Persiapan untuk
menangani studi kasus mencakup keterampilan-keterampilan yang dituntut dari
peneliti, latihan dan persiapan untuk studi kasus spesifik, pengembangan
protokol studi kasus, dan penyelenggaraan studi kasus perintis. Banyak orang
salah meyakini bahwa mereka telah cukup terampil untuk menangani studi kasus
karena mereka menganggap bahwa bahwa metode tersebut mudah untuk digunakan,
yang pada kenyataannya penelitian studi kasus merupakan salah satu diantara
tipe penelitian yang paling sulit untuk dikerjakan.
Latihan-latihan
intensif perlu direncanakan, protokol studi kasus perlu dikembangkan dan
disempurnakan kembali, serta penelitian perintis perlu diselenggarakan.
Terutama jika penelitian yang bersangkutan berkenaan dengan desain multi kasus
dan/atau mencakup banyak penelitian.
Persiapan
pengumpulan data bisa menjadi hal yang rumit dan sulit. Jika kegiatan itu tak
ditangani dengan baik, maka keseluruhan penyelidikan studi kasus bisa
membahayakan, dan semua pekerjaan terdahulunya – dalam menetapkan persoalan dan
pendesainan studi kasus – akan menjadi sia-sia.
A. KETERAMPILAN-KETERAMPILAN
YANG DIHARAPKAN DARI PENELITI STUDI KASUS
Keterampilan
yang disyaratkan guna melaksanakan pengumpulan data studi kasus lebih berat
ketimbang dalam eksperimen dan survei. Peneliti yang betul-betul terlatih dan
berpengalaman diperlukan dalam penanganan studi kasus yang berkualitas
dikarenakan adanya interaksi yang terus-menerus antara isu-isu teoritis yang
akan diteliti dan data yang akan dikumpulkan. Selama pengumpulan data, hanya
peneliti yang lebih berpengalaman yang akan mampu memanfaatkan peluang-peluang
tak terduga, selalu selamat dari kemungkinan terperangkap dan bersikap cukup
hati-hati dalam menghadapi prosedur yang bias.
Pokok-pokok
keterampilan yang dituntut pada umumnya diketengahkan sebagai berikut:
·
Seseorang harus mampu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang baik dan menginterpretasikan jawaban-jawabannya.
·
Seseorang harus menjadi pendengar yang baik dan
tak tertangkap oleh ideology atau prakonsepnya sendiri.
·
Seseorang hendaknya mampu menyesuaikan diri dan
fleksibel, agar situasi yang baru dialami dapat dipandang sebagai peluang dan
bukan ancaman.
·
Seseorang harus memiliki daya tangkap yang kuat
terhadap isu-isu yang akan diteliti, apakah hal ini berupa orientasi teoritis
atau kebijakan, ataupun bahkan berbentuk eksploratoris. Daya tangkap seperti
itu mengurangi peristiwa-peristiwa yang relevan dan informasi yang harus
dipilih kea rah proporsi yang bisa dikelola.
·
Seseorang harus tidak bias oleh
anggapan-anggapan yang sudah ada sebelumnya; termasuk anggapan-anggapan yang
diturunkan dari teori. Karena itu, seseorang harus peka dan responsive terhadap
bukti-bukti yang kontradiktif.
Masing-masing ciri
ini akan dijelaskan dibawah. Banyak diantara ciri tersebut yang masih bisa
disempurnakan; karenanya seseorang yang tak memenuhi salah satu atau lebih dari
keterampilan-keterampilan tersebut dapat mengembangkannya. Namun, setiap orang
perlu jujur dalam menilai kemampuannya sendiri.
1.
Mengajukan Pertanyaan
Pikiran ingin tahu merupakan syarat utama selama
melangsungkan pengumpulan data, dan bukan hanya sebelum dan sesudah kegiatan
itu saja. Pengumpulan data mengikuti suatu rencana, tetapi informasi spesifik
yang diperkirakan relevan tak dapat betul-betul diprediksikan. Begitu peneliti
memasuki kerja lapangan tersebut, ia harus secara berkelanjutan melacak mengapa
peristiwa-peristiwa yang bersangkutan bisa terjadi. Jika mampu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang baik, peneliti akan lelah secara mental dan
emosional pada hari terakhirnya. Hal ini berbeda dengan pengalaman pengumpulan
data pada eksperimen atau survei, dimana seseorang mungkin secara fisik lelah
tetapi secara mental tidak.
Hal yang penting berkenaan dengan pengajuan pertanyaan
yang baik ialah memahami bahwa penelitian berkenaan dengan pertanyaan dan tak
harus berkenaan dengan jawaban. Jika anda adalah tipe orang yang mudah terusik
oleh sebuah pertanyaan menuju kearah kelompok besar pertanyaan-pertanyaan baru,
dan jika pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya mengarah ke penemuan signifikan
tentang bagaimana atau mengapa suatu kenyataan, maka anda merupakan pengaju
pertanyaan yang baik.
2.
Mendengarkan
Mendengarkan meliputi pengamatan dan perabaan yang
lebih umum dan tak terbatas pada penuturan lisan. Menjadi pendengar yang baik
berarti mampu membaurkan informasi baru dalam jumlah besar tanpa bias. Sewaktu
pihak yang diwawancarai menyinggung suatu kejadian, seorang pendengar yang baik mendengarkan
kata-kata yang pasti digunakan oleh pihak yang diwawancarai, menangkap suasana
hati dan komponen-komponen sikap, serta memahami konteks-konteks yang digunakan
sebagai sudut pandang pihak yang diwawancarai.
Tipe keterampilan ini juga perlu diaplikasikan untuk
pemeriksaan bukti dokumentasi dan pembuatan observasi langsung terhadap suatu situasi.
Dalam mengulas dokumen, pertanyaan yang baik untuk diajukan adalah apakah ada
pesan penting diantara alur-alur yang bersangkutan; inferensi-inferensi tentu
saja perlu dikuatkan dengan sumber-sumber informasi yang lain, tetapi
pemikiran-pemikiran yang penting bisa diperoleh dengan cara ini. Pendengar yang
lemah bahkan bisa tak menyadari adanya informasi di antara alur tersebut.
Pendengar lain yang kurang berpengetahuan adalah pendengar yang pikirannya
tertutup atau mempunyai daya ingat yang lemah.
3.
Penyesuaian Diri dan Fleksibilitas
Sangat sedikit studi kasus yang berakhir tepat seperti
yang direncanakan. Tak dapat dihindari keharusan adanya perubahan-perubahan
kecil/besar, mulai dari kebutuhan untuk mengidentifikasi kasus baru yang perlu
diteliti hingga keperluan untuk mengejar arah-arah yang tak terduga. Peneliti
yang cakap harus ingat tujuan awal penelitiannya, tetapi selanjutnya harus mau
mengubah prosedur atau rencananya jika ternyata terjadi peristiwa-peristiwa
yang tak terantisipasi.
4.
Memegang Teguh Isu-isu yang Akan Diteliti
Cara utama untuk tetap kukuh pada target adalah
memahami tujuan semula dari penelitian studi kasusnya sendiri. Setiap peneliti
studi kasus harus memahami isu-isu teoritis atau kebijakan tersebut, karena
keputusan harus dibuat selama fase pengumpulan data. Tanpa memegang erat
isu-isu, seseorang peneliti dapat kehilangan kunci-kunci penting dan tidak
akan mengetahui kapan suatu penyimpangan
bisa diterima atau bahkan dikehendaki.
5.
Mengurangi Bias
Semua kondisi terdahulu akan disangkal jika peneliti
hanya menggunakan studi kasus untuk memperkuat posisi sebelumnya. Para peneliti
studi kasus terutama cenderung kepada persoalan ini karena mereka harus
memahami isu-isu tersebut dan menguji kebebasan. Sebaliknya, pembantu peneliti
, walaupun mekanistik dan bahkan mungkin tidak rapi, tidak mengenal bias
kedalam penelitian tersebut. Sebuah tes terhadap kemungkinan bias ini adalah
tingkat keterbukaan peneliti studi kasus terhadap temuan yang bertentangan.
Kesimpulan-kesimpulan studi kasus harus merefleksikan temuan-temuan yang
bertentangan. Untuk menyelenggarakan suatu tes yang baik, setiap peneliti harus
melaporkan temuan-temuan terdahulunya mungkin masih pada fase pengumpulan data.
Jika penelitian bagi penemuan-penemuan yang bertentangan tersebut dapat
menghasilkan sangkalan-sangkalan yang dapat didokumentasikan, bias yang ada
akan berkurang.
B. LATIHAN
DAN PERSIAPAN UNTUK STUDI KASUS YANG SPESIFIK
Kunci untuk
memahami latihan yang dibutuhkan untuk studi kasus yang spesifik ialah memahami
bahwa setiap peneliti harus mampu berperan sebagai peneliti senior. Karenanya,
sekali berda dilapangan, setiap pekerja lapangan studi kasus merupakan peneliti
yang mandiri dan tak dapat menggantungkan diri pada resep yang kaku guna
menuntun prilakunya. Peneliti harus mampu membuat keputusan-keputusan yang
cerdas tentang data yang akan dikumpulkan. Dalam kaitan ini, latihan untuk
penelitian suatu studi kasus sebetulnya dimulai dengan penentuan persoalan yang
akan diteliti dan pengembangan studi kasusnya. Sering kali terjadi bahwa
penelitian studi kasus harus bergantung pada peneliti ganda, disebabkan oleh
tiga kondisi berikut:
1.
Kasus tunggal mengundang pengumpulan data yang
insentif pada situs yang sama, yang membutuhkan suatu tim peneliti.
2.
Studi kasus mencakup multi kasus, dengan orang
yang berkaitan yang akan diperlakukan untuk mencakup setiap situs atau mengalir
antar situsnya.
3.
Atau kombinasi antara keduanya.
Selain itu
beberapa anggota tim peneliti mungkin belum berpartisipasi dalam penentuan
masalah awal atau fase desain penelitian dari penyelidikan yang bersangkutan.
Dalam konsisi seperti ini latihan dan persiapan formal merupakan pendahuluan
yang esensial bagi kegiatan pengumpulan data yang sebenarnya.
1.
Latihan Studi Kasus Sebagai Pengalaman Seminar
Biasanya, seminar meliputi semua fase penelitian studi
yang direncanakan, termasuk bahan-bahan pada mata ajaran, isu-isu teoritis yang
mengarah ke desain studi kasus, serta metode-metode dan teknik-teknik studi
kasus. Tujuan latihan tersebut adalah membuat semua partisipannya memahami
konsep-konsep dasar, terminologi, dan isu-isu yang relevan terhadap penelitian
yang bersangkutan. Tiap peneliti peril mengetahui:
·
Mengapa penelitian tersebut diselenggarakan;
·
Bukti apa yang akan dicari;
·
Variasi-variasi apa yang dapat diantisipasi dan;
·
Apa yang akan menjadi bukti pendukung atau
bertentangan bagi preposisi yang telah ditentukan.
Diskusi-diskusi, bukan perkuliahan, merupakan bagian
kunci dari upaya latihan, guna meyakinkan bahwa tingkat pemahaman yang
dikehendaki telah tercapai.
Pendekatan seminar terhadap latihan studi kasus ini
dapat sekali lagi bertentangan dengan latihan pewawancara survei. Latihan
survey betul-betul mencakup diskusi, tetapi hal itu pada pokoknya menekan instrument
atau kuesioner yang harus digunakan dan terjadi dalam suatu jangka waktu pendek
yang intensif. Selain itu, latihan tersebut tidak termasuk dalam persoalan
global atau konseptual penelitian yang bersangkutan, karena pekerjaan utama
pewawancara adalah mempelajari mekanisme instrumen survei tersebut. Karenanya
latihan survei jarang mencakup bacaan-bacaan di luar isu-isu substantive
tersebut, dan pewawancara survei yang bersangkutan umumnya tak memiliki
pemahaman luas tentang bagaimana data survei tersebut harus dianalisis dan
isu-isu apa yang harus diselidiki. Hasil semacam itu akan kurang mencukupi bagi
latihan studi kasus.
2.
Pengembangan dan Peninjauan Ulang Protokol (Alat
Pemandu)
Tugas pokok seminar latihan tersebut karenanya
mengembangkan suatu naskah protokol. Pada situasi ini, setiap pendamping
peneliti bisa diberi tugas satu porsi topik yang substansial untuk dicakup
studi kasusnya. Peneliti tersebut bertanggungjawab untuk meninjau ulang bahan
bacaan yang cocok pada topik ini guna menambah informasi lain yang mungkin
relevan, dan untuk mengonsep serangkaian pertanyaan awal protokol pada topic
yang bersangkutan. Dalam seminar tersebut, keseluruhan kelompok peneliti studi
kasus dapat mendiskusikan dan meninjau ulang setiap naskah protokol. Diskusi
semacam ini tak hanya akan mengarah ke penyelesaian protokol tetapi juga akan
member keyakinan bahwa setiap peneliti telah menguasai isi protokol tersebut,
karena partisipasi dalam pengembangannya.
Jika tim peneliti studi kasus tersebut tidak berbagi
tugas dalam pengembangan protokol tersebut, pertemuan-pertemuan latihannya
harus mencakup ulasan protokol tersebut secara menyeluruh. Semua aspek
protokol, apakah procedural atau substantive, perlu didiskusikan, dan mungkin
perlu juga adanya modifikasi tertentu pada protokol tersebut.
3.
Permasalahan yang Harus Dituju
Latihan tersebut juga memiliki tujuan menyingkap
permasalahan dalam rencana studi kasus tersebut atau kemampuan-kemampuan tim
peneliti yang bersangkutan. Jika permasalahan semacam itu betul-betul muncul,
hiburannya adalah bahwa permasalahan tersebut akan lebih menyulitkan jika tidak dikenali hingga selanjutnya,
setelah pengumpulan data tersebut dimulai. Peneliti studi kasus yang baik
karenanya harus bisa meyakinkan pada diri sendiri, selama periode latihan
tersebut bahwa permasalahan potensial itu akan bisa tersingkap.
Persoalan yang paling jelas adalah bahwa latihan tersebut mungkin meunjukkan kelemahan dalam
desain studi kasus yang bersangkutan atau bahkan penentuan masalah awal
penelitian. Jika ini terjadi, peneliti harus bersedia melakukan revisi walaupun
diperlukan lebih banyak waktu dan usaha untuk itu.
Persoalan yang kedua ialah pertemuan-pertemuan latihan
tersebut mungkin menampilkan ketidak cocokan diantara tim peneliti – terutama
sehubungan dengan kenyataan bahwa beberapa peneliti tak berbagi pendirian
mengenai proyok. Bilamana bias semacam itu ditemukan, salah satu cara untuk
menghadapi ideology yang bertentangan adalah menyarankan petugas lapangan agar
mengumpulkan bukti yang bertentangan itu dan menguji kebenarannya.
Persoalan yang ketiga adalah latihan tersebut mungkin
mengungkap batas waktu atau harapan yang tak dinyatakan sehubungan dengan
sumber-sumber yang tersedia.
Terakhir, latihan tersebut bisa mengungkap bebrapa
sifat positif. Proses pembentukan kelompok ini lebih dari sekedar
keramahtamahan; dan hal ini akan meyakinkan reaksi-reaksi pendukung untuk
waspada bahwa permasalahan-permasalahan yang tak diharapkan bisa muncul selama
proses pengumpulan data.
C. PROTOKOL
STUDI KASUS
Selain berisi
instrumen, protokol juga berisi prosedur dan aturan umum yang perlu diikuti
dalam menggunakan instrumen tersebut.
Protokol studi
kasus merupakan taktik umum dalam
meningkatkan reliabilitas penelitian
studi kasus dan dimaksudkan untuk membimbing peneliti dalam
menyelenggarakan studi kasusnya. Protokol tersebut harus memiliki bagian-bagian
berikut: tinjauan umum proyek studi
kasus, prosedur lapangan, pertanyaan-pertanyaan studi kasus, dan petunjuk untuk
pembuatan laporan studi kasus.
Mengapa protokol
demikian penting. Pertama, hal itu mengingatkan peneliti tentang apa sebenarnya
studi kasusnya. Kedua, protokol merangsang peneliti untuk mengantisipasi
beberapa masalah, termasuk masalah tentang bagaimana laporan-laporan studi
kasus bisa diselesaikan. Hal ini berarti bahwa untuk laporan semacam itu
audiens harus diidentifikasikan sebelum studi kasus itu diselenggarakan.
Pemikiran dini seperti itu akan membantu menghindarkan kegagalan hasil yang
berharga untuk jangka panjang.
1.
Tinjauan Umum Proyek Studi Kasus
Tujuan umum harus mencakup informasi latar belakang
tentang proyek, isu-isu substantive yang akan diselidiki, dan bacaan-bacaan
relevan dengan isu-isu tersebut.
2.
Prosedur Lapangan
Hal ini memiliki implikasi-implikasi penting untuk
penentuan masalah dan desain.
3.
Pertanyaan-pertanyaan Studi Kasus
Inti protokol adalah serangkaian pertanyaan substantif
yang mencerminkan keterangan aktual. Ada dua karakteristik yang membedakan
pertanyaan-pertanyaan dalam situasi wawancara survei. Pertama, pertanyaan
diajukan kepada peneliti yang bersangkutan, dan bukan kepada responden. Kedua,
setiap pertanyaan harus disertai daftar tentang sumber bukti yang mungkin bisa
ditemukan.
4.
Tuntunan Untuk Pembuatan Laporan Studi Kasus
Unsur ini biasanya hilang dalam perencanaan studi
kasus. Peneliti enggan untuk memikirkan garis besar, format, atau audiens untuk
laporan studi kasusnya hingga data terkumpul.
D. STUDI
KASUS PERINTIS
Persiapan akhir
pengumpulan data adalah pelaksanaan suatu penelitian perintis. Kasus perintis
dipilih atas beberapa alasan yang tak harus berkaitan dengan pemilihan kasus
akhir dalam desain studi kasus yang bersangkutan. Studi kasus perintis
bermanfaat untuk memperbaiki rencana pengumpulan data berkenaan dengan isi data
dan prosedur yang harus diikuti. Studi kasus perintis bisa menjadi demikian
penting karena sumber-sumber yang muncul pada tahap ini bisa lebih banyak
ketimbang pada pengumpulan data kasus yang sesungguhnya. Untuk alasan seperti
inilah, sub-subjudul yang memerlukan pembahasan lebih lanjut adalah: pemilihan
kasus perintis, hakikat penelitian untuk kasus-kasus perintis, dan hakikat
laporan dari kasus-kasus perintis
1.
Pemilihan Kasus-kasus Perintis
Secara umum kenyamanan, akses dan kedekatan geografis
dapat menjadi criteria pokok bagi pemilihan kasus atau kasus-kasus perintis.
Hal ini akan memungkinkan hubungan yang kurang terstruktur dan lebih berjangka
panjang untuk berkembang diantara pihak yang diwawancarai dan pihak peneliti
studi kasus ketimbang yang mungkin terjadi dalam situasi-situasi studi kasus
yang sesungguhnya. Sutus perintis tersebut selanjutnya dapat mengasumsikan
peran elaborative bagi para peneliti yang bersangkutan, yang memungkinkan
mereka untuk mengamati fenomena yang berlainan dari banyak sudut pandang yang
berbeda atau mencoba pendekatan-pendekatan yang berbeda pada suatu basis
percobaan.
2.
Hakikat Penelitian Perintis
Penelitian untuk kasus perintis bisa lebih luas dan
kurang terfokus daripada rencana pengumpulan data pokoknya. Selain itu,
penelitian dapat mencakup baik isu-isu substantif maupun metodologis. Data
perintis memberikan keterangan sangat penting ke dalam isu-isu dasar yang akan
diteliti. Informasi ini digunakan secara paralel dengan tinjauan kepustakaan
yang relevan mendatang, sehingga desain akhir terinformasikan lebih baik oleh
teori-teori yang paling lazim maupun serangkaian observasi empiris yang segar.
Variasi-variasi dalam prosedur dicoba didalam pelaksanaan studi kasus perintis,
hasil-hasilnya diumumkan, dan akhirnya suatu prosedur yang memuaskan
dikembangkan untuk rencana pengumpulan data yang resmi.
3.
Laporan Kasus-kasus Perintis
Laporan-laporan kasus perintis sebetulnya berharga
bagi peneliti yang bersangkutan dan perlu ditulis dengan jelas, bahkan dalam
bentuk memorandum. Suatu perbedaan antara laporan perintis dan laporan-laporan
perintis tersebut harus eksplisit tentang pelajaran-pelajaran yang dikaji baik
untuk desain penelitian maupun prosedur lapangannya.
Jika yang direncanakan lebih dari satu kasus perintis,
laporan dari satu kasus perintis tersebut juga dapat menunjukkan
modifikasi-modifikasi yang harus diupayakan dalam kasus perintis berikutnya.
Dengan kata lain, laporan tersebut dapat berisi agenda untuk kasus selanjutnya.
Jika kasus perintis telah dikerjakan dengan cara demikian, agenda terakhirnya
sebetulnya bisa menjadi prototipe yang bagus untuk protocol studi kasus akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar