A. Pengantar
Kemajuan
suatu peradaban dalam sejarah umat manusia tidak mungkin terwujud apabila
peradaban tersebut menutup diri dan tidak mau berinteraksi dengan peradaban
yang lain. Hadirnya islam sebagai sebuah peradaban yang jaya, juga diyakini
merupakan buah dari keterbukaan islam.
Secara umum epistomologi Islam
menurut Muhammad Abid al-Jabiri (1990:556), memilki tiga kecenderungan yang
kuat, yaitu:
Pertama,
bayani yaitu epistomologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah wahyu (teks) atau penalaran dari teks.
Kedua,
‘irfani yaitu epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah
kehendak.
Ketiga,
burhani yaitu epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah akal.
Ketiga kecenderungan epistemologis
Islam diatas, secara teologis mendapatkan justifikasi dari Al-Qur’an. Di
dalamnya banyak ditemukan ayat yang berbicara
tentang pengetahuan, dan perintah untuk menggunakan akal. Sekalipun demikian,
tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkapkan tentang pengetahuan
bersumber pada intuisi.
Metode eksperimen dikembangkan oleh
sarjana muslim padaabad keemasan Islam, antara abad IX dan XII. Semangat
mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam
dengan jatuhnya kekaisaran Romawi, dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam.
Setelah masuk abad XII M, pergumulan
pemikiran kaum muslimin sedikit mulai meninggalkan tradisi pelacakan dalam
filsafat, khususnya filsafat sains, dan lebih mengembangkan kesadaran mistis
dan asketisme atau lari dari dua materi atau kesadaran kosmis menuju pada dunia
sufisme.
Dalam hal ini, fanatisme mazhab atau
pemikiran tertentu sangat kental, dan sering kali tidak toleran terhadap
kelompok yang lain. Adanya pluralitas mazhab pemikiran dalam Islam dianggap
sebagai ‘bencana’, dan semangat klaim kebenaran menguat, bahwa kelompoknyalah
yang paling benar. Islam kemudian direduksi sebatas persoalan-persoalan ritual
semata, atau sekedar ajaran-ajaran moral yang melangit. Pada fase inilah umat
Islam menuju gerbang awal kemunduran dan redupnya mercusuar peradabannya.
Sebenarnya Islam telah memiliki
epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan. Hanya saja dari ketiga epistemologis yang ada dalam
perkembangannya lebih didominasi oleh corak berfikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir ‘irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini
kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio (burhani) secara optimal.
Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar
dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani, penggunaan rasionalitas tidak
terhenti hanya sebatas rasio belaka tetapi melibatkan pendekatan empiris
sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
B. Perkembangan Awal Pemikiran dalam Islam
Proses pembentukan pemikiran itu
umumnya diawali dengan peristiwa-peristiwa, misalnya ada persentuhan pendapat,
agama, kebudayaan atau peradaban antara satu dengan yang lainnya. Persentuhan
tersebut kadangkala menimbulkan ketidaksesuaian, benturan, tapi juga sering terjadi
kecocokan. Yang jelas, proses perkembangan pemikiran muslim, terdapat dalam
tiga fase dan erat kaitannya dengan sejarah islam. Fase tersebut adalah :
Pertama,
pemikiran/persoalan pertama muncul dalam Islam pada saat wafatnya Nabi
Muhammad Saw. Pasca Rasulullah, mulailah periode Khulafa al-Rasyidun mengalami
fase baru. Pada periode ini muncul persoalan baru yang diselesaikan dengan
pemikiran. Anshar dari suku Khazraj sudah kumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah. Pada
saat itu mereka hamper memilih Sa’ad sebagai khalifah dengan alas an, merekalah
yang menolong kaum Muhajirin saat hijrah ke Madinah.
Disisi lain, golongan Muhajir yang
mengklaim bahwa merekalah yang berhak untuk menduduki jabatan kekhalifahan.
Mendengar berita dan kejadian di Tsaqifah Bani Sa’idah, Abu bakar dan Umar Bin
Khatab segera tiba disana, yang semula berada didekat Rasulullah. Dua kelompok
tersebut akhirnya memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama.
Menjelang wafatnya Abu Bakar,
ditunjuklah Umar Ibn Khattab sebagai penggantinya. Setelah Umar wafat, kemudian
pergolakan politik selanjutnya diwarnai dengan kegagalan Ali Bin Abi Thalib
dalam pemilu. Saat itu yang memenangkan adalah Usman bin Affan sebagai khalifah
ketiga. Hal ini mengakibatkan adanya pergolakan politik masa kekhalifahan Ali
dan pada gilirannya menimbulkan perang Jamal antara entara Ali dengan Aisyah
dan perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah.
Adanya kasus perang Siffin menjadi
factor utama munculnya golongan Khawarj. Pergolakan politik itu diruncingkan
oleh adanya pendapat Khawarij, bahw aorang-orang yang terlibat dalam perang
Jamal dan Siffin adalah berdosa besar dan kafir.
Pernyataan
kaum khawarij tidak langsung diterima kaum muslim. Lalu lahir kelompok pembela
ali (syi’ah) yang menolak kesimpulan kaum khawarij. Disisi lain muncul kelompok
yang berusaha netral yaitu murji’ah, mereka tidak ingin menyalahkan satu dengan
lainnya. Menurut mereka, segala hukum perbuatan manusia yang belum jelas nash, ditangguhkan hukumnya sampai di
akhirat kelak.
Kedua,
akibat ekspansi islam keberbagai penjuru dunia. Ekspansi yang dilakukan islam,
ternyata tidak berdampak pada ajaran tetapi juga semakin memperkaya khazanah
kebudayaan islam. Dikarenakan akulturasi budaya arab islam dengan budaya lokal
daerah yang di taklukkan.
Perembesan
budaya ini, karena interaksi kaum muslim dengan orang yang mempelajari tradisi
spekulatif yunani, dan penerjemahan secara besar-besaran khazanah intelektual
yunani kedalam bahasa arab di masa abbasiah.
Ketiga,akibat
adanya perubahan masyarakat dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern,
dari pandangan cakrawala berfikir yang regional menjadi yang lebih luas lagi.
Kehidupan pribadi makin lama makin kompleks dan menimbulkan masalah-masalah
baru yang memerlukan pemecahan .
Ketiga
faktor di atas memberikan pengaruh yang kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan
pemikiran dalam islam, disamping ada banyaknya sugesti berupa ayat-ayat yang
menganjurkan tentang pengembangan kemampuan berpikir. Ada banyak ayat dalam al-quran yang baik
secara langsung maupun tidak, mendesak manusia untuk berpikir,merenung atau
bernalar. Oleh karena itu, kita perlu menghidupkan kembali tradisi intelektual
yang bebas, dialogis, inovatif, dan kreatif.
C.Pluralitas pemikiran islam
Keberadaan
dan perkembangan ilmu islam dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW, ilmu itu
adalah al-quran dan hadis yang kemudian melahirkan berbagai cabang ilmu. Ini
didukung oleh perkembangan bahasa arab yang diguanakan jauh sebelum masa Nabi
Muhammad, lalu pasca khulafaul rasyidin, hingga posisi bahasa arab yang mengambil
peran penting bagi perkembangan ilmu islam selanjutnya.
Ekspansi yang
dilakukan islam turut memperkaya khazanah intelektual muslim. Berbagai keilmuan
pun lahir sebagai bagian dari proses interaksi islam dengan budaya lain.
Dinamika
beberapa varian pemikiran islam, yang merupakan khazanah islam yang harus terus
dipelihara dan dijaga keberadaannya, serta dikembangkan sesuai dengan perubahan
zaman.
1. Pemikiran kalam(teologi)
Kalam
berarti pembicaraan. Ini merujuk pada system pemikiran spekulatif, berfungsi
untuk mempertahankan islam dan tradisi islam dari ancaman dan tantangan dari
luar. Mutakallimun adalah orang yang menjadikan dogma atau persoalan teologis
kontroversional sebagai topik diskusi dan wacana dialektik, dengan menawarkan
bukti spekulatif untuk mempertahankan pendirian mereka.
Isu
pertama yang berakibat pada keretakan muslim yaitu setelah wafatnya nabi
Muhammad. Tentang perkara pengganti nabi dan khalifah. Puncaknya pemberontakan
antara ali ibn abi thalib yang terbunuh dan mu’awiah. Sebagian umat islam talah
berani membuat analisis tantang pembunuhan usman tersebut. Diduga inilah yang
menjadi cikal bakal tumbuhnya paham jabariah dan qadariah.
Pada
peristiwa arbitrase, yaitu upaya penyelesaian perselisihan ali bin abi thalib
dengan aisyah pada perang jamal dan sengketa antara ali bin abi thalib dan
mu’awiah bin abi sufyan pada perang shiffin.
Dalam
perang shiffin terjadi tahkim antara pihak ali dan mu’awiah. Tapi perdamaian
tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian pengikut ali. Pelopornya Abdullah
ibn wahab al-rasybi yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khawarij.
Kelompok hawarij berfatwa bahwa orang yang terlibat dengan tahkim, baik
menyetujui apalagi melaksanakannya dinyatakan berdosa besar. Alasannya karena
mereka ingkar menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim.
Penentuan
kafir atau tidak bukan lagi soal politik, tetapi soal teologi. Kata kafir yang
ditunjukkan pada golongan diluar islam, oleh khawarij dipergunakan dengan makna
yang berbeda, yaitu untuk golongan yang berada dalam islam sendiri. Sebagai
reaksi atas itu sebagian umat islam yang dipelopori oleh ghailan al-damasqi,
menolak tegas fatwa tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya menjadi mahzab
murji’ah. Menurut mereka fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya
ditunda saja ,diserahkan kepada allah di akhirat kelak. Reaksi kelompok lain
adalah pengikut faham Abdullah ibn saba’, yang sangat mengagungkan ali ibn abi
tahlib , mereka dikemudian hari dikenal dengan syi’ah.
Persoalan
dosa besar antara khawarij dan murji’ah berlanjut sampai masa hasan basri. Pada
suatu hari ia mengajar, datanglah seorang menanyakan tentang dosa besar yang
dipertentangkan diatas, apakah membawa kekafiran atau tidak. Pada saat hasan
basri merenungkan jawabannya ,berdirilah salah seorang muridnya wasil ibn atho’
dan berkata:” orang itu bukan kafir dan bukan pula mukmin, tepatnya dia
manzilatain dan dapat disebut fasik”. Setelah itu ,ia keluar dari kelompok
belajar sambil menjelaskan kepada orang-orang yang ada sekitarnya. Sejak itu
wasil dan parapengikutnya disebut dengan mu’tanzilah.
Berlanjut
sampai masa khalifah al-makmun yang menetapkan bahwa paham mu’tazila sebagai
faham resmi dari kekhalifahan dan rakyat harus mengikutinya. 40 tahun lamanya
paham mu’tazilah berjalan pada saat itu abul hasan asy’ari dan dibantu imam
maturidi. Dua ulama ini merupakan tokoh dari paham ahlus sunnah wal jamaah yang
menjembatani paham-paham yang saling bertentangan itu.
Selain
faktor politis yang menyebabkan munculnya perbedaan pada faham teologi, yaitu
pertemuan antara ajaran islam dengan kebudayaan lain. Perkenalan umat islam
dengan kebudayaan dan peradaban hal utama yang berkaitan dengan filsafat
ketuhanan, ditunjang pula dengan kesenangan umat islam, sehingga mengharuskan
umat islam mempelajari pengetahuan, system berpikir, dan filsafat.
Pemikiran
kauam modern yang kritis cenderung memandang bahwa pemikiran kalam klasik
terlalu teoritis, teosentris, elitis, dan konsepsional yang statis. Saat ini
yang dibutuhkan umat islam adalah ilmu kalam yang bersifat antroposentris,
praktis ,populis ,transformative dan dinamis. Misi utama islam adalah rahmatan
lil’alamin. Islam datang untuk menyelamatka umat manusia dari praktik
dehumanisasi yang berlangsung terus menerus disepanjang zaman. Manusia dalam
islam adalah Abdullah dan sekaligus khalifatullah. Posisi ini harus dalam
konstelasi yang bersamaan diwujudkan. Tuhan lewat firman-Nya hanya menghendaki
manusia biasa tetap dalam koridor sebagai seorang hamba yang tidak jatuh dalam
kegelapan dan kebodohan. Melalui kalamnya tuhan memberi manusia petunjuk.
2. Pemikiran fiqih
Islam
dikenal agama yang ajarannya menuntut dilakukannya keadilan sosial. Sebagai
salah satu langkah untuk itu, menumbuhkan seperangkat aturan untuk mengatur
hidup kemasyarakatan umumnya. Ayat-ayat yang mengandung dasar hukum, baik
ibadah maupun dalam kemasyarakatan
,disebut ayat ahkam.
Pada
masa nabi Muhammad saw, setiap persoalan yang tidak dapat diselesaikan dengan
mudah dapat diselesaikan, karena nabi merupakan pemegang otoritas yang menjadi
pemutus pada setiap persoalan. Segala ketentuan hukum, bersumber pada wahyu
dari tuhan.
Pada
masa sahabat, daerah semenanjung arab memiliki kebudayaan tinggi dan susunan
masyarakat yang lebih sederhana dibandingkan dengan masyarakat arab. Dengan
demikian, persoalan kemasyarakatan yang timbul lebih sulit penyelesaiannya. Untuk
mencari penyelesaian bagi soal-soal baru itu, para sahabat mengali pada
al-qur’an dan sunnah. Tetapi tidak semua persoalan yang timbul dapat
dikembalikan kepada al-qur’an atau sunnah nabi. Untuk itu, khalifah dan para
sahabat mengadakan ijtihad.
Sejarah
islam dengan ajarannya yang luhur telah mengubah masyarakat arab jahiliah
menuju masyarakat islami. Perubahan tersebut didasarkan atas rumusan prinsip
umum tentang iman, ibadah, kaidah dakwah, hukum keluaraga, hukum muamalah,
hukum pidana dan sanksi sebagai berikut :
- keterkaitan hakim untuk menetapkan kemaslahatan umum atas dasar teks suci, yaitu al-qur’an dan sunnah;
- perintah melaksanakan keadilan, keihsanan, persaan dan ukhuwah insaniah;
- larangan perang atas dasar ofensif dan kebolehan melakukan perang berdasar pertimbangan defensive serta meningkatkan hak dan kehormatan wanita;
- terjaminnya hak milik pribadi, keharusan memenuhi janji dan perikatan serta larangan melakukan tipu daya;
- perbedaan hak adami dan hak allah swt, yakni hak pribadi dan hak allah swt dalam sanksi.
Prinsip
umum di atas kemudian dijabarkan dalam cabang fiqih sebagai upaya untuk
melakukan klasifikasi fiqih dalam mengatur prilaku kehidupan umat.
Mahzab
Produk hukum yg mengalami
pengkristalan menjadi mahzab fiqih melalui proses yang panjang.Pendekatan
fiqih:pemikiran(ra’yi) dan analogi.Tokoh-tokoh yang menjadi pusat mahzab: Abu
Hanifah al-Nu’man Ibn Tsabit, Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris al-Syafi’i,
Ahmad ibn Habal.
Perkembangan Pemikiran di Bidang Fiqih
1.
Pembentukan dimulai sejak masa Nabi
muhammad,khalifah,hingga pertengahan awal abad hijriah.Tahap ini sumber hukum
meliputi wahyu serta akal,yaitu al-qur’an,sunnah,ijmak dan qiyas.
2.
Pembentukan fiqih yang dimulai paruh abad pertama
sampai abad II H.Tahap ini fiqih berbentuk mahzab.
3.
Pematangan bentuk yang dimulai sejak awal abad II
hingga pertengahan abad IV H. Pada masa ini ijtihad dalam bentuk fiqih
dikodifikasi dan dilengkapi dengan ilmu ushul fiqih.
4.
Masa kemunduran fiqih yang ditandai oleh dua peristiwa
penting, yakni jatuhnya baghdad
ke tangan bangsa mongol dan di tutupnya pintu ijtihad oleh para ulama. Pada
masa ini fuqaha hanya menempuh metode al-mutun,syarah al-hawasyi,dan taqrirat
dalam menuliskan kitab fiqih.
3.Pemikiran
Filsafat
Dalam perspektif falasifah,filsafat dan agama
merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak
dibedakan dengan tajam disini bukan filsafat, yang dipahami sebagai sistem
rasional pemahaman dan wahyu yang dirumuskan secara bebas dan agama yang
dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Nama Filusuf-filusuf
besar:Al-kindi, Al-farabi, ibn sina, al-ghazali, ibn rusyd,suhrawardi,fazlur
rahman dll.
Golongan
yang banyak tertarik kepada filsafat yunani adalah kaum Mu’tazilah. Abu
Al-Huzail, Al-Nazzam, Al-Jahiz, Al-Juba’I, dll banyak membaca buku-buku
filsafat yunani dan pengaruhnya dapat dilihat dalam pemikiran-pemikiran teologi
mereka. Disamping kaum mu’tazilah, muncul pula fisuf-filsuf Islam.
Filsuf
kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’kub Ibn Ishaq. Ia lahir di kufah pada
tahun 796 M dan meninggal di Baghdad
pada tahun 873 M. Ini adalah merupakan Al-kindi. Buku-buku yang ditinggalkannya
mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan
Filsuf
besar kedua adalah Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn khan Ibn Uzlagh al-Farabi
al- Turki. Ia lahir di Farab, transoxania pada tahun 870 M dan meninggal pada
tahun 950 M di Damaskus. Ini adalah merupakan Al-farabi, dikenal dengan nama
al-mu’alim al-Tsani (guru kedua ). Al-mu’amin al-Awwal (guru pertama ) adalah aristoteles. Di dunia
lain ia dikenal dengan nama Alpharabius.
Filsuf
lain yang melampaui al-farabi dan al-kindi dalam kemasyhuran adalah Abu ‘ Ali
Husein Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Afshana, suatu
tempat di dekat Bukhara dan meninggal di Isfahan pada tahun 1037
M.Ibn sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna, sehingga ia diberi gelar “the
prince of physician” . Di dunia islam ia dikenal dengan nama al-shaykh
al-Ra’is, pemimpin utama.
Al-Ghazali
merupakan filsuf besar terakhir di dunia islam bagian timur. Di Indonesia ia
sangat terkenal dengan kitabnya Ihya ‘ Ulul al-Din. Di dunia barat al-Ghazali
dikenal dangan nama Abuhamet dan Algazel. Dia diberi gelar Hujjatul-Islam.
Filsuf-filsuf
besar selanjutnya muncul di Andalusia yaitu,
Abu Al-Walid. Ia lahir di Cordova pada tahun 1126 M dan wafat di Marakesh 1198.
Setelah kematiannya, tradisi perenungan di kalangan musli agak meredup.
Di
Persia, fase kebangkitan filsafat ditandai dengan kolaborasi yang mistisime, yang
dikenal dengan filsafat Persia
atau isyraqi dan diresmikan oleh Suhrawadi. Filsafat sebagai satu bagian yang
sah dari islam. Filsafat bukanlah saingan agama atau teologa, sebagaimana
pandangan dari kelompok revivalisme atau ortodoksi islam. Tradisi berfikir yang
kuat dalam islam telah manghantarkan umat islam memasuki keemasannya sebagai
pusat peradaban dunia.
4. Pemikiran Tasawuf
Tasawuf
adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam
upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realitas
dan kebahagiaan rohaniah (Abu Wafa’ al-Ghanimi, al-Taftazani,sufi dari zaman ke
zaman). Dengan definisi ini, jelas tasawuf tidak bertentangan dengan islam,
zuhud, tawakkal, sabar.
Tasawuf
juga berarti amal dan analisis. Amal yang melandaskan pada mujahadah. Selain
itu, juga mengorbankan jiwa dan harta yang Nampak ke dalam alam batin.
· Tasawuf Abad 1 Hijriah
Pada
tahun 600-700 M, tasawuf belumlah memiliki seperangkat konsepsi yang runtut dan
ia masih murni ajaran moral. Tanda yang menonjol adalah asketisme (zuhud).
Pertama,
Aliran Madinah. Aliran ini mewarisi konsistensi kuat terhadap ajaran yang
dibawa Nabi SAW. Kedua, Aliran Basrah. Terkenal dengan sifatnya yang kritis dan
suka dengan hal-hal logis serta cenderung pada aliran Mutazillah dan Qadiriyah.
Ketiga, Aliran Kufah. Bercorak idealistis, cenderung pada syiah dan Rajaiyyah.
Tokohnya adalah Sufyan al-Tsauri, Sufyan ibn Uyainah.
· Tasawuf Abad 3-4 Hijriah
Aliran
yang menonjol pada masa ini adalah tasawuf yang selalu merunjuk pada nafas
islam dan yang kedua adalah tasawuf sebagai penjernihan moral. Mereka
menumbuhkan sendiri hubungan manusia dengan Allah.
· Tasawuf Sunni Abad 5 Hijriah
Pada abad ini tasawuf
mulai dikembalikan lagi pada al-qur’an dan Sunnah. Tokohnya adalah al-Qusyairi
dan Harawi, di samping sufi besar abad ini; al-Ghazali. Dia mengkritik keras
para teolog yang menjawab tantangan pemikiran tidak dengan mangkaji, namu
dengan membenturkan pendapat-pendapat, berdasarkan premis-premis.
Semua
jawaban Al-Ghazali terhadap filsafat dituliskannya dalam Tahafut al-Falasifah.
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali membedah semua konsep tasawuf pendahulunya,
seperti maqam, fana’, hulul, mahabbah, dzauq, ma’rifah dan sebagainya, lalu
didudukkan pada tempatnya. Dengan begitu, posisi tasawuf di mata para ulama
salaf yang sebelumnya dianggap sesat, menjadi diterima.
· Tasawuf Filosofis
Dalam dua abad, yaitu
sekitar abad VI dan VII, tasawuf filosofis ini mencapai titik kesmpurnaan.
Ajaran tasawuf ini memadukan visi mistis dan visi rasional penggagasnya.
Tasawuf ini sangat isoteris, cenderung samar dan hanya dipahami oleh para
penempuh jalannya. Tokohnya adalah Surahwardi, Ibn Masarra, Ibn ‘Arabi, dan Ibn
Sab’in. Dalam konsep penyatuan makhluk dengan Tuhan ini juga tertuang dalam
karya sastra para sufi, di antaranya adalah Ibn al-Faridh dan Jalalludin Rumi.
· Tasawuf Pendiri Tarekat
Tarekat diberikan sufi
yang bergabung dengan seorang guru secara kolektif, yang menggelar acara
tertentu dan memiliki ritual tertentu. Tokoh yang terkenal adalah Abdul Qadir
Jailani, Ahmad al-Rifa’i, dan Najmuddin Kubra.
5. Pemikiran Islam Kontemporer
Tahun
1967 dianggap sebagai “penggalan” (qathi’ah) dari keseluruhan wacana Arab
modern, karena masa itulah yang merubah cara pandang bangsa Arab terhadap
beberapa problem social-budaya yang dihadapinya.
Langkah
pertama yang dilakukan oleh para intelektual Arab adalah menjelaskan
sebab-sebab kekalahan tersebut. Di antara sebab-sebab yang paling signifikan
adalah masalah cara pandang orang Arab kepada budaya sendiri dan kepada capaian
modernitas.
Secara
implisit, topik semacam itu pernah dilontarkan oleh Muhammad ‘Abduh dan ‘Abd
al-Rahman Kawakibi. Namun sebagai satu wacana epistemis masalah tersebut baru
mendapat sambutan luas pada dua dekade terakhir.
Istilah
“tradisi dan modernitas yang digunakan dalam diskursus pemikiran Arab
kontemporer, merujuk pada terma idiomatic yang bervarian, terkadang digunakan
al-Turats wa al-Hadatsah, al-Ashlah wa al-Hadatsah, al-Turats wa al-Mu’ashirah,
dan dalam bentuk yang tidak konsisten digunakan juga istilah al-Qadim wa
al-Jadid. Akan tetapi istilah turats paling sering digunakan dan paling sering
disebut.
Secara
literal, turats berarti warisan atau peninggalan, yaitu berupa kekayaan ilmiah
yang ditinggalkan atau diwariskan oleh orang-orang terdahulu.
Tidak
seperti turats, hadatsah merupakan konsep pinjaman yang diambil dan
ditransliterasikan dari bahasa Barat.
Turats
dinilai telah menyatu dalam kesadaran bangsa Arab sejak empat belas abad lalu,
sementara hadatsah baru dating tidak lebih dari dua ratus tahun lalu.
Secara
umum ada tiga tipologi pemikiran yang mewarnai wacana pemikiran Arab
kontemporer, yaitu:
Pertama,
tipologi transformatik. Tipologi ini mewakili para pemikir Arab yang secara
radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya
tradisional-patrikal kepada masyarakat rasional dan ilmiah.
Kedua,
adalah tipologi reformistik. Kelompok ini lebih pesifik lagi dan dibagi kepada
dua kecenderungan.
Kecenderungan
Pertama, para pemikir yang memakai metode pendekatan ekonstruktif, yaitu,
melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali.
Kecenderungan
Kedua dari tipologi pemikiran reformistik adalah penggunaan metode
dekonstruktif. Metode dekonstruksi merupakan fenomena baru untuk pemikiran Arab
kontemporer.
Ketiga
adalah tipologi pemikiran ideal-totalistis. Ciri utama dari tipologi ini adalah
sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat totalistis.
Kelompok ini sangat commited dengan aspek religious budaya Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar