementara desain one-shot, post-test only sebagai desain eksperimen semu tetap
dipandang keliru, studi kasus sekarang telah dipandang sebagai suatu yang
berbeda.
1.
Definisi
desain penelitian
Pada tingkat yang paling sederhana,
desain merupakan kaitan logis antara data empiris dengan pertanyaan awal
penelitian dan, terutama, konsklusi-konsklusinya. Dalam bahasa sehari-hari,
desain eksperimen adalah suatu rencana tindakan untuk berangkat dari sini ke
sana, dimana “di sini” bisa diartikan sebagai rangkaian pertanyaan awal yang
harus dijawab, dan “di sana” merupakan serangkaian konsklusi (jawaban) tentang
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Cara berpikir lainnya tentang desain
penelitian adalah sebagai blue print (induk) suatu penelitian, berkenaan dengan
sekurang-kurangnya empat problem, yaitu pertanyaan apa yang harus diajukan,
bagaimana data relevan, data apa yang harus dikumpulkan, dan bagaimana analisis
hasilnya.
Tujuan pokok adalah membantu peneliti
menghindari data yang tak mengarah ke pertanyaan-pertanyaan awal peneliti.
Desain penelitian berkenaan dengan problem atas dasar logika dan bukan problem
atas dasar logistik.
2.
Komponen-komponen
desain penelitian
Untuk studi kasus ada lima komponen
desain penelitian yang sangat penting, yaitu:
1) Pertanyaan-pertanyaan penelitian
2) Proposisinya, jika ada
3) Unit-unit analisisnya
4) Logika yang mengaitkan data dengan
proposisi tersebut
5) Kriteria untuk menginterpretasi
temuan.
Pertanyaan
penelitian. Menyarankan agar bentuk pertanyaan tersebut berkenaan dengan
“siapa”, “apa”, bagaimana”, dan “mengapa”, memberi rambu-rambu penting terhadap
strategi penelitian yang akan digunakan .
Proposisi
penelitian. Sebagai komponen kedua, proposisi mengarahkan perhatian peneliti
kepada suatu yang harus diselidiki dalam ruang lingkup studinya.
Unit
analisis. Komponen yang ketiga ini secara fundamental berkaitan dengan masalah
penentuan yang dimaksud dengan “kasus” dalam penelitian yang bersangkutan ,
suatu problema yang telah mengganggu banyak peneliti di awal studi
kasusnya. Terkadang kasus didefinisikan
dengan suatu cara tertentu, walaupun fenomena yang akan dikaji menurut definisi
yang berbeda. Yang paling sering terjadi ialah peneliti mengaburkan studi kasus
lingkungan dengan studi kasus kelompok kecil. Satu hal yang perlu diperhatikan
dalam penentuan kasus dan unit analisis, yaitu berkenaan denga peranan
kepustakaan penelitian yang tersedia. Sebagian besar peneliti ingin membandingkan
temuan-temuan mereka dengan penelitian terdahulu, dan atas alasan ini,
definisi-definisi kuncinya hendaklah tidak menampilkan keanehan.
Pengaitan
data terhadap proposisi dan kriteria penginterpretasian temuannya. Komponen
keempat dan kelima merupakan komponen yang paling kurang berkembang dalam studi
kasus. Komponen-komponen ini mengetengahkan tahap-tahap analisis data dalam
penelitian studi kasus, dan desain penelitian perlu meletakkan dasar-dasar bagi
analisis ini.
3.
Kriteria
penetapan kualitas desain penelitian
Dalam hal ini dapat digunakan empat
uji yang relevan.
·
Validitas
Konstruk : merupakan ukuran operasional yang benar untuk konsep-konsep yang
akan diteliti.
·
Validitas
Internal (hanya untuk penelitian eksplanatoris dan klausal,dan tidak untuk penelitian
deskriptif dan eksploratoris) : menetapkan hubungan klausal, dimana
kondisi-kondisi tertentu diperlihatkan guna mengarahkan kondisi –kondisi lain,
sebagaimana dibedakan dari gubungan semu.
·
Validitas
Eksternal : menetapkan ranah dimana temuan suatu penelitian dapat
divisualisasikan ; dan
·
Reliabilitas
: menunjukkan bahwa pelaksanaan suatu penelitian, seperti prosedur pengumpulan
data dapat diinterpretasikan dengan
hasil yang sama.
B. DESAIN-DESAIN STUDI KASUS
Karakteristik
umum desain penelitian berperan sebagai latar untuk memikirkan desain yang
spesifik bagi studi kasus. Empat tipe desain dibahas disini, berakar matriks
2x2. Matriks tersebut didasarkan atas asumsi bahwa studi kasus tunggal dan
multikasus mencerminkan pertimbangan desain yang berbeda dan bahwa didalam
kedua tipe tersebut juga ada kesatuan atau kemultian unit analisis. Karenanya,
untuk strategi studi kasus, keempat tipe desain adalah (1) desain kasus tunggal
holistik, (2) desain kasus tunggal terjalin (embedded), (3) desain multikasus holistic,
dan (4) desain multikasus terjalin.
1.
Seperti
Apakah Desain Kasus Tunggal yang Potensial?
Kasus-kaus tunggal merupakan desain
umum bagi penyelenggaraan studi kasus, dan ada dua tipe yang telah dijelaskan:
kasus-kasus yang menggunakan unit analisis holistic dan kasus-kasus yang
menggunakan unit analisis terjalin. Secara keseluruhan, desain studi kasus bisa
dibenarkan dalam kondisi-kondisi tertentu – (a) kasus tersebut mengetengahkan
suatu uji penting tentang teori yang ada, (b) merupakan peristiwa yang langka
atau unik, atau (c) berkaitan dengan tujuan penyingkapan.
Tahap penting dalam pendesainan dan
penyelenggaraan kasus tunggal adalah menentukan unit analisis (atau kasus itu
sendiri). Definisi yang operasional dibutuhkan, dan beberapa tindakan pencegahan
harus diambil – sebelum kesepakatan penuh terhadap keseluruhan studi kasus
tersebut dicapai – guna meyakinkan bahwa kasus tersebut memang relevan dengan
isu dan pertanyaan-pertanyaan fokus penelitiannya.
Dalam kasus tunggal mungkin masih ada
beberapa keterkaitan dengan sub-sub unit analisisnya, agar desain yang lebih
kompleks atau terpancang – bisa berkembang. Sub unit tersebut seringkali dapat
menambah peluang-peluang signifikansi bagi analisis yang lebih luas, yang
mengembangkan bagian-bagian kasus tunggal yang bersangkutan. Namun demikian,
jika perhatian terlalu banyak diberikan kepada sub-sub unit ini, dan jika aspek
holistic yang lebih besar mulai diabaikan, maka studi kasus tersebut akan
mengalami pembelokan arah dan perubahan sifatnya. Perubahan ini mungkin dalam
kenyataannya bisa dibenarkan, tetapi tak harus menjadi kejutan bagi peneliti
yang bersangkutan.
2.
Seperti
Apakah Desain Multikasus yang Potensial?
Desain multikasus memiliki keuntungan
dan kerugian tersendiri dibandingkan dengan desain kasus tunggal. Bukti dari
multikasus dipandang lebih merangsang, dan keseluruhan penelitiannya karena
dipandang lebih kuat. Di lain pihak, rasional untuk desain kasus tunggal
biasanya tak dapat dipenuhi oleh multikasus. Kasus langka, kasus penting, dan
kasus penyingkapan tampak semuanya hanya dimasukkan sebagai kasus-kasus
tunggal. Lebih dari itu penyelenggaraan studi multikasus dapat menuntut banyak
sumber dan waktu.
Karenanya, keputusan untuk
menyelenggarakan studi multi kasus tak dapat dilakukan secara ketat. Setiap
kasus hendaknya mengarah tujuan yang spesifik dalam ruang lingkup keseluruhan
inkuiri yang bersangkutan. Bagian utamanya adalah memandang multikasus sebagai
multi eksperimen, yaitu harus mengikuti logika “replika”. Hal ini jauh berbeda
dari analogi yang keliru dimasa lalu, yang secara salah memandang multikasus
sebagai sebuah eksperimen, yaitu kasus yang mengikuti logika “sampling”.
Logika yang menggaris bawahi
penggunaan studi multikasus adalah sama. Setiap kasus harus dipilih secara
hati-hati agar kasusnya: (a) memprediksi hasil yang serupa (replica literal)
atau (b) membuahkan hasil yang berlatar belakang beda tetapi untuk
alasan-alasan tertentu seperti yang diprediksi (replica teoritis). Langkah penting
dalam semua prosedur replica ini adalah pengembangan kerangka kerja teoritis
yang kaya. Kerangka kerja tersebut perlu menyatakan kondisi-kondisi dibawah
fenomena tertentu yang harus ditemukan (replica literal) dan kondisi-kondisi
tertentu di mana temuan dimaksud tidak ada (replica teoritis). Kerangka kerja
teoritis akhirnya menjadi jembatan untuk penggeneralisasian kea rah kasus baru,
sekali lagi serupa dengan peranan yang dimainkan dalam desain lintas
eksperimen. Lebih dari itu, sepertinya halnya dengan ilmu eksperimen,
modifikasi harus dilakukan terhadap teori yang bersangkutan.
Aplikasi apapun dari logika sampling
terhadap studi kasus ini akan merupakan tindakan yang salah tempat. Pertama, studi kasus umumnya tidak boleh
digunakan untuk menilai terjadinya fenomena. Kedua, studi kasus harus mencakup baik fenomena fokus maupun
konteksnya, yang memuat banyak variabel yang secara potensial cukup relevan.
Sebaliknya, hal ini menuntut jumlah kasus yang demikian besar yang tak mungkin
terjangkau, terlalu besar untuk mengizinkan pertimbangan statistic apapun bagi
variabelnya. Ketiga , jika logika
samling harus diaplikasikan ke semua tipe penelitian, banyak topic penting yang
tak dapat diselidiki secara empiris.
Ringkasan
Tipe desain ini lebih mahal dan lebih
memakan waktu untuk dilaksanakan.
Penggunaan desain-desain multikasus
hendaknya mengikuti logika replika, buka logika sampling, dan mengharuskan
peneliti untuk memilih kasusnya secara hati-hati. Kasus-kasus tersebut
hendaknya berperan seperti pada eksperimen ganda, memiliki hasil yang sama
(replika literal) atau hasil yang bertentangan (replika teoritis) dengan
memprediksikan secara eksplisit pada awal penelitiannya.
Desain replika tak harus berarti bahwa
masing-masing studi kasus harus menjadi holistic ataukah terjalin. Dalam desain
studi multi kasus, keduanya bisa sama-sama menjadi alternatif. Bilamana desain
terpancang digunakan, masing-masing studi kasus bisa mencakup pengumpulan dan
analisis data kuantitatif, termasuk penggunaan survey dalam masing-masing
kasusnya.
3.
Bagaimana
Desain-desain Studi Kasus Bisa Tetap Fleksibel?
Hal penting terakhir yang perlu
diingat ialah bahwa desain studi kasus bukanlah sesuatu yang selesai pada tahap
pendahuluan penelitian saja. Desain tersebut dapat diubah dan diperbaiki
setelah melewati tahap permulaan suatu penelitian, dengan alasan
kondisi-kondisi yang sulit.
Secara khusus, studi-studi kasus
perintis mungkin menampilkan kekurangan-kekurangan pada desain awalnya. Pada
peristiwa desain kasus tunggal, apa yang diperkirakan sebagai kasus
penyingkapan ataupun unik mungkin tak tampil sebagaimana mestinya. Pada
peristiwa desain multikasus, pemilih kasus mungkin harus memodifikasi karena
adanya informasi-imformasi baru mengenai kasusnya. Dengan kata lain, setelah
pengumpulan dan analisis data permulaan, penyidik berkesimpulan bahwa desain
awalnya keliru dan harus dimodifikasi. Ini merupakan hal yang dikehendaki dari
penelitian-penelitian perintis.
Pada saat yang sama, penyidik harus
berhati-hati agar tidak mengubah arah teori atau tujuannya. Jika hal ini yang
berubah, dan bukan kasusnya itu sendiri, maka peneliti bisa dituduh menggunakan
unsur bias didalam melakukan penelitian dan penginterpretasian hasilnya.
Fleksibilitas desain studi kasus harus terjadi dalam pemilihan kasus yang
berbeda dari yang diidentifikasikan sebelumnya, dan bukan perubahan tujuan umum
atau khusu guna penyelesaian terhadap kasus yang telah ditemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar